Keyra
Kenapa sih aku harus melankolis begini, di hari ada pertemuan penting pula. Aku mendesah berat sambil mengusap wajahku yang sembab karena nangis seharian.
Ya ampun, aku udah hampir telat. Aku melirik jam tanganku—setengah delapan malam.
Anjir. Aku langsung berlari tergesa keluar apartemen menuju kafe yang lumayan jauh dari sini.
Semua ini gara-gara si bajigur itu. Mantan pacarku yang brengsek mampus.
Padahal aku udah kelas dua SMP. Harusnya aku lebih giat belajar, fokus ngejar UAS yang tinggal dua bulan lagi biar beasiswaku tetap full, bukannya malah nangis seminggu penuh gara-gara cowok.
Aku mendengus kesal.
Aku sadar aku bodoh, tapi sulit sekali rasanya menahan perasaan ini. Bahkan sekarang pun aku masih kangen sama dia, padahal dia udah selingkuh plus nyampakin aku seenak jidat.
Ya ampun, goblok banget sih aku.
Air mataku menetes lagi. Aduh, berhenti dong, Keyra! Gimana nanti kalau Seiyina lihat mataku bengkak begini. Malu banget. Apalagi kalau dia tau aku begini gara-gara cowok, bisa-bisa kepercayaannya padaku hancur.
Aku harus realistis. Hidupku sekarang masih bergantung sama seseorang yang ngebiayain sekolah kami, dengan balasan kami harus ngerjain tugas-tugas dari dia. Harusnya aku lebih mikirin pendidikan yang sudah kukejar mati-matian selama ini, bukan malah buang-buang waktu ngebucinin cowok brengsek. Lagi-lagi, aku ingin menyumpahi diriku sendiri.
Aku berdiri di depan kafe tua bernuansa vintage, satu-satunya kafe di sepanjang lorong jalan ini. Angin malam berembus menggoyangkan spanduk kayu tua di depan bangunan kafe hingga menimbulkan suara krak-krak kecil. Suara serangga malam berdengung pelan di antara pohon-pohon pinggir jalan. Satu kalimat yang langsung terbersit di pikiranku. Sepi, agak horor pula.
Oke, sekarang aku malah jadi parno sendiri.
Aku berjalan memasuki kafe dan langsung bernapas lega saat mendapati tidak ada batang hidung Seiyina di tempat ini.
Oke, lantai satu aman.
Suara jarum jam dinding besar di atas kasir berdetak pelan namun terdengar jelas, seolah menandai setiap detik yang berlalu. Meja-meja kayu yang tampak kokoh berderak lembut saat disentuh pelayan yang lewat.
Aku naik ke lantai dua melewati tangga kayu reyot dan bergegas mengelilingi lantai dua. Kafe ini sepi, cuma ada dua pasangan yang duduk di dua sudut ruangan yang berseberangan.
Hah! Syukurlah, belum ada yang datang.
Aku memilih duduk di pojok, menghadap jalan depan dan samping bangunan. Setidaknya dari sini, aku bisa memantau siapa saja yang datang.
Seorang pelayan mendekat ke mejaku sambil membawa menu dan buku catatan kecil. Wajahnya datar, tapi ada senyum tipis tersungging di bibirnya yang mungil. Suaranya juga surprisingly ramah.
“Mau pesan apa, Kak?” tanyanya lembut.
“Roti bakar sama coklat panas aja,” jawabku, berusaha tersenyum sopan. Aku terkejut saat menyadari suaraku masih sedikit sengau –mungkin karena terlalu lama menangis.
Begitu dia pergi, aku bersandar di kursi kayu tua yang masih terasa kokoh. Mencoba rileks, meski hawa malam menusuk tulang.
Dari speaker kecil di sudut kafe terdengar lantunan lagu lama dengan volume rendah, suaranya serak seperti radio tua.
Pandanganku menyapu sekeliling kafe, sepi, sunyi dan cukup bikin merinding. Aku ingat tadi di lantai bawah juga cuma ada dua meja pengunjung yang terisi. Aku mengernyit, merapatkan jaket.
Nggak lama kemudian, suara langkah pelan terdengar di tangga kayu. Pelayan lain muncul, kali ini membuatku tertegun. Seorang gadis muda menenteng roti bakar dan coklat panas pesananku dengan wajah yang super jutek. Dia menaruh piring dan gelas di mejaku dengan suara duk lumayan keras, lalu menatapku sekilas tanpa senyum sedikit pun.
Aku berkedip pelan.
“Makasih… Mbak,” ucapku canggung.
Si mbak-mbak pelayan mengangguk kecil sambil menampilkan senyum yang terlihat aneh.
Membuat perasaanku semakin nggak nyaman. Sungguh kafe yang unik dengan pelayan-pelayannya yang super aneh.