Psycho Love

Liliana
Chapter #6

Bagian 5

Aku mengabaikan firasatku yang penasaran dengan BMW hitam yang mengikuti taxi yang mengantarku sampai ke depan gerbang sekolah.

“Syukurnya hari ini gerbang sekolah di buka cepat,” batinku.

Namun dalam sekejap, aku dibuat melongo karena BMW hitam itu melewati gerbang dan masuk ke parkiran sekolah kami.

Apa ada orang kaya yang tinggal disekitaran wilayah tempat tinggalku yang juga sekolah disini? Aku bertanya-tanya sebelum memasuki halaman sekolah yang luas.

Tanpa Reina sadari saat dia berjalan melewati lapangan tempat parkir, ada yang mengawasinya dari jauh.

*****

“Kita nongkrong ke Kantin yok! Katanya ada rapat guru dadakan, jadi kelas kita bakalan kosong,” ajak Eirin antusias.

“Tapi guru udah bilang kita harus tetap stay di kelas,” ucapku ragu.

“Udah! Mereka nggak bakalan tau, guru-guru pada di ruang rapat kok. Entar kita disana satu jam aja. Ayo dong Rasya!” desak Eirin heboh, sambil menarik-narik Rasya yang tampak enggan pergi bersamanya.

"Ayo dong! Reina ayo!"

Aku dan Rasya saling pandang, apa benar gapapa nih?

“Udah ayo cepat! Kebanyakan mikir entar rapatnya keburu selesai.” Eirin menarikku kuat, yang membuatku refleks menarik Rasya juga. Alhasil kami tarik-tarikan bertiga menuju kantin.

Tidak seperti dugaanku sebelumnya, ternyata kantin sudah ramai walaupun tidak benar-benar penuh seperti biasanya. Hanya saja ini benar-benar di luar ekprektasiku.

Sekarang aja belum waktunya istirahat, kantin sudah ramai. Tadinya aku berpikir Eirin yang aneh, ternyata tidak, dia hanya berperilaku seperti murid-murid pada umumnya.

Karena semua kelas sudah pasti jam kosong, jadi orang-orang lebih memilih pergi ke kantin buat nongkrong daripada di kelas.

Hari ini tiba-tiba Eirin memilih kantin yang cukup ramai karena katanya dia ngebet pengen makan nasgor. Aku dan Rasya mengikutinya masuk ke dalam kantin yang jarang kami kunjungi itu.

“Ini kok nggak ada tempat sepinya ya?” gerutu Eirin.

“Siapa suruh lo milih kantin ini,” celutuk Rasya.

“Biasanya kantin ini selalu yang paling rame, jadi nggak heran,” ucapku menimpali.

“Idih... di tempat paling pojok aja rame. Nggak asyik.” Eirin celingak-celinguk mencari kursi kosong.

Hanya ada satu meja kosong untuk empat orang tepat di depan etalase Bu Erni, jelas itu bukan tempat yang nyaman buat nongkrong. Selain karena berada tepat di depan penjual, dari segala sisi terlihat grup-grup murid yang sedang berkumpul, sangat berisik.

“Nah disitu ada tuh, ada satu yang kosong!” Eirin tersenyum puas, menunjuk meja tersebut.

Aku merasa mataku berkedut ngeri, membayangkan kami harus duduk disana.

Sementara ekpresi Rasya tampak enggan menyeret kaki nya ke tempat itu.

Lihat selengkapnya