Dengan cepat aku berbalik dan mundur ke belakang menjauhi Erlan, namun sayangnya space toilet itu terlalu sempit. Kendati aku sudah mentok di depan pintu, tetap saja jarak diantara kami hanya sejauh dua langkah saja.
Sebuah tangan besar menyentuh daguku, refleks aku menutup mata, hanya sentuhan pelan namun terasa hangat, “Apa yang kamu lakukan? Kenapa kamu menggigit bibirmu sampai berdarah begini?” tegurnya dengan setengah berbisik.
Aku menoleh menatap wajahnya, namun perhatianku malah teralihkan pada manik abu miliknya, tanpa sadar aku terperangah. “Indah, mata itu sungguh cantik,” pikirku.
Seketika aku merasa panas di seluruh wajahku, saat aku sadar mendapati diriku sedang terpaku menatap intens wajah tampan itu. “Ap..apa yang aku lakukan?” rutukku dalam hati.
Ingin rasanya aku menyembunyikan diriku sekarang, saat mendengar Erlan terkekeh geli melihat responku barusan.
Oh Tuhan. Apa aku sedang diejek karena ketahuan menatapnya secara terang-terangan?
"Reina bodoh!" Aku mendumel kesal pada diriku sendiri.
Kenapa juga aku malah terpesona padanya, yang selama ini aku takuti. Aku bahkan tidak mengerti diriku sendiri lagi, sekarang.
Dia cowok yang kejam Reina, tolong sadarlah!
“Aku tahu kalian ada di dalam, keluar sekarang atau guru BP yang akan menyeret kalian keluar!” Suara keras terdengar dari balik toilet.
Deg
Jantungku kembali bergemuruh semakin tidak karuan.
Aku menduga kalau itu salah satu dari guru yang ikut merazia murid yang ketahuan keluar dari kelas tanpa izin.
Aku menahan nafas tegang. Apa pada akhirnya kami akan diciduk juga?
Lagian tidak masalah juga, di depanku saat ini ada cowok yang kemungkinan psycho, sementara di luar ada guru yang akan mensetrap kami. Kupikir ditahan di ruang BP tidak terlalu masalah lagi untukku, batinku sambil menghela nafas pasrah.
Tiba-tiba Erlan berjalan mendekat padaku seketika membuatku gugup, aku sudah siap akan berteriak kalau-kalau dia melakukan sesuatu padaku. “Duduk saja di sana!” perintah Erlan sambil melirik ke arah kloset.
“Diam disitu sampai keadaan di luar tenang, aku yang akan pergi keluar!” Dia berbisik tajam tepat di telingaku.
Erlan kembali berdiri tegak, menatapku sekilas, sebelum akhirnya membuka pintu toilet.
Dengan cepat aku duduk di atas tutup kloset yang sebenarnya aku tidak tahu bagaimana standar kebersihannya sama sekali. Sambil mengamati pintu toilet yang hanya dibuka setengah oleh Erlan, tubuhnya menutupi celah pintu itu. “Ah, santai dong pak! Kami kan cuma numpang toilet kantin aja.” Ucapnya songong.
“Keluar semuanya yang ada disana, tidak usah basa-basi, yang disebelah juga keluar! Ikuti saya!” Teriakan yang lebih keras terdengar dari luar toilet, yang aku duga mirip suara guru BP.
Kalau sampai guru itu yang menghukumku bisa habis aku, walau kalau bersama Erlan bisa habis juga sih, cuma…