Saat itu adalah hari yang dingin di bulan Mei, dan jarum jam menunjuk angka tujuh. Sekolah menengah atas yang tak diketahui namanya berdiri dengan kokoh di sebuah kota kecil bernama Fussen, Jerman. Tak terlalu elit, namun tak terpelosok juga. Sangat sederhana. Di tempat belajar mengajar itu, mereka memiliki salah seorang siswi yang menjabat sebagai ketua kelas 2-2, Wylie Odelia. Memiliki kulit pucat pasi layaknya vampir, rambut pirang dengan panjang sebahu, bibir yang berwarna sama dengan buah persik, bola mata besar, serta senyuman secerah sinar matahari pagi. Sikapnya yang ramah dan bijaksana pun membuat banyak orang menyukainya.
Layaknya gadis seumurannya, saat ini Wylie juga tengah mengagumi salah seorang siswa di kelasnya bernama Isaac Shaquille. Rambut berwarna hitam pekat, bibir tebal, serta sorot mata hitamnya yang sangat dalam membuat Wylie selalu memandangi laki-laki yang duduk di pojok belakang kelas itu secara diam-diam. Rasanya mau bertahun-tahun memandanginya pun takkan bosan. Namun, tak ada yang tahu jika ia menyukai Shaquille, ia menyimpan semuanya sendirian.
Di matanya, Shaquille itu unik dan menarik. Dia tak pernah terlihat mengobrol dengan siapa-siapa, dirinya juga jarang mengeluarkan suara, bahkan ketika kerja kelompok sekali pun. Wylie jadi takut untuk mendekatinya, ia bahkan tak tahu apakah anak itu sedang menyukai seseorang atau tidak. Ia juga tak tahu banyak mengenainya, tetapi ia tahu kalau Shaquille adalah seorang pemain violin terindah.
“Wylie!” panggil seorang gadis yang tiba-tiba membuyarkan lamunannya. Namanya Ilona Arabella, siswi kelas 2-1. Sesuai dengan nama depannya yang bermakna lentera cahaya, apa pun yang berhubungan dengannya sangatlah bersinar. Rambut panjang berwarna hitam yang terlihat sangat serasi dengan kulit cerahnya, warna mata menyerupai batu safir, juga bibir tipis dengan warna merah alami. Cantik dan memesona. Dua kata yang pas untuk mendeskripsikan gadis yang merupakan teman masa kecil Wylie.
“Kenapa? Ada apa?” sahut Wylie nampak linglung.
“Lihat ini!” Ilona menyodorkan ponselnya ke depan wajah Wylie dengan jarak yang terlalu dekat sehingga ia harus menggeser lehernya ke belakang seraya menyipitkan kedua matanya untuk melihat apa yang ada di layar ponsel itu lebih jelas lagi. Dilihatnya sebuah poster lomba melukis dengan hadiah utama seribu euro.
“Aku ingin ikut lomba ini dan memenangkan hadiahnya!” seru Ilona yang sejak dulu memang memiliki hobi menuangkan cat minyak pada kanvas kosong. Gadis ini memang hanyalah seorang pelukis lepas tanpa nama, tetapi lukisannya tak kalah bagus dari pelukis-pelukis ternama lainnya, dan Wylie adalah saksinya. Ia hanya belum berani menampilkan lukisannya pada khalayak ramai. Dan hari ini, tekad menjadi pelukis itu pun akhirnya terbentuk.
“Hanya ingin memenangkan hadiahnya, nih? Apa kau tak ingin menjadi terkenal juga?” goda Wylie dengan seringai serta alis terangkat satu.
“Tentu saja ingin! Ingin sekali malah! Aku hanya lupa menyebutkannya saja,” tegas Ilona yang terlihat bersemangat dibanding biasanya. Memang kalau sudah menyangkut melukis, kobaran api selalu menyala-nyala di sekitar kepalanya.
“Semangat! Aku pasti mendukungmu, sobat!” sambut Wylie sambil mengangkat kepalan tangan kanannya tinggi-tinggi. Kedua sahabat yang sudah saling mengenal sejak masih kanak-kanak itu pun berteriak-teriak heboh sampai tak sadar kalau seisi kelas memperhatikan mereka berdua dengan kekehan dan gelengan kepala.
***
Pelajaran olahraga tengah berlangsung. Sementara anak-anak lain pergi ke lapangan, Shaquille tetap duduk di belakang kelas karena tidak enak badan. Di sisi lain, ada Wylie yang meminta izin kepada guru olahraga untuk mengambil botol minumnya di kelas, dengan alasan haus. Padahal dirinya hanya ingin melihat Shaquille. Ia mengintip dari balik pintu kelas, melihat gebetannya tengah menatap ke luar jendela seraya menopang dagunya. Benar-benar tampan.
Ia pun melangkahkan kaki menuju tempat duduknya yang terletak di depan kelas. Suasana ruang kelas yang sunyi terdengar sangat damai di telinga Wylie. Sambil menenggak air dari botol, kedua matanya sesekali melirik ke arah Shaquille yang bahkan tak peduli akan keberadaannya sama sekali. Namun itulah yang membuatnya menarik. Semakin dingin anak itu, justru semakin terlihat memesona dalam pandangan Wylie.
“Aku dengar... kau sedang tidak enak badan, ya?” lontar Wylie berbasa-basi dari kejauhan. Lelaki itu mengarahkan pandangannya pada Wylie, kulitnya yang pucat pasi membuat kedua pipi yang memerah menyerupai warna kelopak bunga mawar itu terlihat dengan sangat jelas. Sial, sial, ini adalah kali pertamanya mengajak Shaquille berbicara. Betapa canggungnya. Rasanya ingin cepat-cepat menggali sebuah lubang lalu masuk dan bersembunyi di dalamnya.
“Ya,” jawab Shaquille singkat. Suaranya yang berat juga dingin seketika membuat perasaan Wylie menjadi tak stabil. Wylie tak menjawab, ia bahkan tak berani bertatap-tatapan dengan Shaquille. Jantungnya berdegup tak karuan. Keringat dingin mengucuri sekujur tubuhnya. Karena tak ada alasan untuk berada di kelas lebih lama lagi, Wylie pun kembali berjalan keluar kelas dengan gaya berjalan menyerupai penguin. Betapa kikuknya. Selain itu, ia juga tak ingin membuat dirinya terlihat ‘cari perhatian’ di hadapan laki-laki yang ditaksirnya itu.
***
Hari telah menjelang sore. Wylie yang pulang terlambat karena dirinya kebagian jadwal piket kelas itu tengah berjalan menelurusi koridor sekolah yang sepi, sengaja melewati ruang musik sekolah di mana Shaquille tengah berlatih violin sendirian. Begitu tiba di depan ruang musik, kedua telinganya langsung menangkap suara gesekan violin yang terdengar amat memikat. Kakinya berjinjit mengintip melalui jendela. Dan sesuai dugaannya, terlihat Shaquille yang tengah memainkan violin kayu miliknya, berduaan saja dalam ruangan yang disirami cahaya matahari.
Dengan memejamkan kedua matanya, laki-laki itu menggenggam bagian leher violin dan meletakkan bagian chinrest di atas pundak kirinya. Gesekan violin yang menghasilkan melodi indah itu seakan mengeluarkan not-not musik yang lalu beterbangan di udara, memberkati sepasang telinga Wylie. Tanpa ia sendiri sadari, ia tak berhenti tersenyum selama bermenit-menit lamanya. Lama kelamaan, pupil matanya semakin membesar, sampai-sampai rasanya mau meledak. Perasaan damai yang meledak-ledak. Entahlah, ia sendiri tak tahu bagaimana harus mendeskripsikan perasaannya saat ini.
Ketika tengah asyik-asyiknya menghayati permainan violin itu, Shaquille mendadak berhenti di pertengahan musik. Membuat dahi Wylie berkerut seketika. Shaquille memasukkan alat musik itu ke dalam tas violinnya, lalu merogoh ransel hitam dan mengeluarkan sebuah kotak bekal berwarna putih dari dalamnya. Begitu ia membuka kotak tersebut, dilihatnya beberapa potong daging kecil berwarna kemerahan.
Tiba-tiba saja, debu-debu halus yang melayang-layang melalui jalur cahaya matahari membuat Wylie bersin dengan begitu kencang. Gadis itu pun spontan terduduk dan bersembunyi di balik dinding sambil menutupi mulutnya yang tak bisa diajak bekerja sama. Keadaan mendadak hening selama beberapa saat. Sudah pasti Shaquille mendengar suara bersinnya, akan tetapi Wylie tak berani untuk mengeceknya.
“Keluarlah,” lontar Shaquille memecah keheningan. Mengetahui kalau dirinya telah ketahuan, Wylie memegangi dadanya yang bergetar kencang. Sebab tak ada alasan untuk bersembunyi lagi, Wylie kembali bangkit dan menampakkan dirinya dengan masuk melalui pintu depan. Shaquille menatapnya dengan normal, seakan-akan tak ada apa pun yang terjadi. Bukannya melayangkan tatapan tajam yang menusuk, laki-laki itu hanya membuka kedua matanya lebar-lebar.