Shaquille tengah berangkat ke sekolah dengan berjalan kaki. Sambil mendengarkan lagu yang diputar pada sebuah mp3 menggunakan earphone, mulutnya mengunyah roti isi daging yang tak sempat dimakannya di rumah karena terburu-buru. Dengan kepala tertunduk, Shaquille sama sekali tak mengindahkan apa yang terjadi di sekelilingnya. Berjalan sendirian dengan memakai hoodie berwarna hitam di antara murid lain yang datang bersama teman-temannya sembari bersenda gurau, membuat dirinya semakin terlihat suram.
Di depan gerbang sekolah terlihat seorang siswa kelas tiga sedang berdiri sambil mengganggu siswi kelas satu dan dua yang ingin lewat. Val, berandalan kelas teri yang entah kenapa suka mengganggu murid-murid lain tanpa alasan yang jelas. Sementara itu, Shaquille yang tak peduli pada apa pun hanya berjalan lurus tanpa mengangkat kepalanya. Val yang saat itu menyadari kedatangan Shaquille yang seolah menghiraukan keberadaannya pun berteriak memanggilnya, “Heh kau yang memakai hoodie hitam!”
Karena memakai earphone yang tertutup oleh hoodie, Val tak tahu kalau Shaquille tak mendengar teriakannya yang menggelegar. Berandalan itu menyeringai. Sasaran baru! Tanpa berpikir dua kali, ia langsung berlari menuju Shaquille dan tiba-tiba meninjunya itu tepat di ulu hati. Shaquille yang terkejut dengan serangan mendadak itu pun langsung tumbang di atas tanah sambil memegangi dadanya. Tiba-tiba dadanya terasa sesak, sehingga napasnya menjadi terengah-engah. Tanpa rasa bersalah sama sekali, Val berjongkok dan merenggut rambut Shaquille untuk melihat wajahnya lebih jelas lagi.
“Heh, dengar sini, bocah. Jika ada senior yang memanggilmu, kau harus langsung menjawabnya, sialan. Ckck, dasar tidak punya sopan santun,” decak Val sambil meludahi wajah Shaquille yang hanya diam sambil mengatur napasnya kembali.
“Ha! Kau juga tidak merespon perkataanku yang ini, ya? Aku bahkan tidak memukulmu terlalu keras, tetapi kau sudah sok kesakitan seperti ini. Kau memang selemah ini, ya? Atau aku yang terlalu kuat? Mumpung aku belum menghajar seorang pun hari ini, bagaimana jika menjadi orang pertama yang kuhajar?” serunya yang kembali berdiri dan menginjak-injak tubuh Shaquille sambil tertawa kencang.
Murid-murid lain yang juga sering mendapat perlakuan buruk dari Val pun hanya terdiam mengelilingi keduanya, menyaksikan pertengkaran itu layaknya sebuah tontonan. Tak ada yang sama sekali melerai mereka berdua, bahkan memanggil guru sekali pun. Dihantui oleh rasa takut akan teror yang kemungkinan mereka dapatkan dari Val jika berani mengadukannya.
Dalam situasi yang terpojok, Shaquille masih berusaha menggerakkan tangannya, ia menarik pergelangan kaki Val hingga roboh bersamanya, membuat senior itu meneriaki berbagai kata umpatan. Ketika ia hendak bangkit kembali, Shaquille tiba-tiba saja menggigit kulit telapak tangan laki-laki itu dan merobeknya dengan kencang. Val sontak menjerit kesakitan dan malah lanjut memukuli kepala Shaquille dengan tangannya yang lain.
“Hentikan!” Terdengar pekikan seorang gadis yang entah datang dari mana. Dalam pandangannya yang kabur, Shaquille melihat seorang gadis yang berlari ke arahnya. Karena dadanya terus diserang tanpa henti, perlahan-lahan Shaquille menutup kelopak matanya sampai pada akhirnya kehilangan kesadaran.
***
Kedua mata Shaquille membuka perlahan, mengerjap-ngerjap lalu memandang sekeliling. Kedua tangannya terlipat di atas perut. Dengan mengerutkan dahinya, kedua matanya berkeliling, menemukan dirinya tengah terbaring di atas sebuah ranjang berwarna putih yang ada di klinik sekolah. Seluruh tubuhnya terasa sakit, seolah ditimpa puluhan batu bata dalam sekali tumpuk. Lelaki itu pun langsung terduduk seraya mengangkat satu tangannya untuk memijat pelipisnya.
“Oh? Kau sudah bangun?” Lelaki bernama depan Isaac itu sontak menoleh ke arah sumber suara tersebut, semakin berusaha untuk membuka kedua mata dan menyadarkan diri. Dilihatnya seorang murid laki-laki dengan mengenakan jas dewan siswa berjalan ke arahnya, diiringi senyuman yang nampak berwibawa.
“Apa...apa yang terjadi?” tanya Shaquille.
“Ah, soal itu, teman sekelasku yang bernama Val menghajarmu di depan sekolah. Saat itu satpam sedang tidak berjaga di pos, jadinya tak ada yang melerai kalian berdua. Kau pingsan dan aku membawamu ke sini. Aku jadi merasa bersalah atas kejadian ini. Sebagai temannya, aku meminta maaf yang sebesar-besarnya atas namanya, emosi anak itu memang susah untuk dikontrol. Tetapi kau tenang saja, sekarang ini dia sudah ditangani oleh pihak sekolah,” ucapnya sambil menundukkan kepala atas bukti ketulusan dari permintaan maafnya.
“Perkenalkan, namaku Jonathan Kristian Nathanael, biasanya orang-orang memanggilku Joe. Aku tidak yakin apa kau mengenalku atau tidak, sekedar informasi, aku adalah ketua dewan siswa di sekolah ini,” lanjut Joe dengan nada yang amat sopan di telinga siapa pun yang mendengarnya. Namun daripada itu, sejak tadi Shaquille lebih memusatkan perhatiannya pada seorang gadis yang berdiri jauh di belakang Joe sambil bersandar pada tembok dan memandangi lantai. Joe yang menyadari bahwa anak itu tidak fokus pada perkataannya pun menolehkan kepalanya ke belakang untuk melihat apa yang sangat menarik pandangan Shaquille.
“Oh, kau gadis yang tadi? Aku kira kau sudah kembali ke kelas,” celetuk Joe, “dia adalah anak yang menyelamatkanmu tadi, ketika murid-murid lain malah sibuk menonton, anak perempuan ini dengan beraninya menjambak rambut Val untuk menolongmu.”
“Err, hai, namaku Yovanka, aku teman sekelasmu! Yang duduk di sebelahmu. Apa kau tahu aku?” sapa Yovanka sambil melambaikan tangannya dengan kikuk. Pada saat yang bersamaan, bel pelajaran pertama berbunyi dengan nyaring memotong pembicaraan mereka bertiga.
“Oh iya, adik kelasku, tadi penjaga klinik berpesan padaku kalau kau tidak boleh mengikuti kelas dulu. Kau harus beristirahat selama beberapa jam, karena Val memukulmu di bagian yang agak fatal,” jelas Joe dengan tersenyum ramah. Selepas itu, tanpa basa-basi lagi, sang ketua dewan siswa itu langsung berjalan keluar dari klinik dan meninggalkan mereka berdua dalam ruangan yang pintunya tertutup.
“Kau? Tidak keluar juga?” tegur Shaquille terhadap Yovanka yang masih berdiri di samping tempat tidurnya. Entah bagaimana, seruan yang keluar dari mulut Shaquille itu terdengar seperti sebuah pengusiran yang diucapkan secara halus begitu masuk ke dalam telinga Yovanka.
“Hee, tenang saja, aku juga tak akan berlama-lama di sini, aku akan segera keluar kok! Tetapi sebelum itu, ada satu hal yang ingin kuminta darimu,” serunya dengan satu kedipan mata yang manis. Shaquille memasang ekspresi datar menunggu Yovanka melanjutkan perkataannya, sementara gadis itu juga diam menunggu balasan darinya. Sampai beberapa saat Yovanka menyipitkan matanya dan berakhir mengalah.
“Apa kau mau berteman denganku?” serunya seraya mengulurkan tangan kanannya, mengharapkan jabat tangan yang hangat dari laki-laki di hadapannya. Napas Shaquille berembus pelan, ia hanya memasang ekspresi dingin tanpa menggerakkan tangannya sama sekali.
“Tidak mau,” jawab Shaquille tanpa keraguan sama sekali pada sorot matanya.
“EH?? Tetapi, kenapa? Ugh... aku harap kau bisa membalas jasaku karena telah menyelematkanmu dari senior itu dengan cara menjadi temanku!” paksa Yovanka dengan nada tinggi yang tidak enak didengar. Kedua matanya terpejam erat. Pipinya nampak memerah karena malu. Napas Shaquille pun berembus pelan, ia menggelengkan kepalanya penat.
“Ya sudah, aku akan—”