Cahaya rembulan menemani perjalanan seorang gadis muda yang rambut cokelat panjangnya tertutupi oleh topi baret merah tua. Berjalan menelusuri jalanan gelap yang dikelilingi lampu jalanan di sekitarnya sambil menyenandungkan sebuah nada lagu. Yovanka, gadis itu mendorong pintu kaca dari sebuah toko roti langganannya, langsung terhirup aroma sedap roti yang baru dikeluarkan dari oven. Ia menyapa sang kasir dengan senyuman cerahnya.
Yovanka mengambil keranjang rotan dari tumpukan keranjang yang diletakkan di samping pintu masuk, lalu berjalan pelan dengan menggesek-gesekkan sepatu cokelat mudanya ke lantai, menghampiri rak kayu berisi deretan donat manis yang dibungkus dengan rapi. Tangan mungilnya memasukkan beberapa bungkus donat kesukaannya ke dalam keranjang belanjaan sebagai camilan malamnya. Donat cokelat bertabur meisis, donat susu bercampur keju, serta kue black forest yang memiliki tiga butir kismis di atasnya.
Memang makanan enak itu adalah sumber kebahagian yang paling dasar. Ketika sedang asyik memilih roti lain sambil bergeser ke kanan tanpa henti, tiba-tiba saja pinggulnya menabrak seseorang di sebelahnya. Yovanka sontak menoleh dan melihat Shaquille yang juga menjinjing sebuah keranjang rotan berisi puluhan bungkus roti.
“Eh? Hai, teman sekelasku! Kok bisa sih ketemu di sini haha! Ternyata kau juga suka datang kemari toh! Kenapa kita enggak pernah ketemu ya sebelumnya?” sapa Yovanka tersenyum lebar seraya menepuk-nepuk punggung Shaquille dengan akrabnya, seakan gadis ini telah lupa apa yang terjadi pada keduanya sore tadi di kelas. Sementara lelaki itu bahkan tak membalas sapaannya dan hanya menatapnya termangu.
“Heh, jangan mengabaikanku!” hentak Yovanka tiba-tiba mendekatkan wajahnya. Kedua pipinya yang menggembung tanpa alasan membuat Shaquille tak bisa berkutik sedikit pun. Matanya terbelalak, tak tahu harus meresponnya seperti apa. Selang beberapa detik, Shaquille langsung memalingkan wajah dan menutupi mulutnya dengan tangan kanannya. Yovanka yang bingung melihat tingkah aneh laki-laki itu pun menyatukan kedua alis.
Pandangan Yovanka dengan cepat beralih ke keranjang belanjaan milik Shaquille dari sebelah tangannya. Entahlah, tiba-tiba saja pikirannya yang random membuatnya merebut keranjang itu secara paksa dan melihat-lihat isinya. “Kau beli banyak roti dan cuman beli roti isi daging? Ish ish ish, kau juga harus makan sayur, itu baik untuk kesehatanmu!”
“Bukan urusanmu,” balas Shaquille yang kembali mengambil keranjangnya dengan tak kalah cepat.
“Urusanku dong! Kau tunggu saja di sini, aku akan memilihkan roti yang sehat untukmu. Dan yang paling penting, ada sayurnya!” paksa Yovanka lagi-lagi kembali mengambil keranjang dari tangan Shaquille dan langsung berlari mengelilingi toko.
“Ti-tidak perlu, aku tidak suka sayur, aku...aku hanya suka daging!” tolak Shaquille dengan suara yang menggema, membuat para pengunjung toko menoleh ke arahnya seraya terkekeh. Shaquille lagi-lagi menutupi wajahnya karena malu, lalu mengejar Yovanka yang terlihat memasukkan begitu banyak roti ke dalam keranjangnya tanpa rasa bersalah sama sekali.
“Meski kau tak suka sayur sekalipun, kau harus tetap memakannya! Tubuhmu itu bukan hanya membutuhkan karbohidrat, kau tahu?” kekeh Yovanka.
“Err, tapi daging mengandung protein, bukan karbohidrat,” koreksi Shaquille.
“Ah iya, itu maksudku,” balas Yovanka tak mau salah. Tanpa melakukan aksi protes lagi, sekarang Shaquille mengekori Yovanka yang sedang memilihkan roti untuknya dengan tenang, seperti seekor anak ayam yang selalu mengikuti induknya ke mana-mana. Sesekali, Shaquille juga memperhatikan bola mata Yovanka yang berwarna biru tua. Cantik. Sungguh, memandangi mata Yovanka yang selalu terbuka lebar itu membuatnya terkagum-kagum.
“Nah, sudah selesai! Kau harus memakan semuanya loh ya, dijamin sehat!” Yovanka mengacungkan ibu jarinya bangga dengan diri sendiri.
“Terserah.” Shaquille buru-buru menerima keranjang penuh roti isi sayur itu. Tanpa berterima kasih barang sekali, ia langsung meninggalkan Yovanka dan pergi ke kasir untuk membayar semua belanjaannya. Dan di sana, secara diam-diam lelaki itu mengeluarkan semua roti yang dipilihkan Yovanka untuknya. BRAK! Sebuah tangan menggebrak meja kasir tetiba, mengejutkan Shaquille juga seisi toko.
“Hehehe, ketahuan! Sudah kuduga kau pasti akan mengeluarkan semua ini. Pak, roti isi sayurnya dihitung juga ya semuanya, aku yang bayar!” kekeh Yovanka yang tiba-tiba menyerahkan kartunya pada sang kasir. Shaquille hanya melongo tanpa mengeluarkan suara. Segera setelah memberi uangnya pada kasir, Shaquille buru-buru pergi dari toko roti itu, menghindari Yovanka dan suaranya yang mengganggu.
“Shaquille!” Terdengar lagi. Shaquille menghentikan langkahnya, membalikkan badannya, dan melihat Yovanka yang berlari tak karuan menujunya.
“Kau juga pergi ke arah sana? Arah rumah kita sama! Bareng saja yuk!” ajaknya dengan ekspresi polos tanpa dosanya. Shaquille terdiam. Ia menarik napas dalam-dalam, kedua tangannya terkepal kencang. Berusaha keras untuk menghadapinya dengan sabar.
“Berhenti menggangguku!” bentak Shaquille tiba-tiba. Kedua mata Yovanka berkelebat kaget.
“Ah... maaf... aku hanya ingin bersamamu saja. Aku tak tahu kalau kau merasa terganggu dengan keberadaanku. Tetapi, bukankah ini adalah hal yang biasanya dilakukan oleh seorang teman?” balasnya tertunduk. Nada rendah yang keluar dari mulut Yovanka membuatnya terlihat seakan ingin menangis. Sekalipun tak melihat air matanya turun, ia dapat merasakan bahwa ketika itu dia ingin menangis.
Shaquille mematung. Dahinya berkerut. Sebuah perasaan bersalah muncul dari dalam lubuk hatinya. Kenapa dirinya merasa bersalah? Padahal yang salah adalah gadis ini. Sudah sepantasnya gadis ini meminta maaf, bahkan sampai menangis sekalipun, tetapi kenapa mendadak hatinya terasa sakit? Melihat Yovanka yang hampir menangis akibat bentakannya pun membuat bibirnya gemetar. Tangan kanannya terangkat sedikit, hendak mengelus kepala Yovanka agar tenang. Namun Shaquille langsung mengurungkan niatnya itu.
“Ya sudah, a...ayo kita jalan bareng,” kata Shaquille berdesis mengalah.
Alhasil, mereka pulang bersama dengan berjalan berdampingan tanpa percakapan. Bahkan Yovanka yang banyak omong itu benar-benar tidak mengeluarkan suara sama sekali sekarang. Sedangkan Shaquille masih menutupi wajahnya sampai sekarang. Ia membuka celah-celah jarinya dan mengintip wajah Yovanka yang ekspresinya nampak datar, tak seperti biasanya.
“Omong-omong, apa yang kau beli tadi?” tanya Shaquille berusaha mencairkan suasana.
“Aku? Hanya beberapa roti manis untuk camilan,” jawabnya datar sambil memperlihatkan plastik berisi roti yang dipenuhi taburan gula.
“Hei, kau menyuruhku untuk membeli roti isi sayuran, tetapi kau sendiri makan roti seperti itu? Di malam hari pula? Bahkan daging itu jauh lebih menyehatkan dibanding gula manis!” protes Shaquille. Tanpa ragu-ragu, ia menarik kantung belanja milik Yovanka dari tangannya. Laki-laki itu mengeluarkan semua roti dari dalam plastik Yovanka dan memindahkan semua itu ke dalam plastiknya. Ia juga memasukkan beberapa roti isi sayuran ke dalam plastik Yovanka dan mengembalikannya setelahnya.
“Mengonsumsi gula sebanyak ini tak baik untuk kesehatanmu,” nasehat Shaquille.
“Tetapi aku suka!”
“Hahh, memangnya kau kira aku tidak suka daging? Dan juga, aku akan mengembalikan semua uang yang kau pinjamkan tadi.” Shaquille merogoh saku celananya dan mengeluarkan sebuah dompet. Ia mengambil sejumlah uang dari dalam dompet warna cokelat itu lalu memberikannya pada Yovanka.
“Eh tidak usah dikembalikan, aku ikhlas kok!” tolak Yovanka cepat.
“Ikhlas apanya, memangnya aku orang yang aku tidak mampu. Cepat ambil,” tegas Shaquille dengan mata memelotot, sehingga Yovanka buru-buru mengambil uang itu dari tangannya.
“Oh ya, sepertinya kita berpisah di sini, rumahku ke arah sana,” tunjuk Yovanka yang entah kenapa merasa kaku.