Tiga orang yang sepertinya telah membentuk lingkaran pertemanan baru itu sedang makan bersama di kantin sekolah dengan suasana yang super canggung. Untunglah ada Yovanka yang sedari tadi tak berhenti mengoceh, jadi setidaknya suasana canggung itu berkurang setengah. Wylie mengunyah makanannya sambil sesekali melirik Shaquille yang duduk di depannya, membuatnya teringat akan kejadian di ruang musik hari itu. Apa yang berada di hadapannya saat ini jauh lebih menarik daripada makanan yang dikunyahnya.
Wylie tak pernah menyangka kalau dirinya bisa dekat dengan Shaquille berkat saingan cintanya sendiri. Gadis berambut cokelat itu selalu saja melayangkan senyuman sok imutnya pada Shaquille. Meskipun Shaquille tak pernah membalas senyumannya, sorot matanya tetap tak bisa berbohong. Laki-laki itu tak pernah mengalihkan pandangannya dari Yovanka, bahkan ketika tangannya sedang menyuapi mulutnya sendiri.
“Mulai sekarang, kau tidak boleh selalu menyendiri di kelas lagi karena aku sudah datang untuk menemanimu!” omel Yovanka.
“Terserah,” balas Shaquille memutar bola mata. Wylie berpikir keras, apakah Yovanka adalah tipe ideal Shaquille? Gadis yang kekanak-kanakan dan imut? Haruskah dirinya mengikuti gaya Yovanka untuk menarik perhatian Shaquille? Tidak, tidak, mana mungkin orang sepertinya melakukan hal yang biasa dilakukan Yovanka, melayangkan senyuman manis ke siapa pun yang ditemuinya sambil menyapa dengan riang gembira. Benar-benar bukan seperti dirinya. Wylie menggeleng-gelengkan kepala sembari menepuk pipinya dua kali untuk menyadarkan diri sendiri dari lamunan tanpa henti itu, lalu kembali menghabiskan makanannya.
Akhirnya jam pulang sekolah tiba juga. Lagi-lagi gadis bernama belakang Deborah itu berlari ke meja Wylie dan merangkulnya tiba-tiba. Wylie yang tak pernah diperlakukan seperti itu oleh siapa pun hanya memasang ekspresi terkejut dan tidak mengatakan apa-apa.
“Ketua kelas, kita belum pernah pulang bareng sebelumnya, ‘kan? Hari ini pulang bareng, yuk!” ajak Yovanka.
“Pulang... bareng...?”
“Ya! Bagaimana?” Kedua mata Wylie menyipit kesal. Menjengkelkan. Karena dibiarkan terus-menerus, tingkah anak ini malah semakin menjadi-jadi. Ia bahkan sampai menganggap Wylie sebagai teman dekatnya. Dalam situasi seperti ini, pikirannya tak dapat berjalan dengan lancar, alhasil ia hanya mengangguk mengiakan.
“YES! Shaquille, kau juga mau pulang dengan kami?” Yovanka mengangkat tangan kanannya tinggi-tinggi pada Shaquille yang masih memasukkan peralatan tulis ke dalam tas.
“Tidak, tidak usah, aku punya urusan lain,” sahut Shaquille yang entah kenapa terlihat seperti sedang menghindari kontak mata dengan Yovanka.
“Ah begitukah? Ya sudah, kalau begitu, kami pulang duluan!”
Terpaksa, mereka hanya pulang berdua, ditemani celotehan Yovanka yang tak berujung. Untunglah hari ini Ilona sedang memiliki urusan lain, jadi Wylie bisa pulang dengan anak ini tanpa merasa khawatir. Tetapi ada satu hal yang mengganggu pikirannya sejak tadi, urusan macam apa yang dilakukan Shaquille sepulang sekolah? Apakah sesuatu yang sesuai dengan imajinasinya yang liar?
“Wylie!” Seseorang berteriak memanggil namanya, imajinasinya kembali terbuyarkan. Gadis itu mengangkat kepalanya yang tertunduk sejak tadi. Nampak seorang laki-laki yang jauh lebih tinggi darinya berdiri di hadapannya dengan mata dan bibirnya yang sama-sama tersenyum. Jonathan Kristian Nathanael, sang ketua dewan siswa sekolah yang selalu menjadi bintang utama dalam gosip para gadis karena wajahnya. Wylie memutar bola matanya malas, kenapa rasanya orang ini ada di mana-mana, sudah seperti hantu saja.
“Ada apa?” dengus Wylie dongkol.
“Tidak kok, tidak ada apa-apa, aku hanya ingin menyapamu hehe,” kekehnya, membuat Wylie berdecak sebal, rasanya ingin sekali melayangkan tinju tepat di wajah tampannya itu sampai babak belur.
“Oh? Bukankah kau orang yang waktu itu menyelamatkan Shaquille?” sela Yovanka yang tiba-tiba muncul menengahi mereka berdua.
“Hm? Shaquille? Ah, anak itu! Yang waktu itu dihajar oleh temanku, bukan? Kau juga anak yang menjambak rambut Val, ‘kan?” balas Joe membuka matanya lebar-lebar.
“Wahh...! Benar! Jadi, kalian berdua adalah teman?” tanya Yovanka melirik Wylie dan Joe secara bergiliran.
“Tentu saja! Kami adalah tem—”
“Maafkan kami, Senior Jonathan, tetapi kami sedang terburu-buru,” tukas Wylie yang langsung menarik lengan Yovanka dan menyeretnya pergi menjauh dari sana. Ekspresi serius pada wajah Wylie pun membuat Yovanka tak berani bertanya mengenai apa pun. Sepanjang jalan pulang, Yovanka yang kehabisan topik pembicaraan pun hanya menyenandungkan sebuah nada lagu agar suasana tak terasa kaku. Dan untuk menghargai usaha Yovanka, Wylie mengangguk-anggukkan kepala mengikuti irama lagu, meski tak tahu lagu apa itu.
Di tengah perjalanan, ada satu hal yang menarik perhatian Yovanka sehingga menghentikan langkah kakinya. Terlihat seorang wanita tua berambut putih berdiri di depan kantor polisi, dengan sebuah papan yang dikalungkan di lehernya bertuliskan 'TOLONG SELIDIKI KASUS CUCUKU'. Sambil memakan sebungkus roti tawar, nenek itu melakukan aksi protesnya seorang diri. Setiap orang yang melewati jalan itu pasti menyempatkan diri untuk menolehkan kepala melihat nenek itu. Yovanka yang hatinya langsung terbesit olehnya pun bergegas berlari menghampirinya.
“Permisi, Nek. Kalau saya boleh tahu, apa yang terjadi pada cucu nenek?” tanya Yovanka melayangkan tatapan memelasnya. Akan tetapi, nenek itu hanya diam saja, seakan-akan Yovanka tak ada di sana. Ia hanya berfokus pada aksi protes itu sambil menghabiskan sisa roti di genggamannya. Tiba-tiba, seorang polisi datang menghampiri mereka berdua dengan mengunyah sebuah donat di dalam mulutnya.
“Permisi Nek, sebaiknya Anda pulang ke rumah saja,” perintahnya.
“Tidak! Sebelum kalian melanjutkan penyelidikan terhadap cucu saya. Saya mohon temukan dia! Dia itu masih remaja, sekarang ini pasti dia sedang sangat ketakutan!” kekeh sang nenek.
“Hahh... begini ya, Nek. Kami di sini juga bukannya tidak melakukan apa pun. Kami sedang berusaha melakukan penyelidikan, dan penyelidikan seperti ini membutuhkan waktu. Sebaiknya Nenek segera pulang, tidak baik jika terus-menerus berada di sini. Jika kami menemukan sesuatu, kami pasti akan segera memberi tahukannya pada Nenek. Haduh, ada-ada saja. Memangnya ada orang yang melakukan aksi protes secepat ini, tiga hari saja belum berlalu sejak kejadian itu,” tegas sang polisi.
“Tetapi saya tidak melihat kalian melakukan tindakan apa pun, bahkan sejak tadi pagi,” balas sang nenek. Kepala polisi itu tergeleng-geleng menyerah, ia mengembuskan napas kasar dan kembali masuk ke dalam kantor, meninggalkan sang nenek yang masih saja berdiri di sana melakukan aksi protes. Yovanka yang tidak tahu harus berbuat apa lagi pun kembali menemui Wylie yang telah sangat sabar menunggunya sejak beberapa menit terakhir.
“Maaf telah membuatmu menunggu, ketua kelas, aku hanya penasaran dengan apa yang terjadi pada nenek itu. Tetapi aku tetap tak tahu apa yang telah menimpanya. Saat aku bertanya padanya tadi, dia hanya mengabaikanku,” sesal Yovanka memanyunkan bibir.
“Sepertinya aku tahu dia kenapa.”
“Hah? Benarkah? Bagaimana kau bisa tahu? Memangnya apa yang terjadi?” tanya Yovanka bertubi-tubi karena tak sabaran.