Sore ini, Yovanka pulang sendiri karena Wylie ada jadwal piket kelas. Awalnya Yovanka ingin menunggunya sampai selesai, tetapi Wylie malah menyuruh anak itu agar pulang duluan. Dan itu membuat Yovanka cemberut. Sambil memegangi gendongan tasnya, ia mengambil langkah kecil melewati koridor ruang musik yang sepi. Hanya terdengar suara violin yang berasal dari dalam ruang musik sana. Nadanya yang indah pun terdengar hingga keluar ruangan.
Yovanka terpesona! Ia pun berniat untuk mengintip lewat jendela, tetapi sayangnya tak sampai. Meski sudah berjinjit sekalipun, Yovanka yang tinggi badannya hanya 155 cm tak bisa meraih jendela yang tinggi, sehingga tak tahu siapa orang yang memainkan violin dengan begitu indahnya. Nada lagu yang tak asing itu mengingatkan Yovanka pada lagu berjudul Play Date oleh Melanie Martinez, salah satu lagu yang ia masukkan ke dalam playlist kesukaannya.
Ia pun memutuskan untuk menunda jam pulangnya dan duduk bersandar di luar ruang musik sambil mendengarkan melodi yang sangat elegan dan lembut itu. Bahkan mampu menenangkan hatinya. Padahal ia sudah sering mendengar permainan violin, tetapi entah kenapa permainan yang satu ini terdengar sangat berbeda, bahkan jauh lebih baik dari seorang profesional yang sering muncul di televisi dan mendapat banyak viewers di internet. Sungguh, dia merasa kasihan terhadap orang-orang yang tak tahu keberadaan musisi sehebat ini.
Tanpa sadar ia memejamkan kedua matanya dengan damai. Alunan lembut mulai bersenandung di sekelilingnya. Legenda mengatakan bahwa ketika seseorang telah cukup menderita di kehidupannya, seseorang mungkin menemukan dirinya mendengar musik dari alam semesta. Bahasa angin akan datang membisikkan, membelai, dan menghibur yang terluka melalui angin sepoi-sepoi.
Gadis itu membuka matanya dan terdiam sesaat. Menemukan dirinya berdiri di tengah-tengah ballroom dengan atap-atap besar yang tertutup kaca dan lantai batu dipoles pucat sehingga memantulkan cahaya alami, membuat ruangan itu terlihat lapang dan cerah, juga adanya lampu gantung berhias berlian di atas kepalanya. Yovanka yang mengenakan gaun pesta seorang putri kerajaan hanya berdiri kaku sambil memperhatikan orang lain berdansa.
Sampai seorang pangeran tampan berjalan menghampirinya, kemudian berbungkuk mengajaknya berdansa bersama. Yovanka tersenyum lebar! Bukannya menerima ajakan sang pangeran, gadis itu malah menari dengan bebas di atas lantai dansa tanpa memikirkan keadaan sekitar. Menjadikan dirinya bintang utama di acara pesta dansa kerajaan itu. Namun momen mengasyikkan itu rusak ketika tiba-tiba saja kakinya tersandung oleh hak sepatu kacanya, membuat dirinya terjatuh ke dalam pelukan seorang pria. Yovanka mendongak dan melihat wajah yang familiar di hadapannya. Ya, Shaquille!
“Sha...Shaquille, bagaimana kau bisa berada di sini?” serunya terkagum-kagum.
“Mau sampai kapan kau menindih tubuhku hah? Dasar berat.” DEG! Imajinasinya yang sudah berjalan sangat jauh itu seketika langsung rusak tatkala Shaquille masuk ke dalamnya. Helaan napas penuh rasa kecewa pun diembuskannya. Tetapi tadi itu menyenangkan sekali! Biasanya ia tak punya imajinasi yang bagus, namun berkat permainan violin itu, ia jadi dapat membayangkan sesuatu yang amat menakjubkan.
“Heh, ngapain senyum-senyum sendiri?” tegur Shaquille yang entah datang dari mana. Yovanka tersentak kaget. Panjang umur sekali orang ini. Baru saja dipikirkan, eh langsung datang tak diundang.
“Oh? Pangera— maksudku Shaquille, aku sedang mendengarkan seseorang yang memainkan violin di dalam ruang musik, ayo kemari, kita dengarkan bersama,” ajak Yovanka sambil melambai-lambaikan tangannya ke dalam, lalu memejamkan kedua matanya kembali. Shaquille tergeleng-geleng, ia berjalan mendekati Yovanka lalu berjongkok untuk menyelaraskan tinggi keduanya, dan tiba-tiba mencapit hidung kecil Yovanka. Layaknya tombol otomatis, gadis itu langsung melayangkan sebuah tamparan yang mendarat tepat di pipi Shaquille dengan kencang.
“U-uwaa...! Maaf! Aku tak sengaja!” teriak Yovanka nyaring seraya menutup mulut dengan kedua telapak tangannya. Kedua mata Shaquille memicing ke arahnya, lelaki itu kembali berdiri dan mendesis menahan amarah. Tanpa mengeluarkan sepatah kata pun, ia langsung berbalik badan dan berjalan pergi dengan mengambil langkah panjang. Karena merasa bersalah, Yovanka langsung berlari mengejar Shaquille, menghalangi jalannya, dan membungkukkan badan.
“Shaquille! Ma-maaf! Aku benar-benar tak sengaja. Sebenarnya, tanganku memang seperti ini! Suka menampar orang tanpa alasan! Ugh, dia memang harus kuberi pelajaran sekali-kali! Maaf...,” mohon Yovanka dengan air mata yang sudah menggenang di pelupuk matanya. Shaquille menyipit pasrah, begitu melihat kedua mata Yovanka yang berkaca-kaca entah bagaimana membuatnya merasa tak tega.
“Ya, kumaafkan,” jawab Shaquille dingin dan singkat, namun berhasil mengembalikan senyuman di wajah Yovanka, juga menghilangkan air matanya.
“Huwaa... benarkah? Makasih! Makasih! Makasih!” Yovanka melompat-lompat kegirangan, lalu memeluk orang yang telah memaafkannya itu. Shaquille membeku. Sungguh, ia benar-benar tak mengerti... sebenarnya Yovanka ini makhluk macam apa? Hanya karena kesalahan kecilnya dimaafkan saja, reaksinya sudah seperti memenangkan lotre. Apalagi jika ia benar-benar memenangkan lotre, mungkin saja ia akan berlari ke jalan raya sambil berteriak kalau dirinya telah memenangkan lotre kepada semua orang yang ditemuinya.
“Eh? Ternyata kau orang yang main violin tadi?” seru Yovanka tatkala menyadari tas violin yang dijinjing tangan kanan Shaquille.
“WAH, AKU PENGGEMAR BERATMU!” lanjut gadis itu tiada henti. Benar-benar berisik. Shaquille pun hanya terus berjalan tanpa menghiraukan suara gadis yang memenuhi telinganya itu.
“Omong-omong, kau mau pulang, ya? Bareng denganku, yuk!” ajak Yovanka yang langsung berjalan lurus bahkan tanpa menunggu persetujuan dari orang yang diajaknya.
***
Matahari yang menyinari seluruh kota Fussen perlahan-lahan mulai terbenam. Langit jingga kemerah-merahan menemani perjalanan mereka yang begitu tenang dan damai. Cahaya lampu keemasan yang berasal dari berbagai bangunan serta lampu jalanan bersinar terang menyertai perjalanan singkat namun indah itu. Burung-burung pun beterbangan dengan serasi di atas langit. Rasanya tidak ingin momen seperti ini berakhir begitu saja.
Seluruh perasaan hangat itu dialami oleh Yovanka. Shaquille? Entahlah. Laki-laki itu hanya berjalan lurus dengan memasang tampang dingin, tanpa mengindahkan keadaan di sekitarnya. Yovanka bahkan tak bisa menebak apa isi dari hati laki-laki itu. Seketika langkah Shaquille terhenti di depan sebuah mini market, kemudian menatap mata Yovanka yang entah kenapa sejak tadi tak berhenti tersenyum.
“Kau tunggu di luar, aku mau beli sesuatu dulu di mini market,” suruh Shaquille yang tak disangka langsung disambut oleh anggukan kepala Yovanka. Tumben menurut. Sementara ia masuk ke dalam mini market, Yovanka hanya duduk di bangku luar sambil memainkan ponselnya. Yahh meski tak ada yang menarik di dalamnya, setidaknya ia terlihat sibuk. Dan tentunya, sambil memainkan ponsel, sesekali Yovanka melirik Shaquille melalui kaca mini market yang tembus pandang. Gadis itu pun iseng membuka kamera dan memotret Shaquille secara diam-diam. Setiap kali satu gambar terambil, tawa kecilnya juga ikut terdengar. Lucu.
Akhirnya! Yovanka punya beberapa foto aib seorang Shaquille di ponselnya. Saat sedang melihat-lihat hasil jepretannya, beberapa bayangan menghalangi sinar mataharinya, sehingga layar ponselnya nampak gelap. Gadis itu mendongakkan kepala, dilihatnya sekumpulan laki-laki mengenakan seragam yang sama dengan seragam sekolahnya, berdiri mengelilinginya sambil tertawa-tawa kecil aneh.
“Ada apa ya?” tanya Yovanka bingung tak berpetunjuk.
“Halo. Selamat sore, nona cantik. Apa benar kau Yovanka dari kelas 2-2? Temanku ini katanya suka denganmu loh,” jawab salah satunya sambil menarik-narik lengan temannya yang bersembunyi di belakang dengan malu-malu.
“Oh, benarkah? Makasih! Aku sangat menghargainya!” jawab Yovanka senang.
“Ha-hai, namaku Mark dari kelas 3-3, kakak kelasmu di sekolah. Aku tampan dan suka semangka. Kita memang belum pernah sebelumnya, tetapi kau benar-benar tipeku, apa aku boleh minta nomormu?” pintanya sambil menggaruk tengkuk yang tidak gatal. Begitu orang bernama Mark itu membuka mulutnya, tercium bau alkohol yang sangat menyengat keluar dari dalamnya. Yovanka yang tak kuat dengan bau-bau minuman keras pun spontan menahan napasnya. Inginnya sih langsung mencapit hidung, tetapi ia tak ingin terkesan tidak sopan.
“Hah? Nomor teleponku? Tetapi, untuk apa?” tanya Yovanka dengan kepala yang dimiringkan.
“Aku ingin mencoba berteman denganmu hehe. Itu pun jika kau mengizinkan,” dehamnya sambil mengibaskan rambutnya ke belakang
“Oh, teman? Tentu saja boleh! Mana, kemarikan ponselmu,” seru Yovanka dengan polosnya. Mark dan teman-temannya menyeringai, saling melirik satu sama lain. Lelaki penyuka semangka itu pun menyodorkan ponselnya pada Yovanka sambil menatapnya penuh gairah.
“Apa yang kalian lakukan?” Semuanya sontak menolehkan kepala ke arah sumber suara itu dan melihat Shaquille berdiri mematung dengan menjinjing kantung belanjaannya.