Seminggu telah berlalu. Hari ini adalah hari Minggu di mana seluruh sekolah diliburkan. Hari ini juga adalah hari di mana kompetisi melukis diadakan. Alarm yang Wylie setel di ponselnya berbunyi sangat nyaring, menghebohkan seluruh penjuru kamarnya. Dengan mata yang masih sayu, Wylie tiada henti menekan-nekan tombol matikan yang entah kenapa tak kunjung terpencet. Ia pun membuka matanya lebar-lebar dan melihat buku catatan kecil di dalam genggamannya. Dengan kesal, ia membanting buku itu dan mengambil ponsel setelahnya.
Wylie merentangkan tangannya seraya menguap lebar-lebar. Gadis pirang itu menghampiri jendela kaca kamarnya lalu membuka gorden berwarna keemasan dan menyampirkannya. Cahaya matahari yang menembus kaca menyilaukan pandangan Wylie, membuat nyawanya terkumpul seketika. Hari ini, Ilona meminta dirinya untuk menemaninya pergi ke kompetisi melukis. Meski bermalas-malasan, Wylie tetap mengiakan permintaan kawannya itu.
Wylie mengambil handuk merah dari dalam lemari pakaian, kemudian memasuki kamar mandi yang menyatu dengan kamar tidurnya. Ia memutar keran sehingga pancuran airnya menyala dan menghujani sekujur tubuhnya dengan air hangat. Sambil menikmati air yang hangat, entah kenapa Wylie tak bisa berhenti memikirkan lukisan seperti apa yang akan Ilona tunjukkan pada publik untuk pertama kalinya. Tetapi seperti apa pun hasil lukisannya nanti, anak itu pasti akan memenangkan kompetisinya. Karena Wylie tahu betul kalau anak itu memiliki bakat alami yang terus-menerus diasah. Dia itu sudah hebat, tetapi tetap saja tak berhenti meningkatkan kemampuannya.
Setelah selesai bersiap-siap, Wylie menaiki bis untuk pergi ke gedung kesenian di mana lomba diadakan. Tak lupa, ia juga mengirimi pesan pada Ilona kalau dirinya sudah berangkat. Wylie yang duduk di samping jendela pun menempelkan pipinya sambil memperhatikan orang yang lalu-lalang di tempat penyeberangan. Kebetulan sekali, di sana dirinya melihat Yovanka yang tengah menyeberang dengan senyuman di wajahnya. Padahal anak itu tidak sedang menghadapi situasi yang menyenangkan, tetapi kenapa senyuman itu terus-terusan berada di sana? Ini adalah pertama kalinya ia bertemu dengan seseorang seperti Yovanka.
Selepas perjalanan yang ditempuh selama kurang lebih 20 menit itu, akhirnya Wylie sampai di depan gedung kesenian yang dipadati oleh orang-orang yang juga ikut lomba. Wylie yang tidak menyukai keramaian pun jadi pusing melihatnya. Bagaimana ia bisa menemukan Ilona di antara orang-orang sebanyak ini? Ia pun menelepon Ilona untuk menanyakan keberadaannya. Baru saja ia menempelkan ponsel ke telinganya, matanya langsung menemukan orang yang dicarinya berdiri di atas anak tangga gedung sembari melambaikan tangan ke arahnya. Wylie pun spontan memutus sambungan teleponnya dan berlari menghampiri Ilona.
“Astaga, ramai sekali di sini, ini baru jam sembilan pagi loh, tetapi cuacanya udah panas banget!” keluh Wylie sambil mengipas-ngipas wajahnya menggunakan tangannya sendiri.
“Yahh, namanya juga tempat umum. Sudah jangan mengeluh terus, ayo masuk saja, di dalam lebih dingin loh!” seru Ilona bersemangat yang kemudian menyeret Wylie masuk ke dalam gedung yang ramainya tak beda jauh dengan di luar.
“Lombanya kapan dimulai sih?” tanya Wylie.
“Udah dimulai dari tadi, udah tahap kedua malah. Tahap pertama itu pendaftaran, tahap kedua presentasi, tahap ketiga penilaian, baru deh pengumuman! Dan di tahap presentasi ini, masing-masing peserta harus maju ke atas panggung dan memperkenalkan lukisannya. Sekarang ini aku masih menunggu giliranku. Gugup banget!” jelas Ilona.
“Tenang saja, kau pasti bisa menanganinya dengan baik. Aku percaya itu. Omong-omong, lukisan seperti apa yang kau ikut sertakan dalam lomba ini? Jangan membuatku penasaran lah! Beritahu saja, memangnya kita baru kenal setahun dua tahun,” desak Wylie yang kepalanya penuh dengan tanda tanya.
“Jika aku memberi tahumu sekarang, bukankah tidak akan terasa istimewa? Tenang saja, aku akan memperlihatkannya padamu nanti, sama seperti aku memperlihatkannya kepada semua pengunjung di sini. Dan yang pasti, lukisan ini berbeda dari lukisan-lukisan yang pernah kubuat sebelumnya,” terang Ilona tersenyum miring.
Sampai saat ini, tahap perkenalan berlangsung dengan lancar. Karya-karya para pelukis lain memanglah bagus, namun belum ada yang benar-benar menarik perhatian orang-orang. Ilona duduk di kursi penonton sambil menyilangkan kedua tangannya, menyaksikan penampilan para pesaingnya. Wylie melirik ke arah gadis berambut hitam pekat itu, kedua matanya penuh dengan kepercayaan diri seakan-akan ia tahu kalau dirinya adalah pelukis yang akan memenangkan lomba ini. Namun Wylie tak lagi heran, karena kawannya memang seperti itu.
Sang pembawa acara menyebutkan nama lengkap Ilona dan menyuruhnya untuk segera naik ke atas panggung sebagai peserta terakhir. Seperti kata kebanyakan orang, seorang bintang selalu muncul terakhir. Dengan menjinjing lukisan yang masih ditutupi oleh kain, Ilona menghentak-hentakkan kakinya menaiki tangga menuju panggung. Gadis bernama belakang Arabella itu berdiri di depan para pengunjung dengan senyuman penuh percaya diri di wajahnya. Kain penutup lukisannya terbuka! Menampilkan sebuah lukisan indah terindah abad ini. Bola mata Ilona yang berwarna biru tua berkeliling, memperhatikan setiap reaksi orang satu per satu ketika kain lukisannya dibuka. Takjub! Benar-benar takjub!
Lukisan yang dinamakan ‘School Girl with Her Flute Under the Rain’ itu mengambil latar belakang hutan hujan, menampilkan seorang gadis muda dari ujung kepala hingga ujung kaki duduk di atas sebuah pohon tumbang dengan menyilangkan kakinya. Gadis berwajah cantik itu terlihat sedang memainkan sebuah alat musik bernama flute di bawah hujan gerimis. Dengan mengenakan seragam sekolah yang mirip dengan seragam sekolah mereka, sekujur wajah dan pakaiannya basah terkena kucuran tetes air hujan.
Kedua matanya menatap ke bawah. Wajah yang tak dipoles riasan sama sekali itu menambah kesan alami dan natural. Dedaunan hijau yang berembus terkena angin membuat lukisan ini terasa damai. Suasana malam yang ditandai oleh langit gelap membuat siapa pun yang memandangi lukisan itu dapat merasakan kedamaian dan ketakutan dalam saat yang bersamaan.
“Selamat pagi, Tuan dan Nyonya sekalian. Sebelum saya memperkenalkan lukisan ini, saya akan memperkenalkan diri sendiri terlebih dahulu. Nama saya adalah Ilona Arabella. Saya sudah mulai melukis sejak umur tujuh tahun, tetapi ini adalah pertama kali saya mengikuti kompetisi melukis, jadi saya agak gugup. Baiklah. Seperti yang Anda sekalian bisa lihat di sini, lukisan yang bernama ‘School Girl with Her Flute Under The Rain’ ini menggunakan seorang gadis cantik nan elok sebagai objek utamanya....”