Aku, Ilona, dan Joe adalah sahabat baik. Kami sudah berteman sejak kecil. Pada suatu sore yang damai, hangat, dan sederhana, kami bermain di teras depan rumah Ilona. Saat itu aku dan Ilona masih berumur empat tahun, sedangkan Joe sudah berumur lima tahun. Ceritanya sih lagi main masak-masakan, tetapi hanya aku dan Ilona yang main, sementara Joe hanya duduk diam memperhatikan kami berdua dengan menyilangkan kedua tangannya kesal.
“Wylie, tolong ambilkan tiga helai daun di sana dong,” perintah Ilona sambil menumbuk-numbuk mahkota bunga dengan sebuah batu besar.
“Cih, memangnya tidak ada permainan lain yang bisa dimainkan? Kenapa harus masak-masakan? Ini ‘kan permainan perempuan,” keluh Joe.
“Kalau tidak mau main, pergi saja sana, main sama anak laki-laki! Jangan mengeluh terus! Lagi pula kalau sudah tau ini permainan anak perempuan, kenapa masih tetap di sini? Huh!” bentakku.
“Bagaimana aku bisa bermain sama anak laki-laki? Kau tahu sendiri ‘kan kalau tidak ada anak kecil lagi selain kita bertiga di lingkungan sekitar sini, ibuku juga tak mungkin mengizinkanku main jauh-jauh. Lagian aku juga anak tunggal sama seperti kalian berdua, tidak ada saudara yang bisa kuajak bermain,” elak Joe memalingkan wajah.
“Sudah tahu seperti itu, terima saja apa yang ada sekarang atau kutendang bokongmu sampai ke angkasa!” ancamku yang langsung mengangkat kaki kananku sehingga sendal yang kukenakan melayang mengenai kepala Joe. Joe yang saat itu tak merasa melakukan kesalahan apa pun langsung mengamuk, berteriak, dan berlari mengejarku untuk balas dendam. Bocah laki-laki itu terus saja mengejarku meski kecepatan berlarinya tak sebanding denganku. Ilona yang kami gunakan sebagai benteng pun tertawa terbahak-bahak melihat tingkah kami berdua.
Karena semakin geram mendengar cibiranku yang tiada henti, Joe pun celingak-celinguk dan memungut sebuah kerikil. Tanpa pikir panjang, ia langsung melemparkannya kencang-kencang ke arahku yang saat itu sontak bersembunyi di balik badan Ilona. Bukannya mengenaiku, kerikil itu malah tepat mengenai kening Ilona sehingga darah mengucuri seluruh bagian wajahnya. Joe yang tak tahu kalau ulahnya itu akan melukai Ilona pun bergegas berlari menghampirinya.
“Il, kau tidak apa-apa? Ma-maaf, aku tidak sengaja, i-ini semua gara-gara Wylie!” seru Joe yang malah melempar kesalahannya padaku.
“Hee? Kenapa aku? Kau sendiri yang melempar batu itu padanya!” sanggahku.
“Kalau saja kau tidak mengejekku, aku pasti tak akan melempar batu itu!” dengus Joe.
“Sudahlah! Kenapa kalian malah berdebat karena hal seperti ini,” sela Ilona menengahi perdebatan kami yang tak berujung, “memangnya ini adalah hal yang perlu diperdebatkan?”
“Ya? Tentu saja! Kepalamu berdarah! Kau harus segera diobati!” pekikku.
“Heh, ini ‘kan hanya darah. Memangnya ini masalah?” Ilona memicing ke arahku dengan tatapan yang aneh. Membuatku terdiam karenanya. Entah kenapa, pada saat itu juga, rasanya seperti ada kabut tebal menyelimuti seluruh tubuhku sehingga bulu kudukku merinding. Pupil mata Ilona yang mengecil entah bagaimana mampu membungkam mulutku.
“Il, aku akan memanggil ibumu, tunggulah di sini,” seru Joe.
“Tidak perlu,” tolak Ilona dengan nada dingin yang mampu menghentikan langkah Joe. Gadis itu kemudian mengelap semua darah yang mengucur dengan pakaiannya. Ia juga menekan lukanya kencang-kencang agar pendarahannya berhenti serta dua temannya ini berhenti mengoceh, namun anehnya tanpa erangan kesakitan sama sekali. Aku dan Joe sontak menatap satu sama lain dengan kening berkerut. Ini adalah kali pertama kami melihat sisi aneh dari Ilona setelah saling mengenal selama setahun. Kami yang saat itu masih kecil pun dengan cepat melupakan kejadian buruk itu dan kembali bermain seakan tak ada apa pun yang terjadi.
***
Beberapa hari telah berlalu, kami kembali berkumpul di teras depan rumah Ilona untuk bermain masak-masakan seperti biasa. Joe mengembuskan napas bosan, terlihat sekali dari wajahnya kalau ia mempertanyakan harga dirinya sebagai laki-laki karena selalu bermain denganku dan Ilona. Ilona yang sedang duduk di atas rerumputan tetiba mendongakkan kepalanya. Sesuatu telah menarik perhatiannya. Ia langsung bangkit dan berlari ke arah semak-semak, sementara aku dan Joe hanya diam dan menunggu apa yang akan dilakukannya kali ini. Gadis itu terlihat mengeluarkan sesuatu berwarna hitam dari dalam semak dan segera membawanya kembali.
“Lihat apa yang kutemukan!” seru Ilona dengan bangganya mengangkat seekor laba-laba berukuran besar dan memperlihatkannya pada kami.
“Kyaaa...! Buang itu, Il!” jeritku yang takut pada serangga.
“Meski aku tak takut pada serangga, sebaiknya kau buang itu, Il. Menurut buku yang kubaca, jenis laba-laba yang kau pegang itu sangatlah berbahaya,” timpal Joe.
“Haha, kenapa kalian sangat berlebihan seperti ini, tenang saja kali.” Ilona meletakkan laba-laba itu di atas lantai lalu tiba-tiba mencabut kakinya satu per satu dengan tangan kecilnya tanpa menggunakan alat apa pun sebagai bantuan. Aku dan Joe membelalakkan kedua mata kami saat melihat tingkah aneh Ilona yang kembali muncul.
“Il! Apa yang kau lakukan?” Joe spontan menahan pergelangan tangan Ilona, lelaki itu memicing ke arah Ilona yang balik menatapnya dengan kosong.
“Hah? Ada apa? Kenapa kau menahanku seakan-akan aku melakukan sesuatu yang salah?” tanya Ilona dengan senyuman yang seakan mengisyaratkan bahwa dirinya melakukan apa yang memang seharusnya dilakukan.