Wylie yang sudah tahu alamat rumah Yovanka pun langsung berangkat dari rumahnya pukul sepuluh pagi dengan mengenakan pakaian kasual yang nyaman dipakai. Padahal baru jam sepuluh, tetapi cuacanya sudah sangat terik. Untunglah Wylie selalu membawa satu benda yang akan melindungi kulitnya dari sinar ultra violet. Ia mengeluarkan sebuah topi berwarna putih dari dalam tas dan memakainya, meski ia tahu kalau kulit pucatnya itu tak akan berubah meski terkena panas dari sinar matahari. Begitu ia sampai di depan rumah Yovanka, dirinya langsung mematung saat berpapasan dengan Shaquille yang kebetulan juga baru datang.
“Oh? Ha-hai,” sapa Wylie sambil mengusap lehernya canggung.
“Hai,” sahutnya yang terlihat sangat santai.
“Kalian sudah sampai?” Teriakan melengking Yovanka yang khas terdengar dari kejauhan, diiringi dengan suara langkah kaki cepat yang mendekat ke arah mereka berdua. Gadis itu langsung membukakan gerbang rumahnya lebar-lebar lalu mempersilakan keduanya untuk segera masuk. Rumahnya yang besar dan mewah membuat keduanya menganga takjub sampai tak berkedip. Bahkan Wylie yang sudah pernah datang ke sini pun masih tak percaya.
Dengan ditemani sepiring biskuit cokelat serta tiga gelas jus jeruk yang disiapkan sendiri oleh Yovanka, mereka memulai pembelajaran hari ini dengan semangat di ruang tamu. Belum lima menit berlalu, semangat membara yang tadinya melekat kuat itu menghilang entah ke mana begitu cepat. Yovanka meraih remote dan menyalakan televisi. Wylie juga hanya duduk bermalas-malasan sambil mengunyah biskuit. Hanya Shaquille yang tetap belajar meski otaknya sedang tidak bisa diajak bekerja sama. Setelah setengah jam berlalu, mereka langsung tersadar kalau mereka harus belajar dengan serius. Namun setelah sepuluh menit berjalan dengan sangat membosankan, mereka kembali bersantai-santai. Begitu juga seterusnya.
“Oh, biskuitnya habis, ya? Aku akan ambil lagi di dapur, sebentar ya! Nikmati saja filmnya!” Yovanka beranjak dari tempatnya dan menghilang ke dapur yang jaraknya agak jauh dari ruang tamu, meninggalkan dua orang yang sama sekali tidak akrab itu. Wylie senang sih ditinggal berdua dengan Shaquille, tetapi ia tak tahu harus melakukan apa. Apakah ia harus mencari topik pembicaraan untuk berbasa-basi atau diam saja sampai Yovanka kembali?
“Wylie,” panggil Shaquille tiba-tiba menyerang jantung Wylie. Seluruh tubuhnya bergetar hebat. Ia tak menyangka laki-laki ini akan mengajaknya bicara duluan.
“E-eh? Ya? A-ada apa?” sahut Wylie tergagap-gagap, ia langsung berpura-pura sibuk melihat-lihat buku pelajaran untuk menghindari kontak mata dengan Shaquille.
“Ada sesuatu yang ingin kutanyakan padamu,” ucapnya serius.
“A-apa itu?” Dalam sesaat, ruangan itu diliputi dengan keheningan yang berlangsung cukup lama. Shaquille tak melepas pandangannya dari Wylie yang kebingungan setengah mati. Entah kenapa, saat itu aura yang keluar dari Shaquille terasa begitu dingin sampai-sampai membuatnya diam terpaku. Tatapan mata yang tajam serta embusan napas yang berat seakan menyelimuti seluruh tubuh Wylie yang bahkan berjarak jauh darinya.
“Apa kau dekat dengan Yovanka?” tanyanya di tengah-tengah kesunyian.
“Yovanka? Ah bisa dibilang kami ini teman, tetapi kalau soal kedekatan, aku tak begitu yakin,” jawab Wylie kaku, rasanya seperti tengah dihipnotis.
“Aku pernah melihatmu mengobrol dengan ketua dewan siswa sekolah kita, yang namanya Jonathan. Apa kau dekat dengannya?” tanya Shaquille lagi.
“Jonathan? Yah, kami tak terlalu dekat, hanya sekedar saling kenal saja. Memangnya, ada apa? Kenapa kau menanyakan pertanyaan acak seperti ini tiba-tiba?” balas Wylie dengan melontarkan kebohongan dan ikut bertanya.
“Aku kembali!!” Terlihat Yovanka yang melompat-lompat riang sambil membawa dua piring berisi biskuit cokelat dan kue jahe. Kedatangannya membuat mereka berdua tak lagi melanjutkan percakapan yang barusan. Seperti sebelumnya, mereka pun kembali belajar dan bersantai-santai hingga sore hari.
Sekarang ini, Wylie tengah dalam perjalanan pulang menuju rumahnya. Sepanjang jalan, ia selalu terbayang-bayang akan pertanyaan Shaquille tadi. Apa maksud dari pertanyaannya itu? Mungkin Wylie masih bisa memaklumi pertanyaan tentang Yovanka, tetapi Joe? Kenapa Shaquille bertanya tentang Joe? Apakah keduanya saling mengenal?
Seketika ia teringat akan sesuatu. Waktu itu, Yovanka bercerita padanya kalau Joe pernah menolong Shaquille saat pingsan karena dihajar oleh Val. Apakah Shaquille ingin membalas budi Joe melalui dirinya sebagai perantara? Tetapi mana mungkin, secara... Shaquille bukanlah tipe orang yang suka membalas budi. Kalaupun benar ia ingin membalas budi, ekspresi dan nada bicaranya saat bertanya tadi tidak mungkin sedingin itu. Hah, bisa gila Wylie dibuatnya.
***
Setiap akhir pekan, Wylie, Yovanka, dan Shaquille selalu mendatangi rumah Yovanka untuk belajar bersama, juga menonton televisi. Dengan Shaquille sebagai mentor yang tak terlalu handal karena hanya pernah mengajari adik-adiknya di panti asuhan. Di sisi lain, ada Wylie yang malah menomorduakan pelajaran, ia malah selalu menunggu kesempatan di mana dirinya bisa berdua dengan Shaquille untuk melanjutkan percakapan mereka yang belum selesai hari itu, namun kesempatan itu tak kunjung datang. Semenjak percakapan mereka hari itu, setiap malam Wylie tak bisa tidur dengan tenang karena selalu dihantui oleh rasa penasaran yang berlebih.
Keduanya tak pernah tiba di rumah Yovanka secara bersamaan lagi, seperti hari pertama. Kalau bukan Wylie yang sampai duluan, pasti Shaquille. Yovanka juga tak pernah lagi pergi ke dapur untuk mengambilkan makanan, semuanya sudah lengkap tersedia di atas meja ruang tamu. Dan semua itu pun terulang selama tiga minggu berturut-turut. Sementara itu, karena sering bertemu, tanpa mereka sendiri sadari, perlahan-lahan ketiganya menjadi semakin dekat.
Akhirnya tiba! Hari ini adalah hari pertama ujian akhir semester di sekolah. Sialnya, pelajaran pertama adalah matematika, pelajaran yang paling dibenci oleh kebanyakan murid. Di pagi yang indah ini, semua murid sibuk mondar-mandir di dalam kelas. Bukan sibuk belajar, melainkan sibuk membuat contekan. Dan tentunya Wylie dan Yovanka juga ikut membuat kertas kecil berisi materi pelajaran. Hanya Shaquille yang sedari tadi terlihat santai, nampak jelas dari sorot matanya yang begitu tenang. Maklum sih, semua materi pelajaran sudah ditelannya mentah-mentah sebelum ujian.
Waktu ujian pun berlangsung! Sial sekali, hari ini kelas Wylie mendapat pengawas yang bermata elang. Terlebih lagi Wylie duduk tepat di depan meja guru. Boro-boro melihat contekan, mengeluarkannya saja sudah takut. Bahkan Yovanka yang duduk di belakang pun tak berani mengeluarkan contekannya, rasanya pengawas itu hanya memusatkan perhatian kepadanya sejak awal. Sedangkan, Shaquille terlihat mengerjakan soal-soal dengan santai namun secepat cahaya. Sebagian besar soal dijawabnya dengan benar, cepat, dan lengkap. Sementara murid-murid yang lain sama gelisahnya seperti Wylie dan Yovanka.
Di kelas lain, ada Ilona dan Joe yang juga mengerjakan ujiannya dengan baik. Sekadar informasi. Di angkatan kelas dua, Ilona adalah murid yang mendapat ranking empat, sedangkan Shaquille mendapat ranking tujuh yang juga merupakan ranking satu di kelasnya sendiri. Sementara di angkatan kelas tiga, ada Jonathan yang mendapat ranking dua. Dua jam berlalu, pelajaran pertama akhirnya selesai dengan mengenaskan. Semuanya terkapar di tempat duduk masing-masing dengan nyawa yang memencar ke mana-mana.
“Quille, tadi nomor 15 jawabannya apa sih?” tanya Yovanka.
“Tiga per empat,” jawab Shaquille dingin.
“Tiga per empat? Argghhh, aku menjawab satu! Ketua kelas!” Yovanka segera berlari menghampiri Wylie yang terlihat tidak berdaya.
“Ketua kelas, tadi nomor 15 jawabannya apa?” tanya Yovanka lagi. Wylie mendongak, raut wajahnya nampak amat suran.
“Hah? Apa? Lima belas? Lima belas kau bilang? Apa yang kau harapkan dariku? Aku bahkan tak ingat apa soal nomor lima belas, bagaimana mungkin aku bisa mengingat jawabannya?” ringis Wylie seraya menggaruk-garuk meja. Yovanka menggeleng-gelengkan kepalanya, memikirkan bagaimana nasib mereka dua minggu ke depan.
***