“Kumohon, maafkan aku, beritahu saja kesalahanku. Aku akan menebusnya, apa pun akan kulakukan, tetapi kumohon jangan bunuh aku!” jerit seorang gadis yang terbaring di atas papan besi, kedua tangan dan kakinya terikat kuat oleh rantai besi. Tubuhnya dipenuhi oleh keringat dingin yang bercucuran tanpa henti. Seorang gadis berparas cantik berjalan santai menghampirinya sambil memainkan sebuah palu tua. Dengan senyuman lebar yang melengkung di wajahnya, gadis bernama lengkap Ilona Arabella itu mengelus-elus wajah halus mangsanya dengan tangan kosong.
“Teriakanmu terdengar sangat indah di telingaku, sayang, lanjutkan saja,” bisiknya. Gadis itu bergidik ngeri mendengar bisikan halus dari Ilona, tubuhnya bergetar tak karuan.
“Se-sebenarnya, apa salahku padamu? Ki-kita bahkan tak saling mengenal,” tangisnya.
“Tak saling mengenal? Astaga, hatiku benar-benar sakit mendengarnya. Jadi selama ini, kau menganggapku sebagai apa? Aku sedih loh,” balas Ilona yang ikut mengucurkan air mata.
“Aku bukan orang kaya raya yang orang tuanya bisa kau mintai tebusan, jadi apa yang kau inginkan dariku? Kumohon... kumohon lepaskan aku, aku berjanji tidak akan melaporkanmu pada polisi jika kau melepasku, aku akan menganggap ini tidak akan pernah terjadi. Kau... kau bisa memercayaiku,” mohonnnya. Ilona tersenyum lebar.
“Tentu saja kau tidak akan melapor polisi, sayangku, aku ‘kan tidak akan pernah melepasmu. Dan apa yang aku inginkan darimu? Tentu saja dirimu sendiri. So, jadilah gadis baik dan turuti saja semua perkataanku. Aku sudah menyempatkan pulang duluan dari acara prom night demi dirimu loh.”
Ilona meletakkan palu tua itu di atas meja dan mengambil sebuah pisau kecil sebagai gantinya. SRAT! Ia mendaratkan pisau kecil itu di atas jari kelingking gadis yang sontak menjerit kuat-kuat. Perlahan-lahan, Ilona memotong jarinya, diiringi dengan tawa kencang. Gadis itu tak bisa menahannya lagi, ia meringis kesakitan. Bahkan setelah jari yang mungil itu terpotong sepenuhnya pun, ringisannya tetap terdengar kencang. Hanya tinggal tulang yang terlihat.
Ilona meletakkan potongan jari kelingking gadis itu di atas meja, bersebelahan dengan pisau kesayangannya. Ia menatapi deretan senjata kesukaannya, pisau, cutter, jarum suntik, kapak, obeng, gergaji, palu, dan benda tajam lainnya yang berlumuran darah. Jari telunjuknya ia tempelkan di atas dagu, sedang memilih alat apa yang akan ia gunakan selanjutnya. Dan dari semua benda tajam itu, ia memilih gunting kuku. Dengan senyuman yang tak memudar sedikit pun, Ilona memotong kuku sang gadis sampai semuanya mengelupas dengan sempurna.
“Oh! Kulitmu ada yang mengelupas! Bagian kesukaanku!” Dengan segera, Ilona menarik bagian kulit mengelupas yang berada di samping kuku ibu jari itu hingga mencapai ke punggung tangan. Semakin kencang tangisan gadis itu, semakin kencang pula suara tawa Ilona. Mendadak ia mengangkat sebuah pisau dengan kedua tangannya dan menusukkannya berulang-ulang kali di atas perut sang gadis yang juga tanpa henti memuntahkan segumpal darah dari dalam mulutnya. Darah menyembur ke mana-mana, bahkan sampai mengenai gaun cantik Ilona.
“Sa-sayang, kau baik-baik saja?” Gadis itu tampak tak berdaya, wajahnya pucat kehabisan darah. Ilona mengoleskan jari-jarinya di atas darah sang gadis lalu menjilatinya hingga bersih.
“Aku rasa kau baik-baik saja. Haruskah kita melanjutkan ini ke tahap berikutnya? Hahahahahahahahahaha!! Tentu saja harus!” Lagi-lagi Ilona mengganti perkakasnya dengan sebuah pisau daging. Hanya dengan satu tangan, ia memotong pergelangan tangan gadisnya seakan tengah memotong daging di dapur untuk makan malam. Senyuman yang tulus terpampang nyata di wajah Ilona. Ia sangat menikmati apa yang dilakukannya. Sangat.
“Aku menyayangimu.”
***
Pagi yang indah bagi Yovanka, setelah semalam dirinya berbagi cerita bersama dengan seseorang yang spesial. Dia juga dapat beristirahat dengan tenang tanpa gangguan apa pun. Gadis itu menggeliat malas di atas tempat tidur sambil memeluk gulingnya erat-erat. Ia pun terduduk sambil merentangkan otot-otot lengannya. Dengan lutut yang masih lemas, ia berjalan menuju ke kamar mandi yang terletak di dalam kamar tidurnya. Ia mengambil sikat gigi berwarna merah mudanya dari dalam cup lalu menggosok-gosokannya pada barisan giginya yang sudah putih. Selepas berkumur-kumur, ia menatap pantulan dirinya di cermin seraya mengedipkan sebelah mata. Sempurna!
“Nona Yovanka, bangunlah, Nona.” Mendengar suara itu, Yovanka sontak membuka kelopak matanya dan terduduk. Ia melihat seorang bibi yang bekerja sebagai pelayan di rumahnya, berdiri di sebelah ranjang seraya melayangkan senyuman hangat kepadanya. Tunggu. Bukannya tadi dirinya sudah bangun? Apa itu semua hanya mimpi di pagi buta?
“Nona,” panggilnya lagi.