PSYCHO

Anis Nabilah
Chapter #14

Kencan?

Di pagi hari yang dingin, sepasang kekasih yang baru menetas tengah berjalan berdampingan di jalanan kota Fussen yang tak terlalu ramai dengan kendaraan maupun pejalan kaki. Sambil menciumi aroma bunga daisy yang bercampur dengan aroma kopi dari kafe yang pintunya dibiarkan terbuka. Sepanjang perjalanan, Yovanka tidak lagi mengoceh seperti biasanya dan berusaha untuk menikmati momen yang berharga ini. Bukan senyum lebar, melainkan senyum tipis yang diperlihatkannya pagi ini, menyesuaikan suasana yang terasa damai dan tenteram.

Di sisi lain, Shaquille yang tak terbiasa dengan Yovanka mode kalem pun auto merasa canggung. Ia bertanya-tanya apakah gadis ini merasa tak bisa lagi berbicara dengan bebas karena hubungan mereka yang berubah dari teman menjadi sepasang kekasih. Sesekali ia melirik ke samping untuk melihat wajah kekasihnya. Baik-baik saja. Tak terlihat tertekan sama sekali. Malah jauh lebih baik dibanding semalam. Melihat rambut Yovanka yang tersapu oleh angin sepoi-sepoi entah bagaimana mampu menyejukkan perasaan Shaquille.

“Sebenarnya kita mau ke mana sih?” tanya Yovanka yang baru sadar kalau dari tadi mereka hanya berjalan lurus tanpa tujuan yang jelas. Shaquille tertegun, mengingat-ingat artikel mengenai kencan pertama yang dibacanya sebelum berangkat ke rumah Yovanka.

“A-asalkan itu bersamamu, a-aku tidak masalah pergi ke manapun,” ucap Shaquille yang berusaha ‘menggombal’ namun malah disambut dengan tawa kencang Yovanka. Yovanka sontak menggenggam tangan kekasihnya dengan erat dan menunjukkan giginya dengan tersenyum lebar-lebar.

“Haha, aku tahu itu, aku tahu,” balas Yovanka dengan tawa kecilnya yang terdengar manis. DEG! Shaquille menutup kedua matanya, berusaha menghirup udara segar kuat-kuat. Ceritanya lagi nahan senyum. Tapi gagal. Shaquille memalingkan pandangannya, mulutnya terbuka lebar membuang napas, ia memegangi dadanya yang tak kuat melihat Yovanka. Terlalu manis!

Pengeras suara yang terpasang di pojok atas kafe memainkan sebuah lagu berjudul Mariposa oleh Peach Tree Rascals yang nadanya sangat lembut dan manis, pas didengar pada suasana seperti ini. Mengunjungi kafe lalu menyantap sepotong cheesecake serta menyesap secangkir teh hangat bersama orang terkasih di pagi hari memanglah hal yang tak bisa tergantikan oleh apa pun, terlebih lagi jika dihiasi percakapan kecil dengan topik ringan yang hangat.

“Yovanka? Shaquille? Kalian sedang apa di sini?” Keduanya menolehkan kepala bersamaan, melihat Wylie berdiri di sebelah mereka dengan ekspresi terkejut terpasang di wajahnya.

“Ah ketua kelas! Kok bisa ketemu di sini ya haha! Umm... sebenarnya, kami sedang berkencan, kami baru saja menjalin hubungan kemarin!” jawab Yovanka secara blak-blakan.

Wylie terkejut! Gadis itu terdiam seribu kata, masih berusaha menyerap perkataan Yovanka yang tak bisa ia percayai begitu saja. Melihat reaksi Shaquille yang tak mengelak sama sekali, sepertinya mereka memang bener berkencan. Tetapi, sejak kapan? Bagaimana bisa? Kenapa harus dengannya? Sebenarnya Wylie sudah sampai duluan di kafe itu jauh sebelum mereka. Ia memandangi Shaquille dan Yovanka yang tampak begitu bahagia dan saling bercanda semenjak tadi. Tak henti-hentinya Wylie melihat senyum merona Shaquille saat Yovanka berada di dekatnya. Wylie benci mengatakan ini, tetapi mereka berdua memang terlihat cocok sama lain.

“Ketua kelas, kenapa diam saja?” Petikan jari Yovanka pun menyadarkan Wylie dan membuatnya sedikit terhentak.

“Ah ti-tidak kok,” elak Wylie.

“Apa kau mau bergabung dengan kami?” tawar Yovanka.

“Oh tidak usah, aku masih punya urusan lain. Nikmati saja waktu berdua kalian. Omong-omong... selamat,” ucapnya dengan senyuman yang dipaksakan. Tak ingin mendengar balasan dari Yovanka lagi, gadis yang hatinya baru saja dipatahkan secara tak langsung itu cepat-cepat meninggalkan kafe dengan perasaan bercampur aduk. Kedua tangannya terkepal erat. Sialan. Bedebah. Bajingan. Dalam benaknya, tak henti-hentinya ia mengumpati kata-kata yang ditujukan untuk seseorang yang telah mengambil Shaquille darinya.

Gadis itu membanting pintu kamar, lalu merobohkan dirinya di atas kasur dan menenggelamkan wajahnya pada bantal. Dadanya bergemuruh hebat. Rasanya ingin sekali ia berteriak sekarang juga. Tak sampai satu menit, Wylie kembali menelentangkan tubuhnya seraya menatapi langit-langit di kamarnya. Merenungi sesuatu yang tak pernah terpikirkan olehnya selama ini. Jika diingat-ingat lagi, murid baru itu adalah satu-satunya perempuan yang bisa dekat dengan Shaquille, tak aneh jika mereka bisa memiliki hubungan lebih dari sekedar teman.

Dulu Joe, sekarang Shaquille. Kisahnya tak pernah berjalan dengan mulus. Tidak, tidak. Bahkan kisahnya tak pernah bermulai. Mungkin ia masih bisa merelakan Joe yang hanya sekadar cinta monyet baginya, tetapi tidak dengan Shaquille. Sungguh, perasaan yang ia rasakan kepada Shaquille jauh berbeda dengan perasaan bertahun-tahun lalu pada Joe. Rasanya seperti ‘aku menyukainya lebih dari diriku sendiri’.

Namun, kenapa harus Yovanka? Apakah gadis sepertinya adalah tipe Shaquille? Berbagai pertanyaan yang tak bisa ia jawab sendirian terus-menerus menyerang kepalanya. Dan yang paling membuatnya penasaran adalah... apakah Yovanka tahu kalau lelaki yang dikencaninya adalah seorang pembunuh? Ah benar-benar! Ingin menangis saja tak bisa! Ia menyukai Shaquille, tetapi tak berani mendekatinya, dan malah marah ketika Yovanka berkencan dengannya. Pengecut! Kata yang paling cocok untuk mendeskripsikan dirinya sendiri. Pas sekali.

***

Teriknya matahari di siang bolong seperti ini mampu menembus ubun-ubun siapa saja yang berjalan di bawahnya. Tetapi tidak dengan Yovanka dan Shaquille yang sejak tadi berteduh di dalam gedung dengan pendingin ruangan, game center! Dua orang itu benar-benar menghabiskan hari ini hanya dengan bersenang-senang.

“Ini pertama kalinya aku main seperti ini secara langsung, biasanya cuman lewat ponsel haha, ternyata seru juga!” seru Yovanka yang tak henti-hentinya menarik pelatuk pistol untuk menembaki zombie yang berada di layar.

Lihat selengkapnya