Sepuluh tahun berlalu begitu saja bagai angin lalu, seakan tidak ada yang pernah terjadi. Ketika matahari telah menyinari seisi kota Fussen, gadis berambut pirang dan berkulit pucat bernama Wylie Odelia menjinjing sebuah tas hitam besar, kemudian mengemudikan mobilnya untuk berangkat ke sekolah di mana dirinya menjabat sebagai kepala sekolah. Sekolah menengah atas yang ia datangi saat ini juga merupakan tempatnya menuntut ilmu di masa remaja dulu. Ia memakirkan mobil berwarna hitamnya di tempat parkir depan sekolah, melangkahkan kakinya masuk ke dalam lobi, dan tersenyum manis menyapa para murid.
“Selamat pagi, Tuan Jonathan,” sapa Wylie kepada salah seorang guru pria di sekolahnya. Guru itu menundukkan kepalanya di hadapan Wylie dan berbalik menyapanya dengan penuh hormat.
“Selamat pagi juga, Nyonya Wylie.” Guru itu melayangkan senyumannya sambil menatap kedua mata Wylie. Pagi yang sibuk membuat keduanya tak bisa berbasa-basi lebih lama lagi. Wylie pun langsung pergi memasuki ruangan pribadinya, sementara Joe menuju ruang guru untuk bersiap-siap memulai kegiatan belajar mengejar. Ketika menduduki kursinya, Wylie mengembuskan napas pelan dan tersenyum tipis.
Hubungannya dengan Joe dan Ilona kembali membaik. Sungguh, tak ada hal yang lebih menyenangkan dibanding berbaikan dengan kedua orang ini. Joe menjadi guru mata pelajaran matematika di sekolah tempat Wylie menjabat sebagai kepala sekolah, sedangkan Ilona menjadi seniman yang terkenal akan lukisan-lukisannya yang menakjubkan. Dan tentunya, sampai saat ini, Ilona masih belum berubah juga. Begitu juga dengan Joe yang selalu memendam perasaannya terhadap Ilona dan tak pernah beralih ke siapa pun. Tetapi Wylie tak masalah dengannya, selama mereka bertiga bisa selalu bersama dan tetap menjalin hubungan dengan baik.
Waktunya pulang sekolah! Sore ini adalah hari yang sangat melelahkan bagi Wylie. Setibanya di rumah, ia ingin cepat-cepat berendam di dalam air hangat, lalu menyantap semangkuk sup daging sapi serta secangkir teh hangat! Saat tengah asyik-asyiknya mengkhayalkan rencananya, terdengar suara Joe yang meneriaki namanya sambil menepuk pundak kirinya.
“Oh? Joe, ada apa?”
“Eh? Apa ini? Kau hanya memanggil namaku tanpa embel-embel jabatan? Bukannya kita masih ada di sekolah?” sindir Joe dengan tawanya yang menyebalkan.
“Apaan sih, dasar. Cepat katakan saja alasanmu memanggilku. Aku tak punya waktu untuk membicarakan hal-hal tak berguna denganmu, aku ingin cepat-cepat pulang dan merebahkan diriku di atas kasur yang jauh lebih nyaman dibanding kursi padat di ruangan kepala sekolah,” keluh Wylie dengan memasang tampang ketus.
“Haha, umurmu sudah puluhan saja masih punya sifat kekanak-kanakan seperti ini. Aku juga tidak ada maksud apa-apa, cuman mau menyapa. Omong-omong, aku tidak menyangka loh kalau kau akan menjadi kepala sekolah. Tidak adil huh, padahal aku lebih tua darimu, aku juga jauh lebih pintar,” cibir Joe.
“Heh, apa-apaan itu, enak saja, aku juga pintar. Lebih tua setahun saja bangga banget. Lagi pula, seorang kepala sekolah tidak membutuhkan yang seperti itu, yang penting itu adalah jiwa kepemimpinan dan rasa tanggung jawabnya. Sejak sekolah menengah pertama, aku selalu jadi ketua kelas yang berwibawa, kau tahu?”
“Hei, kau lupa kalau aku pernah jadi ketua dewan siswa sewaktu sekolah menengah atas? Wibawaku saat itu juga tak kalah hebat, bahkan banyak yang mengidolakanku,” lawan Joe yang tak mau kalah.
“Cih, jangan kegeeran begitu, kebanyakan yang memilihmu untuk menjadi ketua dewan siswa adalah anak-anak perempuan tahu. Memang memiliki wajah yang enak dipandang di dunia seperti ini membuat hidup menjadi lebih mudah. Meski hidupmu tak sempurna, setidaknya kau punya wajah itu, kesulitanmu di dunia pun berkurang satu, jadi bersyukurlah. Saat kau menjabat sebagai dewan siswa juga tak sebagus itu kok,” gerutu Wylie nyaring, sehingga para murid-murid yang masih berada di sekolah memandangi mereka berdua dengan aneh.
“Haha, kau ini mengejek atau bagaimana sih.”
Keduanya berpisah di tempat parkir, masuk ke dalam mobil masing-masing. Wylie yang tidak lagi tinggal dengan orang tuanya dan sudah membeli rumah sendiri pun pergi ke arah yang berlawanan dengan Joe. Pria itu benar-benar setia. Mulai dari gadis yang disukainya hingga tempat tinggalnya, tak pernah berganti sejak dia lahir. Wylie pikir pria seperti itu sudah punah dari peradaban, rupanya masih tersisa satu di Jerman.
Untunglah jalanan di Fussen tidak terlalu ramai seperti di kota-kota besar lainnya, sehingga membuat mobil yang dikendarai Wylie dapat segera sampai di rumahnya yang hangat. Sesampainya di sana, Wylie tak mau membuang-buang waktu. Ia segera keluar dari mobil dan membuka pintu dengan kunci rumah yang ia ambil dari dalam tasnya. Gadis yang sekarang ini sudah beranjak dewasa itu melempar tasnya sembarang, melompat ke atas kasur lalu berguling-guling layaknya anak berumur empat tahun yang baru pulang sekolah.
Cuaca yang mendadak mendung menandakan bahwa hujan akan turun sebentar lagi. Udara langsung berubah sejuk, benar-benar nyaman. Tanpa berganti pakaian terlebih dahulu, Wylie memejamkan kedua matanya dan membiarkan dirinya terlarut ke alam bawah sadar yang membawa ketenangan ke dalam hatinya. Semakin lama, semakin larut. Tepat ketika gadis itu baru akan tertidur, telinganya menangkap suara ketukan dari pintu depan rumah.
Terpaksa, ia harus bangkit dan membukakan pintu untuk siapa pun yang berani mengganggu waktu berharganya di sore hari. Ia pun kembali merapikan rambutnya yang sudah acak-acakan dengan sela-sela jarinya, juga menggosok-gosok sepasang bola mata yang sudah lelah dengan tangannya. Kepala sekolah itu meletakkan tangan kanannya di atas gagang pintu lalu membuka pintunya secara perlahan. What? Ia kembali mengusap matanya, kemudian mengerjap-ngerjap untuk memastikan pandangannya. Yovanka? Shaquille?
“Hai, ketua kelas!”
“Eh, apa yang kalian lakukan di sin— ma...maksudku, silakan masuk.”
Hubungan Yovanka dan Shaquille sebagai sepasang kekasih masih bertahan hingga sekarang. Di sisi lain, ada Wylie yang juga masih menyimpan perasaan yang sama terhadap Shaquille, bahkan bertambah. Setelah lulus sekolah, Shaquille memperdalam keahliannya dalam bermain violin. Kerja kerasnya terbayarkan sudah! Sekarang pria itu adalah seorang musisi yang handal, juga sering tampil di berbagai acara musikal.
Yang paling tak terduga, Yovanka menyerahkan urusan bisnis orang tuanya kepada kakak laki-lakinya yang tinggal di Prancis sepenuhnya. Gadis itu lebih memilih untuk tetap tinggal di Jerman dan menjadi seorang produser musik genre lo-fi yang memulai karirnya melalui internet. Mengejutkannya, sekarang ia telah memiliki 500 ribu pengikut di akunnya. Yah, jika boleh jujur, musiknya memang enak didengar sih.
Sebenarnya Wylie tak ingin lagi berhubungan dengan Yovanka setelah lulus sekolah, tetapi gadis itu selalu saja menghubunginya setiap saat, sehingga pertemanan mereka tak pernah terputus. Bahkan keduanya seringkali jalan-jalan berdua, terutama saat akhir pekan. Entahlah, Wylie juga tak bisa menolak permintaannya. Karena sekalinya ia menolak, Yovanka akan selalu mengusiknya sampai ia mengangguk setuju. Dan yang paling menyebalkan dari semua ini, sampai sekarang pun gadis itu masih saja memanggil Wylie dengan sebutan ‘ketua kelas’, mereka bahkan bukan lagi teman sekelas.