PSYCHO

Anis Nabilah
Chapter #17

She's My Girl, Don't Dare U

Malam ini, Shaquille mengirim pesan kepada Yovanka yang berisi permintaan maaf kalau dirinya akan pulang pagi, disebabkan acara musikal yang harus dihadirinya. Bukannya sedih, Yovanka malah bersorak kegirangan. Karena akhirnya ia tak perlu bersusah payah minta izin ke pacarnya yang super protektif itu untuk pergi ke rumah Ilona. Yovanka pun bergegas mengalungkan tas pinggangnya dan keluar dari rumah. Sebuah taksi berhenti saat Yovanka berteriak dan melambai-lambai dengan gerakan cepat. Tatkala gadis itu masuk ke dalam taksi, ia menyebutkan alamat rumah Ilona kepada supirnya yang merupakan seorang pria paruh baya.

Sepanjang perjalanan, Yovanka terus menatap keluar jendela. Bulan purnama bersinar terang menghiasi langit malam yang begitu gelap. Sepasang matanya menyipit tatkala bibirnya tersenyum lebar. Jika dilihat dari suasana yang tenang ini, Yovanka bisa meramal kalau malam ini akan menjadi malam yang indah baginya.

Sesampainya Yovanka di alamat yang dituju, ia menyerahkan beberapa lembar uang kertas kepada supir yang membalas senyumannya dengan ramah. Selepas taksi pergi menjauh, gadis itu berdiri mematung di depan sebuah rumah tua yang tak diberi penerangan sama sekali. Tak hanya gelap, bahkan tak ada rumah lain yang tinggal di sekitarnya. Apa benar ini alamatnya?

Baru saja Yovanka hendak menghubungi Ilona ketika pintu rumah itu terbuka dengan suara mendecit yang memekikkan telinga. Dilihatnya Ilona berdiri di ambang pintu sambil menyambut kedatangan Yovanka dengan senyuman tipis di bibirnya. Yovanka pun ikut tersenyum juga melambaikan tangannya ke atas, kemudian berlari kecil menghampirinya.

“Hai, pasangan kolaborasiku. Sepertinya sulit ya menemukan rumahku haha, maaf ya, rumahku memang agak terpencil. Ayo masuk, aku sudah menyiapkan lukisan yang kau minta di dalam,” sambut Ilona layaknya seorang tuan rumah yang ramah. Ia pun menekan saklar lampu yang seketika menerangi seisi rumah. Segera setelah menutup pintu depan, Ilona mengeluarkan ponselnya dan mengirimi pesan pada seseorang yang berisi, habisi pengemudi taksi itu, oke?

***

Wylie tanpa henti menggigiti kukunya seraya memandangi layar ponselnya yang berisi riwayat pesannya dengan Joe. Pria itu memberi kabar padanya bahwa Yovanka sudah sampai di rumah Ilona. Hatinya bergetar. Air matanya jatuh dengan begitu deras, tanpa dapat dia tahan. Sebenarnya apa yang membuat Wylie merasa khawatir? Karena Joe yang kemungkinan besar tidak dapat selamat jika berhasil melindungi Yovanka? Atau Yovanka yang mungkin saja tidak berhasil diselamatkan oleh Joe?

Ia hanya bingung. Jika memang benar kalau penyebab kekhawatirannya adalah Joe, ia bisa memakluminya, sebab pria itu adalah sahabatnya. Tetapi untuk Yovanka, ia tak tahu kenapa. Ia membenci gadis itu, lantas mengapa ia harus merasa khawatir bahkan sedih? Terdengar suara hujan yang tetiba turun dengan derasnya di luar tanpa peringatan sama sekali. Kali ini, ia berharap tidak ada hal buruk yang terjadi pada gadis yang sepertinya telah ia anggap sebagai sahabat sekarang.

***

“Wahh...! Ternyata lukisanmu itu jauh lebih indah jika dilihat secara langsung!” seru Yovanka girang. Ia mengelilingi ruangan khusus berisi jejeran lukisan-lukisan karya Ilona yang semuanya berhasil mendapat penghargaan di berbagai acara seni. Gadis itu tak henti-hentinya memotret tiap lukisan yang sangat memikat perhatiannya sambil melontarkan berbagai pujian, sementara Ilona hanya fokus memandangi Yovanka dengan tatapan kosong yang memiliki banyak makna di dalamnya.

“Ilona, apa aku boleh menanyakan banyak hal padamu?”

“Tentu. Apa pun untukmu.”

“Sebenarnya, sejak kapan kau mulai melukis? Tetapi sebelum kau menjawabnya, aku ingin minta maaf karena malah mewawancaraimu seperti ini haha, aku hanya penasaran,” tanya Yovanka cepat karena merasa tak enak.

“Eh tidak masalah kok, justru aku senang jika ditanya-tanya begini, apalagi olehmu. Jadi, awalnya aku hanya suka mencoret-coret di kertas kosong saat masih berumur tiga tahun. Dan pada saat itu juga, orang tuaku memuji coretan asal yang aku tuangkan pada kertas. Awalnya aku mengira itu hanya pujian asal orang tua yang biasa digunakan untuk membangkitkan semangat anaknya, sampai teman-temanku juga ikut memuji gambaranku. Dulu, aku tidak tahu apakah mereka mengatakan yang sesungguhnya atau tidak. Jadi aku hanya menghiraukan mereka dan melanjutkan keahlianku. Dari hanya menggambar di atas kertas, aku pun berusaha meningkatkan kemampuanku jadi melukis di atas kanvas,” papar Ilona bangga dengan dirinya sendiri.

“Wah, hebat sekali! Aku jadi iri! Dan lagi, kenapa kau jadi suka menggambar dan melukis? Apa ada alasan spesial di baliknya?” tanya Yovanka lagi, ekspresi kagumnya menunjukkan kalau dirinya sudah benar-benar tertarik dengan kehidupan Ilona.

“Tentu saja ada. Alasan kenapa aku suka melukis ada banyak sekali. Yang pertama, itu adalah hobiku. Yang kedua, dengan melukis, aku bisa mengasah kreativitas dan imajinasiku yang tak terbatas. Yang ketiga, aku bisa menuangkan serta melampiaskan perasaanku pada setiap lukisan yang kubuat. Seperti yang kau lihat, seluruh lukisan yang ada di ruangan ini bukan hanya sekedar gambar yang dibuat oleh cat, tetapi juga perasaanku. Aku tak tahu bagaimana menjelaskan detailnya, tetapi kurang lebih seperti itu. Dan yang paling terakhir juga paling penting, melukis adalah bakat yang sudah kumiliki sejak masih berada di dalam kandungan ibuku,” terang Ilona dengan tawa kecil di akhir.

“Haha tetapi perkataanmu tidak salah, bakat mengagumkan seperti ini pasti sudah dianugerahi oleh Tuhan, bahkan sebelum kau lahir. Omong-omong, kau benar-benar tinggal sendiri di sini? Aku lihat tidak ada rumah lain yang berdiri di sini selain rumahmu?”

“Ah, sebenarnya ini bukan rumah asliku, aku membeli rumah ini khusus untuk melukis saja, karena lokasinya yang sepi mampu membuat pikiranku tenang. Apalagi di belakang rumah ini adalah hutan dan sungai,” jelas Ilona.

“Ah begitukah? Aku tak lihat ada hutan tadi, mungkin karena gelap kali, ya. Nah, pertanyaan terakhir. Awalnya, aku tidak sadar akan hal ini, tetapi sekarang akhirnya aku sadar kalau semua lukisanmu adalah portrait perempuan cantik. Sebenarnya kenapa kau hanya menggambar ini? Apa kau tidak tertarik dengan yang lain? Seperti pemandangan atau semacamnya?”

“Astaga, cantik, bukankah aku sudah menjelaskan padamu sebelumnya? Semua lukisan yang ada di sini adalah perasaanku. Apa kau tidak mengerti juga? Haruskah kujelaskan lebih rinci lagi? Atau perlu kuberi contoh secara langsung?” balas Ilona.

“Tidak perlu haha. Oh ya, aku sudah selesai nih, aku harus langsung pulang, takutnya orang rumah khawatir,” pamit Yovanka yang tak ingin berlama-lama.

Lihat selengkapnya