Seorang gadis berlari menerobos hujan dengan darah yang tak mau berhenti mengalir dari tubuhnya. Rasanya teramat perih ketika air hujan terus-menerus menembus lukanya. Tiba-tiba kakinya tersandung sehingga membuatnya terjatuh. Namun, tak lama, ia kembali bangkit dan melanjutkan pelarian tanpa arahnya. Entah apakah ia sudah berlari jauh dari rumah yang mengerikan itu atau belum, ia sendiri tak tahu. Ia hanya tetap berlari tanpa berani menoleh ke belakang, seolah-olah ada pembunuh yang mengejarnya dari belakang sambil mengangkat pisau berlumur darah tinggi-tinggi dan siap membunuhnya kapan saja.
Kakinya melangkah ke dalam genangan air yang satu ke genangan air yang lainnya. Cipratan air tak henti-henti masuk ke dalam lukanya. Gadis itu mendadak tersungkur lagi mengenai aspal. Dirinya sudah tak sanggup lagi bergerak dengan tubuh yang penuh luka itu. Ditambah dengan penyakit sirosis hatinya yang tiba-tiba kambuh. Di saat hujan deras seperti ini, jalanan sangatlah sepi, tak ada siapa pun yang bisa dimintai tolong olehnya.
Yovanka menyerah. Ia terus memegangi dadanya yang tersendat. Sudah tidak ada harapan lagi, sepertinya hari ini memanglah hari terakhirnya. Lebih baik jika hanya diam dan menunggu, daripada harus berlari dan menyiksa diri lebih jauh lagi. Meski terasa mustahil, lubuk hati kecil gadis itu masih mengharapkan seorang malaikat yang datang menyelamatkannya keluar dari penderitaan tak berujung ini.
Splash! Splash! Splash!
Suara sepatu yang melompat-lompati genangan air terdengar samar-samar di antara suara petir yang menggelegar dengan dahsyatnya. Mendadak Yovanka merasa tubuhnya terasa ringan, seakan sedang melayang di angkasa lepas. Apakah begini rasanya mati? Matanya terbuka perlahan-lahan. Seorang gadis dengan rambut pirang yang nampak familiar membopong dirinya sambil berlari. Inikah malaikat yang dikirimkan oleh Tuhan untuk menyelamatkannya?
Ia berlari dan terus berlari, tak peduli dengan serbuan tetesan-tetesan air yang menimpa dirinya dengan kasar. Yovanka tersenyum tipis, rasanya sangat senang saat tahu kalau hari ini bukanlah hari terakhirnya. Rasanya mau mati sekarang pun tak apa, sebab ketenangan ikut menyertainya. Tetapi tidak boleh, ia juga harus bertahan hidup, karena di luar sana masih banyak orang yang sayang dan peduli padanya.
***
Sementara Yovanka masuk ke dalam ruang gawat darurat di sebuah rumah sakit, gadis yang telah membawanya kemari, yang tidak lain adalah Wylie, terduduk di ruang tunggu dengan perasaan cemas tak karuan. Pakaian maupun anggota tubuh, semuanya basah kuyup. Saat ini, ia memang menggigil kedinginan, tetapi Wylie tetap tak bisa pergi meninggalkan Yovanka. Karena ia tahu kalau sekarang gadis itu jauh lebih menderita dibanding dirinya. Gadis malang itu butuh seseorang yang bisa selalu mendampinginya di situasi sulit seperti ini. Dan Wylie ingin menjadi orang itu, orang yang selalu berada di samping Yovanka kapan pun dan di mana pun.
Tak terasa sudah sepuluh tahun lebih sejak dua orang itu mengenal satu sama lain, mengenal gadis yang selalu memanggilnya dengan julukan ketua kelas, bahkan hingga saat ini. Tahun-tahun yang mereka lewati bersama adalah waktu yang sangat berharga bagi Wylie, tetapi bodohnya ia baru menyadari hal itu sekarang. Selama Yovanka bersama dengan Wylie, senyuman di wajahnya tidak pernah memudar. Yovanka selalu memandanginya dengan sorot mata yang hangat, layaknya keluarga sendiri. Kedua mata Wylie tampak memaksa untuk terpejam, sehingga linangan air mata mengalir tiada henti. Dadanya terasa amat sesak. Gadis itu mengacak-acak rambutnya yang basah lalu menutupi wajahnya dengan kuat. Menyesal. Sangat menyesal.
Drap! Drap! Drap!
“Wylie.” Gadis itu mendongak pelan. Seorang pria bernama Shaquille berdiri di hadapannya dengan kondisi basah kuyup, sama seperti dirinya. Terlihat jelas di wajahnya kalau pria ini tengah mencemasi kekasihnya yang saat ini berbaring tak berdaya di atas ranjang rumah sakit. Napasnya yang terengah-engah menunjukkan kalau dirinya berlarian datang kemari. Tangannya yang kosong tanpa menjinjing tas violin miliknya juga menunjukkan kalau ia tak sempat berbenah saat mendapat kabar tentang Yovanka.
Pria ini langsung datang dan meninggalkan acara musikal yang amat penting begitu Wylie mengiriminya pesan tentang kondisi Yovanka. Wylie tertawa kecil dalam hatinya, betapa beruntungnya Yovanka memiliki seseorang seperti Shaquille di kehidupannya. Mereka berdua memang telah ditakdirkan bersama satu sama lain. Entahlah, sekarang Wylie bisa mulai merelakan pria ini. Alasan? Ia sendiri tak tahu mengapa. Pria itu pun duduk di samping Wylie dan menghela napas panjang. Tak tahu harus memulai percakapan dari mana.
“Shaquille, sebelum aku menceritakan yang sebenarnya kepadamu, aku ingin meminta maaf lebih dahulu. Karena aku... juga terlibat dalam masalah ini,” ujar Wylie tertunduk dalam. Selang beberapa detik keheningan, gadis itu mulai menceritakan awal mula peristiwa pelik ini. Mulai dari Ilona yang merupakan seorang psikopat dan tipe idealnya, Yovanka yang menjadi sasarannya, hingga Joe yang berniat menyelamatkan Yovanka. Dan selama itu, Wylie sama sekali tak bertatapan dengan Shaquille, ia terlalu takut untuk melihat reaksi Shaquille ketika mendengar ceritanya. Apakah pria itu terkejut, takut, atau marah.
“Jika memang benar kalau temanmu yang bernama Joe itu ingin menyelamatkan Yovanka, kenapa Yovanka keluar dalam keadaan seperti ini?” tanya Shaquille dengan nada yang dingin di akhir cerita.
“Aku juga tak tahu, tetapi yang pasti, Joe punya alasan khusus untuk itu,” jawab Wylie takut. Pada saat itu juga, pria berjubah putih yang kerap dipanggil dokter keluar dari ruangan Yovanka. Dua orang itu spontan berdiri serempak, bertanya-tanya mengenai bagaimana keadaan Yovanka. Tak langsung menjawab, dokter itu terdiam selama beberapa saat, lalu menghela napas panjang. Membuat keadaan yang sudah tegang itu jadi tambah mencekam. Dalam saat yang kritis itu, Wylie dan Shaquille menunggu sang dokter buka mulut dengan perasaan tak sabar.