PSYCHO

Anis Nabilah
Chapter #19

Jauh di Dalam Pelosok Hutan

Hujan pun telah berhenti. Sebuah mobil polisi dengan sirine yang tak dibunyikan melesat dengan cepat, menelusuri jalanan yang gelap dan sepi. Robin yang malam itu sedang bertugas tiba-tiba saja mendapat panggilan mengenai sebuah kasus pembunuhan. Disebabkan sifat egonya yang terlalu tinggi, polisi itu langsung mendatangi alamat yang telah diberikan sang pelapor tanpa menunggu perintah terlebih dahulu, bersama dengan rekannya yang juga sedang bertugas malam itu, namanya Helge. Kaki kanannya menancap gas dengan kencang, tak peduli lagi dengan jalanan yang licin.

Selepas beberapa menit perjalanan, ia pun menghentikan mobilnya tepat di depan sebuah rumah kayu tua yang sangat gelap. Kedua pria itu menutup pintu mobilnya dan berdiri sesaat menatapi rumah itu, melirik satu sama lain. Rumah itu tampak kosong dan tak berpenghuni. Berbagai tanaman merambat tumbuh di sekitarnya.

“Apa benar ini alamatnya? Kelihatannya tidak ada orang di dalam,” lontar Helge tak yakin.

“Benar lah. Memangnya kau tidak pernah nonton film horor? Rata-rata tempat seperti inilah yang dipilih oleh seorang pembunuh untuk melakukan aksinya. Sudah ayo cepat masuk, tidak ada waktu untuk menunggu lagi.” Tanpa berpikir lagi, Robin pun menaiki tangga depan rumah itu dengan hati-hati. Setiap kali mereka melangkahkan kaki di atas tangga kayu itu, terdengar suara berdecit yang memekikkan telinga.

Sementara Robin memegangi senter untuk menerangi penglihatan mereka berdua, Helge memegang sebuah pistol di tangannya. Robin meraih gagang pintu tua yang berkarat dan menariknya. Pintunya tak terkunci. Suara berdevit itu kembali terdengar begitu pintu didorong perlahan. Helge menganggukkan kepala, memberi isyarat pada Robin untuk masuk duluan. Hening dan gelap. Hanya ada suara napas dan langkah kaki keduanya di tempat itu. Kedua bola mata Helge berkeliling ruangan dan menemukan saklar lampu yang langsung ia tekan tanpa berpikir dahulu.

Robin terkejut! Rasanya jantungnya akan melompat keluar dari dalam tubuhnya, ia kira bukan Helge yang menyalakan lampu. Gerak-gerik bibirnya terlihat memarahi rekan kerjanya itu tanpa suara. Mereka berdua pun melanjutkan perjalanan. Memasuki sebuah ruangan dan menekan saklar lampunya lagi. Di dalam ruangan yang nampak terawat itu, terlihat puluhan lukisan yang terpajang di dindingnya. Bukannya takut, melainkan takjub. Lukisan-lukisan itu nampak sangat menawan. Keduanya pun berkeliling terpisah melihat-lihat.

Semua wanita cantik yang ada di dalam semua lukisan itu berhasil mengoleng konsentrasi Robin untuk sementara. Mulutnya tak mau menutup sebab terkesima. Namun, di antara semua lukisan itu, ada satu lukisan yang terlihat berbeda dari yang lainnya. Seorang gadis dengan wajah yang berlumuran darah dengan sepasang mata merah melotot ke arahnya. Cantik sih, tetapi membuat bulu kuduknya merinding tiba-tiba. Robin pun kembali berjalan menghampiri Helge yang juga tengah memperhatikan lukisan di sisi lain ruangan yang sama.

“Helge, kau tahu? Waktu aku lagi lihat-lihat lukisan yang ada di sebelah sana, aku liat satu lukisan yang bikin merinding. Beneran deh, seram banget ckck,” kekeh Robin.

“Seram? Yang mana lukisannya?”

“Yang ini....” Keduanya terdiam memandangi ‘lukisan’ yang ditunjuk oleh jari telunjuk Robin. Dua orang itu saling bertatap-tatapan dengan raut wajah bertanya-tanya. Bingung. Berusaha menyerap apa yang sebenarnya terjadi.

“Robin... itu bukan lukisan, itu jendela,” cakap Helge terbingung-bingung.

“Ti...tidak, aku ingat sekali ini lukisan! Tadi di sini ada lukisan seorang perempuan yang wajahnya penuh dengan darah!” elaknya tak ingin salah. Begitu tersadar, Helge langsung merebut senter dari tangan Robin dan mengarahkannya ke luar jendela. Hutan! Ia pun mengarahkan sinar senter itu ke berbagai arah hingga akhirnya menemukan seorang gadis berambut panjang yang berlari menjauh ke dalam hutan.

“Robin, aku melihat seseorang di dalam hutan! Cepat kejar!” perintah Helge yang langsung keluar lewat jendela dan berlari meninggalkan rekannya di belakang. Robin yang panik dibuatnya pun ikut melompati jendela lalu berlari mengejar Helge tanpa tahu apa-apa.

Karena senternya direbut oleh Helge tiba-tiba, Robin berusaha sekuat tenaganya mengikuti Helge agar tak kehilangan arah. Karena kalau ia tertinggal sedikit saja, dirinya akan tersesat di dalam sebuah hutan yang gelap seperti ini. Dan sial. Kakinya tersandung oleh sekumpulan akar pohon yang tak terlihat dan membuatnya tersungkur dengan muka mengenai tanah. Ketika ia kembali mengangkat kepalanya, hanya ada kegelapan di hadapannya. Tak ada tanda-tanda keberadaan Helge sama sekali.

Pria itu kembali bangkit dan membersihkan pakaiannya yang tertempeli oleh banyak dedaunan basah. Ia melihat ke sekelilingnya. Gelap. Benar-benar gelap. Tiada cahaya sama sekali. Bahkan cahaya bulan pun enggan masuk akibat terhalang oleh pepohonan yang tinggi. Hanya terdengar suara burung hantu dan jangkrik di sekitarnya. Ia spontan mengeluarkan pistol dari dalam kantungnya untuk berjaga-jaga jika muncul sesuatu yang tak diinginkan.

Robin memijakkan kakinya di atas tanah yang becek dan mengendap secara perlahan, ketika tiba-tiba saja telinganya menangkap sebuah suara langkah kaki dari belakang. Sontak dirinya membalikkan badannya seraya menodongkan pistolnya lurus. Dilihatnya seorang gadis berdiri tertunduk dengan lesu tak berdaya. Dahi pria itu berkerut, ia menurunkan pistolnya sembari berjalan mendekatinya. Gadis itu hanya berdiri, terdiam dengan rambut hitam panjangnya. Robin tak bisa melihat wajah gadis itu dengan jelas sebab tertutupi oleh rambutnya.

“Err... Nona, apa yang Nona lakukan di sini malam-malam sendirian? Apakah Nona tersesat? Butuh bantuan?”

“Tidak... aku tak membutuhkan bantuanmu,” balasnya berbisik halus seraya terisak-isak.

“Tenang saja, Nona, saya adalah seorang polisi. Saya tidak memiliki niat jahat apa pun terhadap Nona. Lagi pula, mana mungkin ada seorang gadis yang sendirian di malam hari seperti ini, apalagi habis hujan. Eh tunggu sebentar. Benar juga. Mana ada seorang gadis sendirian tengah malam di dalam hutan? Apalagi... dengan rambut panjang yang menutupi seluruh wajahnya....” Saat itu, Robin yang baru tersadar pun berteriak panik dengan suaranya yang berat dan mengambil langkah seribu dari tempatnya berpijak.

Pria yang berprofesi sebagai polisi itu mengerahkan seluruh tenaganya untuk berlari meski tanpa arah dan tujuan yang pasti, yang penting menjauh dulu dari ‘makhluk’ tadi. Meski ia adalah seorang polisi, ia paling tidak bisa jika sudah dihadapkan dengan situasi seperti ini. Bahkan pelatihan malam yang pernah ia jalankan dulu pun menjadi mimpi buruk terbesarnya sampai saat ini.

BRUK! Sesuatu bertabrakan dengannya. Ia kehilangan keseimbangan. Robin pun dengan cepat menggeleng-gelengkan kepala dan mengacungkan pistolnya ke arah apa pun yang ditabraknya barusan. Baru saja ia hendak menarik pelatuknya ketika tiba-tiba saja sepintas cahaya yang menyilaukan penglihatannya. Dilihatnya Helge yang berdiri menatapnya dengan raut wajah kebingungan.

“Sialan kau ke mana saja sih!” marah Robin berteriak.

“Hah? Apa maksudmu?” balas Helge bingung, seakan tak ada apa pun terjadi.

“Kau meninggalkanku di rumah tua itu sambil membawa senter milikku, sialan! Cih, kau bahkan tak mau tahu apa yang baru saja kutemui barusan,” racau Robin sambil meludah ke atas tanah.

“Heh ngelantur enggak jelas apaan sih makhluk ini? Bukannya sejak tadi kau ada di belakangku? Hah, kau mau menakutiku? Tidak akan mempan, sialan,” gerundelnya.

Tetiba Robin menarik kerah pakaian Helge dan mendekatkan wajah cepat. “Di belakang apanya? Itu bukan aku, dasar bodoh! Apa kau tahu? Saat kau meninggalkanku tadi, aku bertemu dengan seorang gadis aneh. Kau pikirkan saja. Di tengah malam seperti ini, gadis mana yang berkeliaran di dalam hutan sendirian saja? Jika itu bukan manusia, maka—”

Lihat selengkapnya