Hari sudah menjelang petang, di sebuah perpustakaan yang begitu besar sehingga membutuhkan tangga untuk mencapai rak paling atas yang sama tingginya dengan langit-langit. Perpustakaan tersebut sudah sangat tua dan hampir tidak ada orang yang pergi ke sana, jadi lantainya tertutupi oleh tumpukan-tumpukan buku yang tidak pernah disingkirkan. Satu-satunya sumber cahaya yang berasal dari jendela besar memberikan ruangan cahaya keemasan yang hangat saat Yovanka meletakkan tubuhnya di atas tumpukan buku setengah lingkaran di sebelah tangga kayu tua.
Sinar matahari jatuh dengan baik di setengah wajah tidur Yovanka ketika gadis itu berbaring di sana meringkuk dengan buku terbuka di dadanya. Seorang pustakawan muda yang tampan bernama Shaquille melemparkan bayangannya ke arah Yovanka sejenak sebelum mengacak-acak rambutnya, melepas buku itu dan melemparkan jaketnya ke atas gadis cantik itu. Shaquille terus berjalan menyusuri pulau membiarkan gadisnya tertidur, meskipun telah lewat waktu penutupan. Suara Shaquille bermain violin membangunkan Yovanka sejenak, lalu menidurkannya kembali, karena gadis itu tahu kalau dirinya berada dalam dunia yang hangat, aman, juga tepat.
Hari telah berganti tanggal. Bulan telah digantikan oleh matahari yang bersinar dengan sangat terang di atas langit. Sinarnya yang merambah masuk melalui tirai membangunkan Yovanka dari alam mimpinya. Gadis itu membuka kedua matanya perlahan-lahan. Menemukan dirinya terbaring di atas ranjang rumah sakit. Ia terduduk. Nyawanya yang belum terkumpul sepenuhnya membuatnya tak bisa memahami situasi yang sedang terjadi. Yovanka menoleh ke samping dan melihat Shaquille tertidur di sebelahnya. Perasaan hangat yang timbul ketika melihat orang terkasih itu membuatnya tersenyum tipis, ia mengelus wajahnya seraya mengucapkan, “Aku merindukanmu.”
Bukannya ucapan selamat pagi, melainkan ucapan yang mengandung kerinduan keluar dari mulutnya secara spontan. Entahlah, rasanya seakan baru saja kembali dari sebuah perjalanan jauh selama bertahun-tahun. Dan merasa lega karena akhirnya bisa bertemu kembali. Selang beberapa saat, Shaquille juga ikut membuka matanya dan terdiam sesaat begitu melihat kekasihnya yang telah tersadar. Paku beku di hatinya meleleh dan dia mulai menangis.
Seorang gadis menatap dalam ke arahnya dengan sorot mata yang indah. Dunia meluruh, warna-warna meluntur memperlihatkan sosok gadis yang semakin jelas di bawah gemilang cahaya matahari. Dengan meneteskan air mata yang sudah tak dapat dibendung lagi, ia memeluk seseorang yang membawa banyak kebahagiaan di hatinya itu. Rasanya seperti mimpi, mimpi yang menjadi kenyataan.
“Shaquille—”
“Shhtt... jangan mengatakan apa-apa dulu, aku masih ingin memelukmu dengan tenang selama beberapa menit,” lirih Shaquille. Sesuai permintaan kekasihnya, Yovanka pun hanya berdiam diri seraya mengusap punggung Shaquille, menenangkannya agar tangisan pria dingin yang sangat jarang terlihat itu berhenti.
Setelah beberapa menit berlalu, mereka berdua pun duduk berdampingan dengan atmosfer canggung yang mengelilingi sekitar.
“Aku ingat apa yang terjadi semalam, aku juga ingat kalau ketua kelas yang membawaku kemari. Tetapi, sekarang dia ada di mana?”
“Wylie... dia sudah pulang duluan.”
“Kalau begitu, suruh datang lagi saja, aku ingin berterima kasih padanya! Kau tahu, jika bukan karena ketua kelas, entah apa yang sudah terjadi pada kekasihmu ini! Ugh, aku bahkan tak ingin membayangkannya.” Melihat reaksi Yovanka yang begitu ingin menemui temannya itu pun membuat Shaquille tak berani membuka mulut. Alhasil pria itu hanya menempatkan tangan kanannya di atas kepala Yovanka dan mengelusnya lembut sembari tersenyum.
“Kita akan menemuinya, tetapi tidak sekarang. Wylie berpesan padaku agar kau menemuinya setelah diizinkan keluar dari rumah sakit. Jadi kau harus bertahan. Demi Wylie dan aku.” Kedua mata Yovanka mengerjap-ngerjap heran, meski begitu, ia tetap mengangguk pelan merespon perkataan Shaquille.
***
Matahari yang tertutup oleh awan membuat langit berubah mendung. Suara air hujan yang turun di atas sebuah payung hitam. Aroma segar dan wangi tanah setelah hujan turun mengenainya. Tanpa disertai bunyi gemuruh petir sama sekali. Hanya suara rintik-rintik air yang turun secara beraturan, membawa kedamaian serta ketenangan. Dengan ditemani oleh Shaquille, Yovanka berjongkok sambil menatapi makam Wylie, lalu menyentuh batu nisannya pelan. Meski bibirnya tersenyum, air mata tetap memaksa keluar tiada henti.