PTSD

diana rahmatika
Chapter #9

Diusir dari rumah

Setelah badai akan datang pelangi, dan semua akan indah pada waktunya. Tinggal sedikit lagi waktu untukku membuktikan bahwa aku bisa melalui semuanya, aku bisa memberi apa yang Ayah inginkan, hanya selangkah lagi menuju kelas XII dan lulus untuk mengikuti seleksi perguruan tinggi Negeri, entah aku akan berhasil atau tidak yang terpenting keyakinan yang kuat dan tidak terlalu berharap, agar saat aku gagal, rasa kecewa tidak terlalu menyelimuti hati dan fikiran. Satu minggu lagi akan ujian akhir semester untuk kenaikan kelas XII, semua sudah aku persiapkan dengan baik, membaca dan mempelajari semua materi pelajaran sudah kuingat di otak.

“Lima hari lagi kita pindah ke sidoarjo” ucap Ayah pada Ibu, mendengar pembicaraan mereka, sontak aku menghampiri dan bertanya,

“kenapa kok pindah ke sidoarjo? Kerumah siapa?” tanyaku.

“dibelikan rumah sama bude disidoarjo, tapi tempatnya pelosok sekali” jawabnya

“kok mendadak Yah, terus sekolahku gimana, adek adek yang mulai sekolah dan sudah punya teman baru masa ditinggal gitu aja, aku seminggu lagi ujian” protesku,

“nggak tau bude kamu tuh, beliin rumah jauh banget, disuruh cepet cepet pindah, seolah olah ngusir” ungkapnya kesal. Akan terjadi apalagi setelah ini Tuhan, sejenak saja biarkan aku menikmati hariku dengan teman teman tanpa masalah serius dalam hidupku, mungkin ini bukan masalah serius bagi orang lain, tapi ini menjadi masalah besar dikeluarga kecilku karena Ayah merasa terusir dan diasingkan oleh keluarganya sendiri, setelah dia berhasil membuka usaha laundry dengan perjuangan yang cukup menguras tenaga karena harus mendapat kepercayaan pelanggan.

“Terus sekolahku gimana Yah? Emang rumah ini mau ditempati siapa sih?” tanyaku mendesak, aku nggak mau jika harus pindah sekolah, karena pasti aku harus beradaptasi dilingkungan baru lagi,

“kamu tetep sekolah disini, hanya saja berangkatnya sama Ayah, nanti Ayah tetep buka laundry dirumah ini, katanya rumah ini mau dibuat studio sama anaknya bude” begitu penjelasan singkatnya, hanya bisa menghela nafas dalam dalam, dan mencoba menerima dengan segenap kelapangan dada, aku fikir mungkin lebih baik kita pindah, mungkin ditempat baru, Ayah dan Ibu bisa memulai lembaran baru tanpa pertengkaran. Dua hari sebelum perpindahan, Ayah marah besar, teriak teriak seperti orang gila

“SALAHKU APA, KOK DIUSIK TERUS HIDUPKU SAMA ORANG ORANG ITU, JANCOOOK, ASU, KERE,BAJINGAN” ungkapnya seraya mondar mandir dengan jari tangan menunjuk kesegala arah, aku hanya melihatnya dibalik sekat kaca kamarku dan menangis kasihan padanya.

“Tinaaaaa, sini nak” teriak Ayah memanggilku, entah makian apalagi yang akan aku dapat, aku pasrah, aku hanya diam menghampirinya tanpa sepatah katapun keluar dari mulutku.

“menurutmu gimana nak, perpindahan ini?” tanyanya sambi menatapku dengan airmata membasahi pelupuk matanya, tergambar dengan jelas dia suka tinggal ditempat ini dan nggak ingin pergi,

“mungkin itu yang terbaik Yah, bukankah Ayah senang kalau punya rumah sendiri? Toh kita cuma numpang disini, kalau Bude(kakak tertua Ayah) pengen kita pindah, yaudah kita pindah aja, ikhlas dan bersyukur, mungkin disana lebih baik daripada disini” ungkapku menenangkan fikirannya.

“iya ya nak ya, positif thinking ya nak, bener nak” jawabnya membenarkan perkataanku, apapun perkataanku malam itu hanya untuk menenangkan fikirannya, sebenarnya aku nggak setuju dengan perpindahan ini, hanya saja jika aku mengiyakan fikirannya, kemarahannya mungkin akan semakin menjadi-jadi.

“aku mau pindah ke sidoarjo gais” curhatku pada para sahabatku

“hah serius?kapan?” tanya Fina

“nggak tau, mungkin hari senin besok”

“lhah kok pas ujian, tapi kamu tetep ikut ujian kan?” tanya Ani

“iya tetep ikut, cuman males aja pindah kesana jauh banget”

“sidoarjo daerah mana?” tanya Fina

“krian”

“wik adohe” sontak Vivi

“makanya itu”

“yaudah kapan kapan kita main semua ke rumahmu” Hendra menanggapi.

Malam sebelum aku ujian bertepatan dengan malam aku pindah kerumah baru, nggak ada persiapan untuk membaca ulang materi ujian, semua yang sudah aku pelajari hilang dari ingatanku, berapapun nilai yang kudapat, aku hanya bisa pasrah pada keadaan. Malam itu aku nggak bisa tidur, kuhabiskan malam dengan menghadap sang khaliq, meminta pertolongan dan memohon agar semua berjalan lancar, nilai kenaikan kelasku jauh dari kata sempurna,

“nilainya Tina kok menurun ya Bu?” tanya Pak Dodi wali kelas saat pengambilan raport

“Iya pak, saya menyadari memang saat ujian bertepatan dengan pindah rumah”

“yasudah diperbaiki lagi dikelas 3 ya, tolong dikontrol belajarnya” terang Pak Dodi.

Dikelas XII aku masih bersama para sahabatku termasuk Hendra, kami semua saling berjanji untuk lebih serius belajar dan meraih mimpi masing-masing, dan aku masih tetap mengikuti basket karena aku sudah jatuh hati pada bola basket, sesekali aku sparing dengan sekolah lain meskipun lebih sering sebagai pemain cadangan.

Lihat selengkapnya