PTSD

diana rahmatika
Chapter #13

Ibu

Satu bulan lagi akan berlangsung ujian Nasional yang akan menentukan langkah kami ke jenjang yang lebih tinggi atau langsung meniti karir untuk mendapatkan penghasilan. Ani dan yang lainnya semakin jarang main kerumah, kami sepakat untuk mengikuti bimbingan belajar sepulang sekolah dirumah Bu Indri guru matematika, Bu Indri memberi kelas gratis khusus untukku, karena aku bilang akan berhenti ikut bimbingan sebab nggak punya biaya yang cukup untuk membayar, namun kata beliau aku harus ikut bimbingan karena sangat disayangkan jika aku tidak mendapat bimbingan belajar tambahan. Wanita itu sungguh baik hati, sesekali aku diminta kerumahnya diluar jam bimbinganku untuk membantu mengajari muridnya yang masih dibangku SMP, aku nggak tau kenapa dia sangat percaya padaku, padahal kemampuanku berkurang setelah semua hal yang kuhadapi.

Aku beruntung dikelilingi orang-orang baik seperti mereka para guru yang setia mendukung kami dalam hal akademik, walaupun pengetahuanku tentang agama masih sangat kurang, tapi aku bersyukur pada Allah yang selalu memberiku jalan ketika aku merasa putus asa, terkadang aku merasa semua keinginanku terpenuhi pada waktu yang tepat jika aku bersabar, hanya satu pintaku yang belum terkabulkan 'Ayah', mungkin aku harus lebih bersabar lagi untuk itu.

Aku lebih sering curhat pada Ocha tentang Ayah dan Ibu, aku kangen sama mereka. Cukup mudah bagi orang lain mengungkapkan rasa rindunya melalui telepon dan bilang bahwa dia rindu, tapi nggak segampang itu buatku, aku nggak pernah mengucap kata cinta ataupun sayang apalagi rindu untuk kedua orangtuaku, meski aku sangat menyayangi mereka dan ingin mereka tahu, aku bukan seperti kebanyakan orang.

Satu minggu sebelum ujian akan diadakan Istighosah serentak disekolah, mengundang seluruh wali murid khususnya Ibu. Aku memberitahu Ibu akan kabar itu, tapi Ibu nggak bisa datang, jika dia datang keSurabaya harus diantar Ayah, dan Ayah harus tinggal dirumah, enggak Ayah nggak boleh datang kerumah, karena pasti pegawainya Mas Hilda akan melapor. Aku menerima dengan lapang keputusannya, aku akan hadir seorang diri.

“Tin...kesekolah sama siapa pas Istighosah?” tanya Alan.

“sama Ocha...iya kan Cha?” jawabku membohonginya.

“beneran? Aku jemput kalian ya, aku dateng sendirian”

“enggaaaak lah gilak” sahut Ocha.

“haha...Ocha juga Istighosah kali Lan” tawaku.

“yaudah kamu bareng aku Tin, aku jemput ya, aku kan kakak iparmu”

“iyaa” jawabku.

Kupandangi foto bersama para sahabatku tak kusangka waktu secepat ini berlalu, seperti baru kemarin aku mengenal dan merasakan bahagia bersama mereka, kini sebentar lagi harus berpisah merangkai masa depan masing-masing. Dua hari sebelum Istighosah, aku, Alan, dan Ocha mengikuti try out di Universitas Brawijaya malang yang akan digelar pukul 6 pagi, mengharuskan kami berangkat ke malang pukul 3dini hari, kami memang nggak berencana untuk menyewa penginapan disana karena kami nggak tau tentang kota Malang, aku dan Ocha nggak bisa tidur, alhasil kami belajar sampai larut. Tepat pukul 2 dinihari Alan menjemput kami, kami menaiki sepeda motor menuju ke kota Malang dengan mata memerah mengantuk karena belum tidur, Alan berboncengan dengan Ocha, sedangkan aku sendirian mengendarai sepeda. Udara dingin perjalanan berhasil menusuk tulangku, telapak tangan terasa seperti mati tanpa menggunakan sarung, sesekali aku menguap ngantuk, kami beristirahat dipom bensin daerah pandaan dan memejamkan mata sejenak di mushollah setelah sholat subuh, Alan membangunkan aku dan Ocha setelah 15 menit kami tertidur, melanjutkan perjalanan dan melajukan motor dengan cepat agar tidak terlambat tanpa menghiraukan udara dingin yang membuat hidung berair. Kami sampai disana tepat waktu, ternyata ujian dimulai pukul 7 pagi, aku dan Ocha menyempatkan diri untuk membuka kembali buku catatan, tapi rasa ngantuk menguasaiku dan aku nggak bisa berkonsentrasi.

Waktu berlalu dan aku tertidur dikelas setelah mengerjakan semua soal tryout, Ocha mendatangi kelasku dan membangunkanku untuk mengajak pulang, kulihat sekeliling ruang kelas sudah kosong. Aku masih tetap mengendarai motorku seorang diri, diperjalanan aku sangat mengantuk mataku terpejam diatas motor dengan laju kendaraan yang cukup kencang, aku bermimpi Hendra memboncengku, dan membangunkan aku saat tertidur diboncengannya, aku langsung terbangun kaget, kulihat disamping kiri ada Truk besar hampir menyerempet sepedaku dan mobil avanza disebelah kananku 'Astaghfirullahhal'adzim..untung nggak nabrak' gumamku dalam hati seraya mengelus dada, Ocha dan Alan sudah jauh meninggalkan aku, aku menepi disebuah minimarket membeli kopi dan ternyata Alan menelponku dan mengatakan kalau mereka menungguku dipom bensin untuk sholat dzuhur disana dengan Ocha, segera aku menyelesaikan transaksi dikasir dan bergegas menghampiri mereka.

“kamu kok lama sih Naa?” tanya Ocha saat aku berjalan menuju ke arahnya.

“aku ngantuk, ketiduran diatas motor woii...bangun-bangun trek besar sama mobil disamping kiri sama kananku buset..untung nggak nabrak” jawabku bercerita.

Lihat selengkapnya