PTSD

diana rahmatika
Chapter #16

Tinggal dengan tante

Jarak dan waktu memisahkan kami semua, aku masih mendengar kabar tentang para sahabatku, hanya saja kami sudah tidak pernah berkumpul seperti dulu, mereka semakin sibuk dengan aktivitasnya masing-masing, dan aku nggak pernah mendengar kabar tentang Hendra, terakhir kali kudengar dia melanjutkan kuliah di ITS.

Sebelum tahun ajaran baru dimulai, aku mengajak Vivi untuk bekerja disebuah resto, kami berdua diterima untuk bekerja, aku sebagai kasir dan Vivi sebagai waitress, kami diharuskan bergulat dengan make up dengan rambut dikuncir ekor kuda, aku pulang pergi dari Sidoarjo-Surabaya setiap hari, teman-teman pekerja disini judes dan jahat mungkin karena memang sudah ibu-ibu fikirku, Vivi yang lebih sering terkena marah dari teman waitressnya yang lain jika dia membuat sedikit kesalahan, tapi dia gadis yang kuat dan mudah bergaul, mungkin jika aku diposisinya akan langsung mengundurkan diri, sedangkan aku harus mengganti uang makan customer karena kurang teliti saat menghitung uang pembayaran.

Setelah satu bulan kami bekerja, kami memutuskan untuk resign dari tempat ini, karena upah yang kudapat hanya cukup untuk uang bensin dan mengganti rugi kesalahan transaksi, untuk membeli makeup saja nggak cukup, sedangkan Vivi lelah jika harus berdiri berjam-jam lamanya. Aku mengunjungi rumah lama dan menaiki loteng, aku mengingat kenangan-kenangan indah di rumah itu dan mulai berandai-andai 'kalo aja Nenek masih ada, pasti Nenek menyekolahkan aku ke jenjang yang lebih tinggi' gumamku dan menghela nafas dalam-dalam.

Tante Sonya memintaku untuk tinggal dirumahnya, menemani dia karena sang suami berada dijakarta, Ayah mengijinkan aku tinggal bersamanya, karena dia berjanji akan mendidikku untuk menjadi pengusaha, dan suatu saat akan memberiku modal untuk membuka toko yang sesuai keinginan dan kemampuanku. Aku menerima untuk tinggal dirumahnya yang kebetulan pembantunya adalah nyai Rah yang masih satu saudara dengan Ibuku.

Sekarang aku tinggal diperumahan mewah, Rumah tante Sonya tertata dengan rapih, berbeda sekali dengan rumah Ayah dan Ibu yang masih berantakan karena kedua adikku yang sering menaruh barang sembarangan sepulang sekolah. Tante sonya bukanlah seorang Ibu, dia tidak memiliki anak dari pernikahannya yang sudah berjalan cukup lama. Tante Sonya orang yang baik, dia bilang kalau aku adalah keponakan kesayangannya, hanya saja terkadang kata yang keluar dari mulutnya tajam seperti pisau yang telah diasah, dia mengijinkanku untuk bereksperimen membuat kue disini, dengan peralatan memasaknya yang cukup lengkap.

"Assalamu'alaikum" ucap tante sepulang kerja.

"Wa'alaikumsalam te, ini aku bikin kue pie te, cobain deh" jawabku menyodorkan kue pie buatanku, dia mencicipi eksperimen pertamaku dan bilang lezat.

"gimana kalo kamu kursus aja sayang" tanya tante Sonya padaku.

"kursus apa te?" tanyaku.

"kursus masak, bikin kue, nanti kamu ikut tante ke jakarta, kita buka toko kue disana" ucapnya senang.

"harus ke Jakarta ya te?" tanyaku, karena aku nggak mau beradaptasi lagi.

"kenapa? kamu nggak mau jauh dari Ibu mu? hidup itu harus mengambil resiko, harus berani, dulu omnya tante juga merantau dari medan ke jakarta, hidupnya susah, setelah meniti karir diJakarta dia jadi sukses" jawabnya bercerita, dia memang sering bercerita tentang masalalunya, tentang Orangtuanya mendidik 9 anak dengan keras menjadikan dia memiliki pribadi yang tegas dan keberanian menghadapi oranglain, hanya Ayahku yang dimanja oleh Ibunya karena Ayah adalah anak lelaki pertama dikeluarga ini, sejenak aku menyalahkan nenek yang telah tiada karena memberikan didikan yang berbeda untuk Ayah dan menjadikan Ayah pribadi pengecut yang nggak bisa menghadapi orang lain, tapi aku berfikir lagi kalau Ayah nggak seperti ini lalu cobaan untukku apa, mungkin ini cara Tuhan menguji kesabaranku.

Lihat selengkapnya