Tante Sonya marah padaku dan selalu mengungkit tentang aku yang nggak mau diajaknya ke Jakarta, dan aku masih memikirkan kalimatnya tentang iblis dan Malaikat, terkadang aku bergumam sendiri merasa jengkel dengan kalimat itu. Meski sedang marah padaku, dia menawari aku melalui Ayah untuk bekerja dipom bensin milik nasabahnya, dia memberikan alamat lengkap klantor advokat pemilik pom bensin tersebut. aku mendatangi kantornya sesuai jadwal yang telah ditentukan, mengikuti tes psikotes dan wawancara, dan aku diterima bekerja dipom bensin dekat juanda.
Ayah nggak setuju aku bekerja disana katanya kurang berkelas, katanya Tante Sonya pengen bikin aku menderita, tapi aku tidak menghiraukan Ayah, aku tetap menjalani pekerjaanku sebagai operator bensin, aku menganggap pekerjaan ini rejeki buatku. Pegawai pom disini usianya sudah tua, mungkin sama dengan Ayahku, dan mereka sangat baik padaku seperti seorang Ayah dan teman, bahkan ada yang rambutnya sudah dipenuhi uban, aku memanggilnya kakek.
"Tinaa....layanin truk itu ngisi solar" teriak Pak Sugi padaku yang baru saja selesai melayani angkot.
"nggeh pak" jawabku menuju truk berisi sampah,baunya busuk sekali, dan banyak belatung berceceran dimana-mana, aku menutupi hidungku dengan tangan, karena disini kami tidak diijinkan memakai masker penutup hidung. ah sial...aku benci melayani truk sampah karena harus menyapu belatung yang berceceran, aku phobia pada belatung, sekujur tubuhku merinding melihat belatung-belatung menggeliat ditanah.
Terik mentari berhasil membakar wajahku, aku mengenakan jilbab saat bekerja, membuat mukaku belang di area tepi wajah, sungguh jelek sekali, kulitku sangat hitam. Aku senang bekerja disini, memiliki rekan kerja yang bersifat menopang dan keibuan, sering menasehati aku dan mengajarkanku tentang hidup, teman yang kupanggil kakek ternyata memiliki kisah yang sama dengan Ayah, dia terlahir dari keluarga yang berada, hanya dia yang mengemban nasib kurang baik, tapi dia tetap menerima dan berusaha untuk memberikan nafkah dari hasil keringatnya sendiri.
"haiiii cantiiiikkkk....godain kita dong" sapa seorang lelaki berdandan wanita, dia Cak Asep, yap dia seorang waria yang mengamen didepan pom ini, kami semua selalu bercanda dengan Cak Asep.
"weeeeeehhhh...hillsnya tinggi banget ya" celetusku mengomentari sepatu yang ia pakai.
"yo kudu cah ayuuu" jawabnya manja. dia memarkirkan motornya didekat toilet pom, dan kembali bertugas di perempatan jalan. Cak Asep adalah seorang suami dan seorang Ayah, nasib membawa dia untuk menjadi banci demi sesuap nasi, pagi sampai siang dia berdandan ala wanita cantik berbody gitar, sedangkan saat waktu senja tiba, dia berdandan ala pak haji mengantar gadis kecilnya mengaji. banyak hal yang membuatku bersyukur, ternyata nasibku lebih mujur dari mereka diluar sana, sedang aku masih bergulat dengan rasa yang terkadang membuatku menangis.
"aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaahhhhhh" teriak Cak Asep dari kejauhan, setiap orang menertawakan tingkahnya, ternyata balon berisi air didadanya pecah dan membasahi bajunya, seperti wanita yang terkena kanker payudara, dia berlarian menuju toilet pom dan mengganti dengan balon yang baru, kami semua dibuat tertawa karenanya.
"AREK GIENDENG......hahahahha........" teriak Pak Tio salah satu teman kerjaku.
3bulan lamanya aku sudah bekerja ditempat ini, aku ada janji akan bertemu para sahabatku sepulang kerja nanti, dan berkumpul dirumahku yang dulu. Aku menepati janjiku dan menemui mereka disana.
"wik....kon kok ireng banget Tin(kamu kok item banget Tin)?" tanya Vivi kaget melihat wajahku seperti kerak wajan penggorengan.
"hehehe...ojok ngunu aaa(jangan gitu dong)...ini akibat mencari nafkah" jelasku.
"hahhahaha.....sumpah kon ireng Tin" Vivi terkekeh, sedang Ani dan Fina memandangku aneh dan menertawakan wajahku, aku hanya diam dan mengaca, malihat seberapa hitamnya wajahku, yeah wajahku sangat hitam, aku nggak pernah memakai pelembab ataupun sunblock saat bekerja.
"aku mau cerita" ucapku pada mereka.
"apaan" jawab Ani.