Aku akan memberitahumu siapa itu Dya. Yang senyumnya seperti bisa menyembukan jika aku luka. Atau juga senyumnya bisa membuatku cemburu ketika dia bersama orang lain.
Dia adalah Dya seorang gadis dan teman satu sekolah denganku yang sudah aku anggap pacar. Entah, bagaimana aku bisa berani berpikir macam itu, yang jelas, Dya lah yang sudah memberi aku kekuatan untuk menjadi berani.
Saat itu adalah sekitar tahun 2013, saat aku duduk dibangku kelas 8 SMP. Dengan beberapa ramalan seperti ramalan kiamat yang sudah gagal pada tahun 2012. Walaupun sempat menjadi heboh, karena oleh berita dari Sosial Media yang saat itu juga sudah ada dan menjadi primadona, terutama di Facebook.
Kembali ke Dya. Kau harus tahu siapa Dya itu. Dya adalah seorang perempuan, dengan nama panjangnya adalah Widya El Yatama. Seorang yang tidak suka makan rumput, melainkan dia suka makan nasi kalau lapar. Katanya biar kenyang, karena oleh mengandung karbohidrat. Dan aku setuju.
Rambutnya panjang menjuntai ketika kita naik motor matic milikku. Maaf, terkadang kita tidak memakai helm jika perginya hanya sekitar komplek, dan maaf lagi, aku belum punya SIM saat itu, tapi jika mengenai mengendara, kukira aku sudah bisa dan sangat bisa. Semoga kita tidak mudah untuk menghakimi seseorang dengan masa lalunya. Apalagi, dulu aku hanyalah anak SMP yang tidak banyak tahu, atau mungkin juga tidak ingin tahu mengenai apa itu aturan dan mengapa aturan itu harus dipatuhi.
Dan menurutku, yang penting kita tidak berkendara di area Tugu Muda. Itu saja sudah cukup. Karena oleh ada markas polisi disana, dan suka mengejar, aku tidak tahu kenapa begitu. Lalu, kenapa aku bisa tahu kalau Pak Polisi disana suka mengejar ? karena aku pernah dikejar. Hehehe.
“Aku gak punya SIM,” ucapku pada Dya saat kami berkendara di Jalan Pandanaran.
“Iya, kan belum cukup umur,” ucapnya sembari memajukan kepalanya. Mungkin maksudnya agar aku bisa mendengar.
“Ahh, dikit lagi.” Karena memang umurku sudah 15 tahun. Dan seseorang bisa membuat SIM pada sekitar usianya sudah mencapai 17 tahun.
“Ehh, tapi ntar kalau aku kena tilang. Kamu mau gak jadi jaminannya?” tanyaku lagi.