Adam memasuki kamar adiknya. Membereskan barang-barang yang berserakan di lantai. Setelah semuanya, dia berjongkok di samping adik kecilnya yang kini sudah beranjak dewasa.
Membasuh air mata yang hampir mengering di pipinya. Membelai lembut rambut kusut bagai sangkar. Wajah itu terlelap menyisakan gambaran kesedihan.
Adam mengangkatnya dalam gerakan pelan, membawanya ke atas ranjang. Meletakkannya selembut bulu tidak ingin mengusik lelapnya. Membenahi selimut untuk menutupi tubuh kurusnya yang hanya terbungkus pakaian dalam.
Adam melangkah mundur keluar kamar adiknya, membawa kepiluan yang tergambar jelas di wajahnya. Meninggalkan sesak bagi wanita yang sedari tadi melihat dari balik tembok.
Anak sulungnya itu tidak pernah mau mengungkapkan masalah apa yang membuatnya jadi seperti itu. Dia dan suaminya bahkan pernah berniat membawanya ke psikiater, tapi itu malah berujung pilu. Adam berniat menyayat tangannya jika mereka tetap memaksa. Akhirnya mereka mengalah, membiarkan sang putra terbelenggu dalam diamnya.
Adam tidak pernah merespon apapun yang terjadi di sekitarnya. Tapi anak itu akan selalu hadir dalam diam, saat adiknya terpuruk. Dia menyayangi Mimma dengan caranya. Menghiburnya dengan lantunan nada piano saat Mimma menangis. Hal kecil yang sengaja dilakukannya, dan mamanya tahu itu.
Saat mentari pagi menyapa, Mimma sudah terbangun dari tidur lelapnya, tapi tak kunjung bangkit dari posisinya. Dia masih termenung, apa dan bagaimana caranya agar dia bisa hidup normal. Setidaknya, dia ingin sekali punya teman.
Mimma sempat berpikir ingin pindah sekolah. Karena berada di sana berarti dia harus siap stuck dengan keadaannya. Sangat sulit mengubah image yang sudah telanjur buruk. Padahal, mereka belum mengenalnya. Bahkan mungkin belum sempat bicara padanya, tapi sudah nge-judge dia berdasarkan berita yang tersebar. Semua karena Tasya.
"Monster," gumamnya sembari tersenyum pedih, mengingat panggilan itu benar-benar tersemat padanya sejak awal dia masuk ke sekolah itu.
Alasannya sepele, karena dia dulu pernah tidak membalas sapaan Tasya, saat hari pertamanya di sekolah itu. Mimma tidak menyangka akan berakibat hingga sebesar ini untuk hidupnya. Pengaruh Tasya di lingkungan sekolah sangatlah besar. Dia peri cantik yang menjadikan Mimma menjadi monster.
Mimma menyesal dulu tidak membalas sapa'an Tasya. Tapi, dia sudah pernah meminta maaf. Sekarang, bagaimana caranya untuk memperbaiki segalanya. Malah, kebencian diantara Mimma dan Tasya semakin menumpuk tinggi, tak terjangkau kata maaf lagi.
"Mimma, ini sudah siang! Bangunlah, kau akan terlambat!" Suara mamanya dari balik pintu.
Mimma hanya mendengus saja, dia tidak berniat sedikitpun untuk menjawab atau sekedar memberikan respon kecil, seperti kata 'ya' atau 'tidak'
Lihat saja, sebentar lagi mamanya itu pasti akan pergi untuk ke salon atau bertemu dengan teman-temannya. Yang lebih parah, biasanya pergi sangat lama untuk liburan. Mungkin wanita itu sudah bosan melihat dua anak tidak berguna di rumah.