Pagi ini Lili menatap langit dengan wajah sendunya, hujan turun dari langit sedari pukul lima pagi tadi, membuat Lili yang hendak berangkat sekolah mengurungkan niatnya sejenak, kembali mengamati sekitar saat waktu menunjukkan pukul enam pagi. Lili sudah siap dengan seragam sekolahnya. Namun langkah kakinya masih tertahan, sekali lagi wajahnya mendongak ke langit, berharap hujan segera reda, dan alam merestui Lili yang akan berangkat sekolah tanpa harus ada drama seragam basah karena kehujanan.
Pukul setengah tujuh tepat hujan sedikit mereda, Lili menggunakan payungnya dan mulai berjalan menuju sekolah, yang biasanya bisa ditempuh dengan tiga puluh menit berjalan kaki.
Hujan sebetulnya selalu membawa anugrah sendiri bagi Lili, Lili suka cuaca setelah hujan, dingin, segar, begitu menyejukkan. Namun tidak untuk pagi ini, ketika tepat waktu Lili berangkat sekolah.
Lili melewati jalanan basah yang terdapat beberapa genangan, berusaha menghindari jalanan bolong dengan air tergenang, Lili menapaki jalanan dengan riang, payung berwarna pink masih setia menaungi tubuhnya dari gerimis.
Sebuah mobil mewah melintasi tubuh Lili yang masih berusaha berjalan cepat agar tidak terlambat masuk sekolah, terlalu menghayati cuaca sekitar membuat Lili menjadi memelankan laju langkahnya tadi, hingga baru sadar jika jam masuk sekolah tinggal lima belas menit lagi, sementara Lili masih berada di jalanan yang lumayan jauh. Ah! Lili merutuki dirinya sendiri.
Tttiiiddd!!
Mobil tersebut membunyikan satu kali klaksonnya, membuat Lili terjingkat kaget, lalu sekilas melirik, ternyata itu adalah mobil dari teman sekolahnya. Mobil mewah yang hanya bisa dikendarai oleh seseorang yang memiliki banyak uang, siapa lagi jika bukan Bima Adiguna. Bersama kekasihnya Annisa, mereka memang sering berangkat dan pulang sekolah bersama, hubungan mereka terbilang harmonis dan selalu terlihat romantis, mereka memang pasangan yang serasi, cantik, ganteng, dan berasal dari circle keluarga kaya raya. Lili tersenyum kala merasakan debaran aneh di hatinya. Ah ... hampir tiga tahun telah berlalu, tapi rasanya dadanya masih terasa dengan debaran yang sama, seperti pertama.
Lili menghela napas, suatu hari nanti, Lili akan memiliki kehidupan yang layak, Lili akan hidup dengan lebih baik, Lili akan mewujudkan semua impiannya.
Mobil terus melaju hingga menghilang dari pandangan Lili, gerbang sekolah sudah terlihat, tersisa beberapa menit lagi untuk bel sekolah, mempercepat langkah kakinya, Lili berjalan dengan terengah, menutup payungnya setelah tiba di gerbang, lima menit lagi jam masuk sekolah tiba, hampir saja Lili terlambat.
Huftt ...
***
Jam pelajaran pertama telah berlalu, saatnya guru jam pelajaran kedua masuk kelas, namun sayangnya yang datang bukanlah sang guru pemateri, namun malah guru piket yang bertugas untuk memberikan tugas, karena guru bersangkutan tiba-tiba berhalangan hadir, seluruh siswa bersorak girang, bagi sebagian dari mereka absennya guru pelajaran adalah sebuah kesenangan, dengan alamiah sebagian dari mereka sontak saja membentuk kelompok untuk sekedar bergosip, membenahi makeup, bahkan segerombolan murid laki-laki lainnya ada pula yang malah melakukan konser mini dadakan. Namun ... bagi Lili mangkirnya seorang pengajar adalah sebuah kesialan, karenanya Lili akan merasa rugi karena kehilangan ilmu yang harusnya sudah dienyamnya sedari tiga puluh menit yang lalu, memilih untuk membuka buku pelajaran, dan Lili melanjutkan membacanya.
Jam istirahat telah tiba ditandai dengan suara bel dua kali, seluruh siswa berhamburan keluar dari kelas masing-masing, namun lagi-lagi Lili berjalan dengan gontai, dengan setumpuk buku juga toples makanan di tangannya Lili berjalan melewati koridor sekolah menuju taman sekolah yang agak sepi, seperti biasa Lili akan menghabiskan waktunya disana.
“Dia masih setampan pertama” Lili tersenyum kala menatap pantulan tubuh seorang cowok yang sedari awal memang sudah dikaguminya, cowok itu tengah mendrible bola basket, di tengah lapangan sekolah dalam cuaca yang sangat terik, membuat keringat menjalari tubuhnya, namun tak ayal penampilannya kini justru membuat para siswa berteriak histeris semakin kagum, namun diantara mereka cukup mengelu-elukan Bima dari kejauhan, karena sadar ada wanita baik dan cantik yang sedang menunggu Bima di pinggir lapangan, dia Annisa, tengah tersenyum dengan tumbler di tangannya.
Lili menggeleng, lantas melanjutkan langkahnya kembali, menatap mereka sama saja seperti menatap bayangan kelam, rasanya menakutkan!.
“Dandelion?”
Lili mendongakan wajahnya kala namanya disebut, lalu menatap seorang perempuan yang tengah menatapnya dengan wajah penuh tanya.
“Ya?” Lili menjawab dengan sama bingungnya.
“Kamu dipanggil kepala sekolah sekarang” ucapnya tanpa basa-basi, lalu kembali menjauhi Lili, Lili mengangguk mengerti, lalu melanjutkan langkahnya lagi, kini tujuannya bukan lagi pohon mangga yang rindang, namun ruangan kepala sekolah.
“Bapak memanggil saya?” tanya Lili sopan setelah sebelumnya dia sudah dipersilahkan untuk duduk.
“Ya, Dandelion selama ini Bapak bangga terhadap kamu, kamu murid yang sangat berprestasi, dan Bapak yakin kamu akan mendapatkan masa depan yang cerah jika kamu mau terus berusaha untuk terus belajar” meski berperawakan tinggi besar dengan perut membuncit, namun Bapak kepala sekolah terlihat berwibawa dan memiliki wajah yang cukup berkarisma, beliau kini tengah melayangkan senyuman pada Lili.
“Ya Pak, terimakasih” Lili menganggukan kepalanya malu-malu.
“Oleh karena itu, Bapak akan memberikan ini padamu, karena keyakinan Bapak pada prestasimu, Bapak memberikan ini duluan padamu, kamu adalah siswa berprestasi pertama yang Bapak beri kepercayaan lebih” Bapak kepala sekolah mengangsurkan sebuah kertas. Lili menerimanya dengan mata terbelalak tidak percaya.
“I ini formulir Beasiswa Pak?” mata Lili berkaca-kaca, bagaimana mungkin Lili diberikan kepercayaan sebesar ini? Oh! Lili begitu bersyukur.
“Ya, ujian sekolah memang tinggal enam bulan lagi, tapi Bapak percaya kamu akan diterima di universitas ini, lagi pula universitas Nusa Bangsa ini, universitas impian kamu bukan?” kepala sekolah kembali tersenyum hangat melihat ekspresi Lili yang terlihat begitu terharu.
“Universitas Nusa Bangsa masih terletak di kota ini, kamu tidak perlu ngekos atau tinggal di asrama, mereka juga menyediakan fasilitas yang sangat mumpuni bagi para mahasiswa berprestasi, selain kamu bisa mengenyam ilmu disana, kamu juga akan mendapatkan uang saku tambahan jika kamu bertahan dalam prestasimu” ujar kepala sekolah panjang lebar.
“Sekarang, semuanya tinggal bagaimana kamu memanfaatkan kesempatan baik ini Li, apa kamu mau menerimanya?” kepala sekolah kembali bertanya dengan bibir tersungging menatap Lili lekat.
Tanpa berfikir panjang Lili segera mengangguk penuh antusias.
“Lili mau Pak” ucapnya tanpa ragu, lantas meraih pulpennya dan mengisi formulir tersebut dengan tergesa, membuat kepala sekolah tergelak.
Bagaimana mungkin Lili tidak bahagia, jika masa depan cerah sudah ada dalam genggamannya, selama Lili mampu mempertahankan prestasinya, maka semua biaya kuliahnya aman, bahkan Lili dijanjikan akan diberikan uang saku juga, selain itu menurut informasi yang Lili dengar di universitas Nusa Bangsa juga memiliki fasilitas yang luar biasa, salah satunya Lili bisa belajar menjadi desainer nanti sebagai tambahan belajarnya, karena selain ingin menjadi Guru dan bisa membagikan ilmu pada orang yang tidak mampu, Lili juga bisa belajar untuk mewujudkan impian sang Ibu yang ingin memiliki pabrik pakaian sendiri.
Ah ... sungguh! Hari ini adalah hari paling membahagiakan bagi Lili, masa depan cerah sudah berada dalam genggamannya!.