Berjalan dengan riang, sesekali Lili menyentuh halus bunga dandelion yang tumbuh liar di jalan setapak yang Ia lewati, Lili begitu menyukai bunga tersebut, karena bagi Lili bunga Dandelion adalah lambang kesederhanaan baginya, setiap kali angin berhembus maka bunga tersebut akan beterbangan begitu saja, bagitu ikhlas tanpa protes dengan setiap takdir yang bunga itu terima, lebih sederhananya lagi bunga tersebut akan tumbuh dimanapun kala angin menghempaskan benihnya. Lili suka itu, dan berharap namanya yang sama seperti bunga tersebut akan memiliki makna yang sama.
“Bunda!” Lili berteriak kala melihat siluet tubuh Bunda dari belakang, perempuan paruh baya itu memutarkan tubuhnya lantas senyum merekah dari bibir rentanya, Bunda menunggu Lili yang kini tengah berlari menghampirinya.
“Bunda sudah pulang?” waktu baru menunjukkan pukul tiga sore, dan Bunda sudah pulang? Ini sungguh keajaiban, biasanya Bunda akan pulang pukul lima sore, atau bahkan lebih jika ada lembur.
“Hmh, Bunda sedikit tidak enak badan” Bunda mengeluh sembari memegang keningnya yang terasa berat.
“Bunda sakit?” Lili bertanya dengan nada khawatir.
“Tidak Nak, Bunda hanya sedikit pusing saja, sedikiitt sekali, makanya Bunda minta pulang cepat” ucap Bunda dengan senyuman mengembangnya.
“Bunda mungkin terlalu lelah, Bunda harus makan, minum obat dan istirahat, Lili bakalan pijitin Bunda dan temenin Bunda” Lili memapah sang Ibu yang kini berjalan dengan pelan.
“Hmh, ya” Bunda mengangguk saja.
“Atau kita ke dokter saja? Bunda mau diperiksa?” Lili bertanya antusias.
“Tidak Nak, Bunda hanya perlu istirahat saja” Bunda meraba dadanya yang terasa sesak, namun sebisa mungkin Bunda menghalau rasa sakitnya, mencoba mengusap keringat dingin yang tiba-tiba saja mengalir di dahinya, tangannya mengepal kuat untuk menahan sakit yang dideritanya.
“Ini pasti karena Bunda terlalu sering lembur hingga malam” keluh Lili mengerucutkan bibirnya.
“Tidak Nak, ini mungkin sudah saatnya saja Bunda sakit” Bunda menyangkal dengan menggelengkan kepalanya.
“Tapi, Bunda jangan khawatir, karena setelah ini Bunda tidak perlu lagi untuk lembur bekerja, Lili sudah menandatangani formulir untuk beasiswa, Bunda tahu? Lili bisa mendapatkan beasiswa full dan uang saku juga!” Lili bercerita dengan sangat antusias, membuat Bunda tersenyum lalu menghentikan langkahnya.
“Bunda bangga sama kamu sayang, kamu satu-satunya harapan Bunda, selamat ya Nak” Bunda memeluk tubuh ramping Lili, lalu menciumi wajah putrinya dengan sayang.
“Hmh, tentu saja hebat, Lili kan anaknya Bunda” Lili tertawa
***
Senyum masih mengembang di wajah Lili, bahkan hari ini dia seperti memiliki kekuatan berkali lipat, hujan yang kembali turun pagi tadi tidak menyurutkan semangatnya untuk terus menimba ilmu, Lili kembali datang ke sekolah dengan keadaan seragam yang sedikit basah akibat terkena air hujan, payung yang digunakan Lili tidak sepenuhnya bisa melindungi tubuh mungilnya.
Di dalam kelas Lili kembali sedikit termenung, ujian sekolah sebentar lagi, di saat teman-temannya sibuk mencari guru les sana-sini, maka Lili hanya bisa meminjam buku pelajaran tambahan dari perpustakaan sekolah yang lumayan besar dan lengkap.
Namun, baru saja seorang guru menyarankan untuk membeli sebuah buku paket yang bisa menunjang hasil ujian, dan kebetulan buku tersebut tidak ada di perpustakaan sekolah.
Bagi teman-teman Lili uang senilai lima ratus ribu rupiah mungkin bukan apa-apa, hanya seujung jari, dengan mengandalkan merengek pada orangtua, mungkin mereka sudah bisa membeli apa yang mereka mau, termasuk buku paket yang diwajibkan dibeli untuk menunjang belajar mereka.
Lili mendesah berat, bagaimana cara Lili mendapatkan uang lima ratus ribu rupiah dalam waktu dua hari? Lili menenggelamkan wajahnya pada bangku, merasa kesal juga bingung sendiri.
“Lili?”
Lili mendongakkan kepalanya menatap pada Ambar, teman sekelasnya yang mungkin pernah sesekali bertegur sapa dengannya, Ambar adalah salah satu murid yang cerdas juga, meski Ambar adalah anak dari seorang pejabat, namun Ambar selalu berusaha keras untuk menjadi murid berprestasi.
“Ya?” Lili menjawab dengan lemah.
“Aku perhatikan kamu begitu gelisah? Apa kamu punya masalah?” tanya Ambar sembari duduk di kursi sebelah Lili.
Lili mengerutkan keningnya dalam, kenapa? Untuk pertama kalinya ada teman sekelas yang terkesan peduli padanya?.
“Aku dengar kamu sudah ditawari untuk masuk universitas Nusa Bangsa oleh kepala sekolah?” Ambar kembali membuka obrolannya.
“Hah? Ya” Lili mengangguk bingung, dari mana Ambar tahu mengenai ini? Bukankah berita ini baru Lili saja yang tahu?.
“Universitas Nusa Bangsa juga universitas impianku, kalau kita bisa diterima disana bersama, aku harap kita masih bisa berteman” ucap Ambar melirik pada Lili yang masih mematung.
“Hah? Y ya ...” Lili hanya menganggukan kepalanya masih bingung, Ambar memang salah satu murid berprestasi juga di kelasnya, hanya saja Ambar berasal dari keluarga kaya, jadi Ambar bisa masuk universitas mana saja sesukanya, tanpa harus mengikuti jalur beasiswa.
“Kamu sedang punya masalah Li?” gadis dengan bando merah itu kembali bertanya, membuat Lili menggelengkan kepalanya, selama ini Lili tidak pernah membagi masalahnya dengan siapapun, karena Lili merasa tidak dekat dengan siapapun.
“Tidak”
“Aku harap kamu mau membagi masalahmu denganku”
Hanya saja Lili merasa heran dengan Ambar yang tiba-tiba saja terlihat sangat peduli padanya.
“Oh ya, kamu sudah mendapatkan undangan ulang tahun dari Bima?” Ambar kembali bertanya.
“Hah?” Lili kembali cengo, Bima ulang tahun? Kapan? Oh bukan itu pertanyaannya, kenapa juga Lili harus diundang? Ibarat kata, Lili itu hanya remahan yang siap di hempaskan, circle mereka sungguh berbeda, tidak ada tempat bagi Lili untuk bisa bergabung dengan mereka, apalagi harus diundang di acara penting mereka.
“Kamu tidak tahu? Bima merayakan ulang tahunnya yang ke delapan belas tahun di sebuah hotel mewah, semua angkatan kita diundang tanpa terkecuali, Bima mengumumkannya di mading juga di grup whatsapp, kamu akan hadir bukan? Ku dengar pestanya tema topeng, wah ... akan sangat menyenangkan” Ambar tersenyum menerawang.
“Hah? Ti tidak! Aku tidak akan hadir” dalam hatinya yang paling dalam, Lili memang ingin mendatangi acara ulang tahun Bima, namun ... apa daya? Sekali lagi! lili bukan berasal dari circle mereka, Lili yang buluk dan miskin mendatangi pesta megah seorang pangeran pewaris tunggal dari perusahaan ternama, apa jadinya nanti?.
“Loh kenapa? Sebentar lagi kita akan ujian dan akan perpisahan kelas tiga, sebelum itu terjadi tidakkah kamu mau bersenang-senang sekali saja bersama kami semua Li? Kulihat selama ada acara apapun di sekolah, kamu tidak pernah mau menghadirinya, kenapa?” Ambar kembali bertanya penuh penasaran.
Namun, Lili kembali menggeleng ragu, Lili tidak perlu menjelaskan apapun, harusnya Ambar sudah memahaminya bukan? Di kelas ini Lili satu-satunya murid beasiswa yang bertahan hingga sekolahnya hampir selesai.
“Aku harap kamu datang Li” Ambar tersenyum menepuk pundak Lili, gadis manis itu kembali duduk di bangkunya setelah ada guru mata pelajaran selanjutnya masuk ke dalam kelas.
“Di sana makanannya enak-enak, lagi pula katanya Bima mengundang koki ternama untuk suguhan di pestanya nanti” Ambar kembali berbisik jahil.
Lili hanya mengangguk kaku, rasanya aneh, ketika untuk pertama kalinya ada seorang teman yang mau berbicara sepanjang lebar dengannya.
***