PUDAR

Neng Neng
Chapter #5

Bab 5

Lili berjalan menunduk, kedua tangannya memainkan tali tas punggung yang dikenakannya, Ia melewati koridor sekolah untuk menuju parkiran sekolah, ada banyak pikiran yang bergelayut di kepalanya, diantaranya adalah bagaimana caranya Ia mendapatkan uang lima ratus ribu rupiah untuk membeli sebuah buku paket yang wajib Ia beli, meminta pada Bunda juga bukan solusi yang baik, gaji Bunda di pabrik hanya cukup untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari, itupun kadang masih kurang, mengingat beban kebutuhan sekarang bukanlah perkara yang mudah. 

“Apa yang harus aku lakukan?” gadis itu kembali menggerutu, tenggat waktu dua hari bukanlah waktu yang panjang untuknya. 

“Ish ...” dia kembali mendesah kesal, sesekali kaki yang dibalut sepatu butut itu menendang-nendang apa saja di hadapannya, hingga tanpa sengaja kakinya menendang kerikil kecil. 

“Aduh!” suara seorang perempuan mengaduh membuat Lili terhenyak dalam rasa bersalah, lekas gadis itu mendongakan kepalanya lalu seketika matanya terbelalak kala menatap beberapa orang yang tengah menatapnya dengan pandangan tak mengerti. 

Oh, tidak! Di sana ada Angkasa, Bima, Satriya, juga Annisa yang tengah memegang sebelah pipinya, tengah menatapnya dengan sedikit kesal. 

“Oh, ma maaf, a aku ti tidak sengaja” Lili buru-buru menundukkan kepalanya merasa bersalah, sementara orang yang ada di hadapannya masih menatapnya heran. 

“Tidak apa-apa, aku tahu kamu tidak sengaja” 

Lili segera kembali mengangkat kepalanya, menatap pada gadis yang kini tengah menatapnya lembut sembari tersenyum meneduhkan, dia Annisa, pantas saja jika Bima begitu mencintai kekasihnya, Annisa adalah gambaran wanita sempurna tanpa cela. 

“Ma maaf Sa, a aku sungguh tak sengaja” sekali lagi Lili mengucapkan maaf dengan mulut bergetar. 

“Ya, tidak apa-apa, lain kali jangan menendang batu lagi, selain bisa menyakiti orang lain, kakimu juga pasti sakit bukan?” ah ... suara lembut itu kembali mengalun merdu. Membuat Lili betah mendengarnya lama-lama, apalagi pria seperti Bima?. 

“Sayang, kamu sungguh tidak apa-apa?” itu suara Bima, membuat Lili kembali mendongak untuk kembali melihat interaksi mereka, terlihat teman-temannya juga mengerubungi Annisa untuk melihat kondisi gadis itu, ah ... perlakuan mereka sungguh membuat Lili iri, andai Lili jadi Annisa, pasti bahagialah hidupnya, bisa di kelilingi banyak orang baik yang menyayanginya. 

“Ya, aku tidak apa-apa”

Perasaan Lili menjadi tidak karuan, rasanya begitu tidak enak kala pandangan Bima seolah menyalahkannya, kala diliriknya ternyata pipi Annisa sedikit merah karena kerikil yang mendarat di pipi mulusnya. 

“Sekali lagi maaf” ucap Lili penuh penyesalan. 

“Hei ... aku tidak apa-apa, aku memaafkanmu, lain kali hati-hati ya, kamu mau pulang dengan kita?” Annisa menghampiri, meraih kedua bahu Lili dengan lembut, sontak saja tubuh Lili menegang, mereka memang satu angkatan meski tidak pernah satu kelas, namun bisa berada sedekat ini tentu saja membuat Lili tidak nyaman karena merasa asing. 

“Oh, tidak! Terimakasih” Lili menggeleng pelan.

“Cha!” seorang gadis menghampiri dengan napas terengah “Sorry, Gue telat! Tadi kebagian piket dulu, kalian sudah lama nunggu?” gadis itu bernama Zahara, gadis cantik dengan mata indah bersinar, dia adalah kekasih Satriya, termasuk teman dari orang-orang yang ada di hadapan Lili. 

“Gak apa-apa Ra, yuk kita pulang, masih banyak yang harus kita urus untuk persiapan ulang tahun Bima besok” 

Akhirnya mereka semua memasuki mobil masing-masing, melajukannya perlahan hingga hilang dimakan jalanan, meninggalkan Lili yang masih mematung sendirian. Menghela napas berat, Lili kembali berjalan menuju pulang. 


*** 

“Lili baru pulang?” itu suara Bu Imah tetangga kontrakan Lili, beliau bekerja di salah satu hotel berbintang lima yang berada di seberang jalan besar sana. 

“Iya Bu” Lili mengangguk, aroma karbol seketika tercium dari tubuh Bu Imah, maklum saja beliau bekerja sebagai office girl, sudah sangat lama beliau bekerja membanting tulang di hotel tersebut.

“Ah ... kelihatannya kamu begitu lelah Li, padahal kamu hanya belajar saja, bagaimana aku yang harus kerja keras menggunakan fisik seperti ini” Bu Imah terkekeh menepuk pundak Lili, sementara Lili hanya tersenyum. 

“Lagi banyak banget pekerjaannya ya Bu?” tanya Lili basa-basi. 

“Ya begitulah Li, besok akan ada acara ulang tahun anak orang kaya, kami diminta untuk bekerja ekstra, turut membereskan bekas dekoran di ballroom hotel, huh ... rasanya tulangku mau rontok semua Li” Bu Imah meraba pinggangnya yang terasa remuk. 

“Wah ... apa di tempat kerja Bu Imah pekerjanya kurang?” tanya Lili antusias. 

“Sebetulnya kalau untuk pekerjaan sehari-hari tidak kurang Li, hanya saja kalau ada acara besar seperti itu ya jadi kurang, karena pekerjaannya menjadi berkali lipat” Bu Imah menjelaskan, sementara itu mereka terus berjalan menyusuri gang sempit, suasana hening, Lili kembali berfikir sejenak, sepertinya kesempatan itu masih ada. 

“Bu, kira-kira di tempat kerja Ibu masih butuh karyawan buat acara besar itu gak ya?” Lili bertanya hati-hati. 

“Acaranya besok Li, dan Ibu gak tahu ada lowongan atau tidak” Bu Imah mengerutkan keningnya. 

“Memang kenapa Li?”

“Kalau semisal di tempat Ibu bekerja butuh tenaga ekstra, Lili siap kok Bu buat bantu-bantu” Lili menyuarakan isi hatinya. 

“Ibu gak berani bantu Li, takut Bunda kamu marah” Bu Imah terlihat ragu. 

“Lili janji gak akan bilang Bunda, dan Ibu juga jangan bilang Bunda” Lili memegang kedua tangan perempuan paruh baya tersebut. 

“Kalau begitu Ibu fikirkan lagi ya Li, nanti kalau ada kabar Ibu kasih tahu kamu”

Akhirnya mereka tiba di depan rumah kontrakan Lili, setelah berterimakasih dan sedikit berbasa-basi, Lili memasuki rumahnya. 

“Loh? Bunda sudah pulang?” Lili menatap heran pada sang Bunda yang kini tengah meringkuk dengan sehelai kain usang menutupi tubuhnya. 

“Oh, Li kamu sudah pulang?” Bunda menyeka keringat yang menetes di dahinya, mencoba tersenyum pada Lili yang kini sudah bersimpuh di sampingnya. 

“Hmh, Bunda sakit?” Lili meraba kening sang Bunda yang terasa hangat. 

“Tidak Nak, Bunda hanya lelah saja” Bunda menggeleng yakin, lalu kembali tersenyum meski bibirnya terlihat begitu pucat. 

“Bunda yakin?” tanya Lili sekali lagi.

“Yakin Nak” Bunda mengangguk lesu.

“Ya sudah, kalau begitu Lili mau bersih-bersih dulu, Bunda tunggu disini, nanti Lili bikinin bubur sama beliin obat buat Bunda, nanti Lili pijit lagi kaki Bunda ya” Lili beranjak menuju kamarnya meninggalkan Bunda yang kini tengah mencengkram erat ujung kain yang digunakannya, menahan sakit yang tiada terkira. 



Lihat selengkapnya