PUDAR

Neng Neng
Chapter #8

Bab 8

Ketika kamu memutuskan untuk menjalin perteman, harusnya kamu tidak memilih-milih ingin berteman dengan siapa, dan berasal dari lingkungan seperti apa, tidak seharusnya juga kamu memandang aneh pada sosok teman yang memang dipandang berbeda denganmu, setidaknya itu yang Lili pikirkan saat ini, ketika tangannya membersihkan tumpahan air dan pecahan gelas di tengah ruangan luas yang ramai oleh hiruk pikuk manusia, harusnya teman yang mengenal Lili tidak menatap Lili dengan sinis, lantas berpura-pura tidak mengenalinya, berlalu begitu saja, jujur saja suasana canggung itu membuat Lili menjadi tidak nyaman, di pandang berbeda memang selalu membuat Lili merasa sakit juga tidak nyaman. 

“Li?” lalu sapaan lembut itu berasal dari seorang gadis yang suaranya Lili kenali akhir-akhir ini. 

Lili mendongakan kepalanya, menatap pada sosok yang kini tengah berdiri tegak di sampingnya. Sementara itu di panggung sana acara masih berlanjut, kini Bima dan Annisa tengah melantunkan sebuah lagu cinta penuh dengan penghayatan, hingga mereka terlihat semakin serasi, aura romantic langsung mendominasi, membuat siapapun yang melihatnya kian terpesona dan mengundang iri. 

“Oh, Ambar?” Lili langsung mengenali sosok tersebut kala Ambar membuka topengnya. 

“Kenapa ada disini Li? Kenapa kamu yang membersihkan kekacauan ini?” Ambar mendekat.

“Oh, ya aku bekerja disini” Lili menjawab seadanya. 

“Bar, ngapain disini? Ayo kita bergabung lagi dengan teman yang lain” itu suara Zahara, dengan sigap gadis cantik dengan balutan busana mewah tersebut menarik tangan Ambar agar menjauh dari tempat Lili, Ambar mengikuti langkah kaki Zahara dengan terseok, mulutnya menggumamkan kata maaf meski tanpa suara pada Lili yang masih mematung dengan alat bersih-bersihnya, Lili hanya tersenyum tipis lantas segera melanjutkan pekerjaannya yang sempat tertunda. 

Ada banyak pasang mata yang sempat melirik, namun mereka kembali asyik dalam larutnya suasana. 

Lili segera melangkah mundur dengan peralatan kebersihannya, berjalan gontai menuju belakang menyimpan alat kebersihan lalu segera kembali membantu mencuci piring. 

Lili tersenyum tipis, tidak! Lili selalu mensyukuri apapun yang telah dia miliki, Lili bahagia karena terlahir menjadi putri semata wayang dari Bunda. Ah ... bicara mengenai Bunda batin Lili jadi bertanya-tanya, sedang apa Bunda sekarang? Apa Bunda masih terjaga dan menunggu Lili? Mengkhawatirkan putrinya dan memilih menunggu kepulangan Lili di teras kontrakannya?.

Seketika rasa bersalah kembali menjalar di hati Lili, waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, namun Lili masih dipaksa untuk menyelesaikan semuanya, Lili bertekad akan terus bekerja keras agar semuanya segera selesai. 

Waktu menunjukkan pukul sebelas malam, berkat kerja sama dengan semua team, akhirnya pekerjaan selesai juga, tinggal segala kekacauan yang berada di ruangan pesta yang masih terlihat berantakan, atasan Lili bilang biarlah itu menjadi tugas para pria, dan para wanita yang sudah mengerjakan tugasnya dipersilahkan untuk pulang. 

Sesuai dengan perjanjian Lili mendapatkan upah malam itu, sesuai dugaan upahnya cukup untuk membeli buku paket esok hari, Lili merasa begitu bahagia, untuk pertama kalinya gadis itu mendapatkan upah atas hasil kerja kerasnya. 

Tulangnya terasa remuk, bahkan Lili berulangkali menyeka keringat yang menetes di dahinya, pekerjaannya kali ini membuatnya merasa begitu lelah, berjalan gontai melewati lorong demi lorong untuk menuju lobby dan Lili bisa segera pulang dan tiba di rumah, Lili ingin segera memeluk Bunda dan meminta maaf pada perempuan kesayangannya tersebut. 

Senyuman masih sempat tersungging di bibir Lili, sebelum pada akhirnya Lili merasakan ada sebuah tangan yang menarik tubuhnya dengan kasar, tak sempat mengelak Lili hanya mampu mengikuti langkah kakinya yang terseret, mulai menyadari keadaan, Lili segera memberontak sekuat tenaga, berusaha berteriak sebelum mulutnya juga ikut dibekap, tidak! Ini tidak benar! Ini salah! Lili tiba-tiba saja terhempas di sebuah ruangan yang mirip dengan kamar, karena disana terdapat ranjang besar, juga beberapa perabotan mewah lainnya. 

“Tolooonngg!!” Lili kembali berteriak kala mulutnya kini terbebas dari bekapan tangan besar yang sedari tadi menyumpalnya. 

“Tolong! Kamu siapa?!” suara Lili bergetar kuat karena rasa takut kini mendominasi, instingnya mengatakan jika dirinya tidak akan baik-baik saja. 

“Aku tahu ini salah, tapi bisakah kamu membantuku?”

Deg!

Suara itu ...

“Bi Bima?”

Suara Lili tercekat kala melihat sosok tinggi di hadapannya adalah pria sejuta pesona, dia Bima Adiguna, pria yang juga dikagumi Lili dalam diam. 

Sempat termenung sesaat, bagaimana mungkin Bima bisa melakukan hal ini kepada Lili? Bukankah tadi pria ini sudah memasangkan cincin pada Annisa? Bagaimana ini bisa terjadi pada Lili? Tolong jelaskan! Terlebih Lili mencium aroma aneh dari mulut Bima, dan lagi acara Bima sudah selesai sejak tadi, bukankah Bima seharusnya juga sudah pulang? Tapi ada apa ini? 

Kesadaran Lili kembali kala tangan Bima kini mulai menjelajah tubuhnya. Lili semakin meningkatkan kewaspadaannya, Lili menendang, memukul apa saja yang bisa dia jamah. 

“Tidak! Jangan!” Lili berteriak histeris. 

“Kamu gila?! Tolong!”

“Jika aku pernah melakukan kesalahan padamu, tolong maafkan, tapi lepaskan aku!”

Lili semakin mengiba kala Bima bagaikan orang kesetanan terus menjamah Lili, mata merah Bima, juga tatapan sayunya membuat Lili semakin ketakutan, gerakan Bima diluar nalar, pria itu begitu kuat, jauh dari yang Lili bayangkan. 

Lili sangat paham akan berakhir seperti apa perlakuan Bima kali ini. Maka dengan sekuat tenaga Lili harus bisa mempertahankan marwahnya sebagai perempuan. 

“BIMA! Tolong! Jangan!”

Lili semakin histeris lagi, Lili tidak menghentikan upayanya untuk lepas dari jerat Bima. 

“Tolong diam! Namamu Lili bukan? Aku mengenalimu dan Aku akan bertanggung jawab setelah ini!” Bima membentak Lili lalu menghempaskan tubuhnya diatas ranjang dengan tanpa perasaan. 

Tanggung jawab? Tanggung jawab seperti apa yang akan Bima lakukan? Lili tidak mengerti jalan pikiran orang-orang seperti Bima, mereka selalu menganggap remeh pada hal yang diagungkan orang lain. Kehormatan Lili tidak bisa diambil begitu saja, lantas dengan mudah Bima mengatakan tentang tanggung jawab?.

“Tidak! Jangan! Kamu punya tunangan Bima! Kamu punya Annisa, ingat?” Lili mencoba mengingatkan, berusaha berbicara dengan Bima agar pria itu menyudahi kegilaannya. 

“Aku tidak bisa menyakitinya! Jadi kumohon! Diam!” sekali lagi Bima membentak dengan nada kasar. Tangannya kini mengunci kedua tangan Lili, tubuhnya sudah menindih tubuh Lili, kakinya juga mengunci kaki Lili, hingga gadis itu semakin kesulitan untuk sekedar bergerak. 

Apa? Bima tidak bisa menyakiti Annisa, lantas apa Bima bisa bebas menyakiti Lili? Memang siapa Bima bagi Lili?.

Oke, dulu, dulu sekali, Lili mungkin sempat mengagumi ketampanan dan kebaikan Bima di sekolah, namun tidak harus seperti ini! Ini sudah di luar nalar Lili. 

“Tidak! Jangaaannn!!” 

Segala upaya telah Lili lakukan, bahkan termasuk membenturkan kepalanya pada headboard ranjang, namun tenaga Bima seolah kian bertambah, pendengarannya menjadi tuli, dan matanya menjadi buta, Bima tetap melakukan semua yang dia mau dengan brutal, membuat lama-lama Lili menjadi kehabisan tenaga, air matanya mengering, lalu pandangan Lili berubah menjadi putus asa kala Bima berhasil mengoyak mahkotanya. Rasa marah, benci, kecewa, sakit hati menumpuk di dada Lili. 

“Harus seperti inikah akhir dari gadis miskin sepertiku?” lirih hati Lili bergumam.

Lihat selengkapnya