"Selamat datang di Kerajaan Laniakea."
Ratu Elsadora menyunggingkan senyum paling sempurna di bibirnya untuk menyambut kedatangan para tamu kerajaan yang berasal dari penjuru negeri. Sementara aku berdiri di sampingnya dengan penampilanku yang biasa-- wajah berekspresi netral dan senyum natural yang tidak dipaksakan dan juga tidak berlebihan. Ia melirik sekilas padaku dan berbisik seolah-olah kami sedang berbincang di ruang pengadilan tinggi kerajalan.
"Terima kasih telah merapikan rambutmu," ucapnya tak jelas antara ejekan ataukah pujian.
Aku melakukan semua perintahnya dengan baik; mengikat rambut coklat keritingku yang bertebaran ke mana-mana sehingga menjadi gulungan rapi di balik diadem sulur kebanggaanku karena sebelumnya ia mengancam akan memakaikan pot bunga di kepalaku.
Oh, ayolah, ibu tiriku ini hanya bercanda. Butuh keberanian lebih dari searmada pasukan kerajaan untuk mempermalukanku karena juga akan berimbas pada nama baiknya yang berharga sebagai ibu sambung sang putra mahkota sekaligus wajah nomor satu Laniakeia untuk sementara. Ayahku? Kalian pasti bisa menduganya. Terkadang pengobatan yang paling manjur pun tidak akan berhasil bila ia sendiri tidak berhati-hati dengan usianya. Yang kumaksud di sini adalah Ratu Elsadora. Aku rasa tidak perlu menceritakannya lebih jauh karena hanya akan merusak kehidupan remajaku yang polos.
"Ingat, berdansalah dengan baik malam ini!"
Dia berusaha mengingatkanku akan masa-masa sulit saat aku pernah tak sengaja menginjak gaun salah seorang pasangan dansaku, seorang putri yang malang sehingga ia terjatuh. Masing-masing pasukan dari kedua belah pihak kerajaan telah saling menghunuskan pedang andai saja Ratu Elsadora tidak berhasil meredam insiden itu dengan sebuah keputusan yang bijaksana. Ia menyuruhku membopong putri tersebut ke kamar tempatnya menginap dan menemaninya makan malam romantis. Itu benar-benar menjadi malam terburukku di usiaku yang ke-enam belas kala itu. Aku tentu tidak ingin mengulanginya lagi.
"Dan sapalah para gadis-gadis!" Ia memberikan lirikan tajam pada sudut matanya.
Apa ia baru saja menyebutkan "para gadis-gadis"? Kurasa ibu tiriku sudah terlalu berlebihan dalam menggunakan kosakatanya untuk menekanku.
"Sesuai perintah Yang Mulia ...," ujarku sambil berlalu dari hadapannya.
Aku bisa merasakan letupan panas di punggungku setelah mengucapkan sebutan sarkastis itu padanya. Pasti berasal dari tatapan mata Ratu Elsadora. Maaf, aku hanya tidak bisa menahan diri.