Aku masih ingat ketika pertama kali aku datang kesini. Nada mengantarkanku keliling sekolah, memperkenalkan setiap sudut, ruangan, dan fasilitas yang ada. Perhatianku tertuju kepada jam lemari antik yang berdiri di tengan perpustakaan. Terkesan jadul dengan kayu jatinya, namun tetap awet.
Kata Nada kala itu, jam tersebut selalu berbunyi setiap jam satu. Terasa aneh kenapa harus diletakkan di tengah perpustakaan, bukannya akan menganggu siswa yang sedang membaca. Entahlah, Nada juga tidak menjelaskan lebih banyak tentang sejarah jam itu.
Setelah pelajaran matematika berakhir, hujan tiba-tiba turun sangat deras. Hampir semua murid bersorak senang ketika Pak Ari, guru olahraga kami membatalkan pelajaran dan semua murid disuruh diam di kelas. Sebagiannya lagi, ada yang merutuk kesal karena tak bisa bermain di lapangan.
Aku memperhatikan sekitar. "Dia mau gantung diri di mana?" tanyaku bingung. Tak ada tempat untung mengikatkan tali atau kain di kelas ini.
Sejak tadi Nada menceritakan sebuah cerita horor yang katanya harus wajib diketahui oleh semua siswa di sekolah ini. Kalau tidak, bukan anak SMA Tuna Bangsa namanya.
"Katanya kalau bukan gantung diri, dia melompat dari lantai tiga," ujar Nada lagi, terdengar memberikan alternatif lain agar si pemeran utama dalam ceritanya tetap mati dengan cara mengenaskan.
"Emangnya udah pernah ada yang diganggu?" Aku sedikit penasaran.
"Kamu juga belum tau kan?" Nada menyipitkan mata bulatnya. "Sebelum kamu pindah ke sini, dulu pernah terjadi kesurupan masal. Kata orang pintar, arwah siswi itu dalang di baliknya," lanjut Nada dengan suara semakin pelan.
"Ah masa sih?" Jujur aku tak semudah itu untuk percaya. Bisa saja kan Nada mengarang cerita hanya untuk menakutiku, berhubung aku murid yang baru pindah satu minggu ke sekolah ini.
"Kalau gak percaya, tanya aja sama yang lain," jawab Nada cuek.
Masa aku harus tanya sama murid lain, selain belum terlalu kenal, menurutku cerita ini hanya menjadi bahan obrolan seru-seruan semata. Jadi jangan terlalu dianggap serius.
"Kantin yuk lapar nih." Sudah saatnya jam istirahat. Nada langsung menyeretku menuju kantin. Kami para murid harus berebutan untuk mendapatkan tempat makan di kantin. Kursi dan mejanya sangat terbatas, semuanya punya prinsip, siapa cepat dia dapat.
Baru sesuap nasi yang masuk ke mulutku, perutku tiba-tiba bergejolak ingin buang air. Terpaksa kutinggalkan semangkok bakso itu dan langsung berlari ke toilet terdekat.
Untung saja toilet dekat kantin tidak ada orang. Jadi aku tak harus antri apalagi menunggu lama. Aku masuk ke bilik paling kiri.