Hari Senen siang, kami sekelas bersorak senang. Pak Agus, guru matematika yang terkenal killer dan sering memberikan kuis mendadak, tak bisa datang. Katanya istrinya melahirkan.
Nada tersenyum sumringah, matematika adalah musuh terberatnya. Dia lebih memilih lari lima putaran lapangan daripada menyelesaikan soal matetika. "Sering-sering deh istrinya Pak Agus melahirkan, kalau bisa minggu depan melahirkan juga."
"Ngaco kamu, mana bisa mengandung cuma seminggu, kalau hari ini udah ngelahirin."
"Siapa tau, istri kedua, ketiga, atau mungkin selingkuhannya yang melahirkan."
Aku tertawa pelan mendengar candaan Nada. "Saking berharapnya pak Agus gak masuk ya?"
"Iya dong, sekelas juga setuju sama aku. Kecuali..." Nada menunjuk seseorang dengan bibirnya. Dia duduk tak jauh dari kami.
"Laras?" tanyaku pelan.
"Anak kesayangannya pak Agus."
"Emang dia pinter?"
Nada mengangguk cepat. "Banget, semua mata pelajaran di babat habis. Tipe-tipe murid yang bakalan budek pas ujian."
Dari tampangnya memang terlihat seperti siswa pintar. Berkacamata tebal dan lebih sering menghabiskan waktu sendirian di kelas.
"Tapi anehnya Dis. Dulu waktu kami kelas sepuluh. Boro-boro juara, Nilai Laras paling rendah di kelas. Sekarang dia jadi pinter."
Aku merasa tak aneh sama sekali. "Namanya juga hidup, kalau mau berusaha pasti ada hasilnya. Mungkin Laras mau berubah karena malu nilainya paling jelek di kelas. Bisa juga tekanan dari orangtuanya yang membuat dia jadi rajin belajar."
Nada tampak setuju dengan pendapatku. "Mungkin apa yang kamu bilang juga benar."