Pulang

Nasrani Lumban Gaol
Chapter #3

Kepingan Tiga : Sebuah Pengantar Untuk Luka

Kau menatap nanar ke luar. Hampa.

Ini kepulangan pertamamu dalam 4 tahun. Kau menyenderkan kepalamu ke dinding pesawat. Pikiranmu menerawang jauh meninggalkan tubuhmu. Kau tahu, kau juga adalah penyebab penyakit mamak. Sama seperti lukamu, kau juga tahu, mamak terluka untukmu. Dia tidak pernah mengatakannya kepadamu, namun, sorot matanya tidak pernah bisa berbohong. Mata hangat yang kau kenal selama ini berubah menjadi sedih yang memilukan. Itulah sebabnya kau selalu memalingkan wajahmu dari senyumannya. Kau begitu terluka melihat mamak yang begitu teduh, harus membohongi dirimu dengan senyumannya. Kau tahu mata mamak tidak akan pernah bisa berbohong. Matanya begitu jujur kepadamu.

Kau masih ingat ketika dia mengantarkanmu ke bandara, waktu itu kau bersikeras agar mamak tidak perlu ikut. Kau sudah biasa sendiri, kau ingin pergi sendiri. Kau tidak ingin mamak menatap punggungmu yang menjauh. Kau tidak ingin mamak semakin merasa bersalah mengirimkanmu jauh darinya, dari asal muasal lukamu. Sama seperti kau yang tidak mau melihat punggung orang lain yang meninggalkanmu, kau juga tidak ingin mamak melihat punggung orang yang meninggalkannya. 

Mamak memelukmu di hari terakhir dia melihatmu, tangannya yang kasar menyentuh tubuhmu dan membawamu ke tubuhnya, “Maaf inang,” kau mendengar suaranya yang terbata, berbisik lembut di telingamu. Kau tahu untuk apa maaf itu. Itu adalah pertama kali dia meminta maaf kepadamu. Hampir saja kau ingin menangis lagi, hampir saja lututmu tak kuat menahan tubuhmu. Tetapi saat itu kau sudah terlalu lelah. Air matamu sudah mengering, kau tidak bisa menangis lagi. Kau hanya membeku dan membiarkan dirimu dalam pelukan mamak sampai dia akhirnya melepaskanmu.

 Mamak yang selalu berdiri disisimu, mamak yang selalu membelamu. Hanya mamak yang mencintaimu, setidaknya itu yang kau rasakan. Dan melihat satu-satunya orang yang mencintaimu memohonkan maaf kepadamu agak melukai hatimu. Tapi saat itu kau tidak bisa lebih terluka lagi, kau sudah berada di titik bawah. Kau tidak bisa merasakan sakit yang lebih lagi.

Kau tahu mengapa mamak meminta maaf untukmu. Kau tidak pernah bisa menghibur mamak. Kau sebenarnya bisa berkata, semua yang terjadi bukan kesalahannya. Tetapi waktu itu kau hanya membisu. Kau sudah terlalu lelah untuk membicarakan hal yang sama berulang-ulang. Kau ingin sekali membuang kenanganmu. Kau ingin sekali menghapus bagian itu dari kehidupanmu. Saat itu kau juga begitu terluka untuk menghibur mamak, untuk berkata, atau sejenak berbohong, mengatakan bahwa kau tidak apa-apa. Kau ingin mengatakan kepadanya, semua akan baik-baik saja, kau hanya membutuhkan waktu dan jarak.

Seorang pramugari datang menghampirimu, membuyarkan lamunanmu tentang mamak. Dia sedang menjelaskan kepadamu prosedur pintu darurat. Dia bertanya apakah kau tidak keberatan duduk di dekat pintu darurat, kau menggelengkan kepalamu, pertanda kau tidak keberatan. Tanpa menghilangkan jejak senyuman di wajahnya, pramugari itu lalu menjelaskan prosedur untuk membuka pintu darurat. Kau mendengarkannya dengan seksama. Ini bukan pertama kali kau duduk di pintu darurat namun kau tetap mendengarkannya dengan penuh perhatian.

Pesawat bergerak perlahan, pengumuman agar semua penumpang memasang sabuk pengaman terdengar dalam tiga bahasa: Mandarin, Melayu dan Bahasa Inggris. Sebentar lagi pesawat ini akan lepas landas, meninggalkan tanah dan negara ini. Kau juga akan meninggalkan kekasihmu, mungkin dia masih dalam perjalanan pulang ke asramanya, terkantuk-kantuk dalam bus. Lelaki itu sebelumnya telah mengabari bahwa dia akhirnya mendapat bus yang akan membawanya ke Taipei.

Dari jendela kecil di samping kananmu kau bisa melihat pendar-pendar cahaya yang begitu terang. Ini pertama kali kau melihat kota itu dari atas pada malam hari. Kau terkagum dengan kilauan cahaya kota Taoyuan dari dalam pesawat, sungguh pemandangan yang sangat kontras dengan suasana hatimu.

 

***

Lukamu. Dialah lukamu.

Kau begitu mengenali lukamu. Tetapi sama seperti mamak, dulu dia juga adalah pohon kokoh tempatmu berteduh. Bagimu dia adalah pohon yang akan menaungimu di terik dan hujan. Kau selalu berlari kepadanya dan meminta pertolongannya. Dia selalu meraihmu dan membuatmu merasa aman dalam pelukannya.

Kau bertemu dengannya di penerimaan mahasiswa baru. Pertemuan pertama kalian persis seperti cerita dalam film, dulu kau membanggakannya kepada teman-temanmu. Kau menyebutnya takdir. Tetapi kau tidak tahu, jika dia adalah takdir, maka lukamu juga adalah takdir. Lalu, beranikah kau menyebutnya takdir sekarang?

Lihat selengkapnya