Malam minggu itu kami sengaja menyempatkan diri berjalan-jalan di pusat perbelanjaan yang ada di Jalan Pemuda. Tempat itu berada di daerah Rawamangun, dekat Velodrome [1] dan Gelangan Remaja Rawamangun, Jakarta Timur. Kami berniat menonton film Surga Yang tak Dirindukan 2. Sebuah film keluarga yang cukup dinanti-nantikan banyak orang, mengingat serial pertamanya sukses membuat para istri berlinangan air mata karena tak sanggup membayangkan jika harus menjalani hidup seperti sang tokoh utama. Tidak, tidak. Aku belum pernah menontonya. Tentu saja hal itu aku ketahui dari Isti, gadis manis yang saat ini sedang asyik memegang lengan tanganku-yang beberapa saat lalu wajahnya manyun karena harus kehabisan tiket menonton pada sesi pertama. Terpaksa aku harus mampir membeli Mc Flurry sebagai harga yang harus kubayar karena telah membuatnya manyun.
“Mas, pokoknya aku mau nanti kalau kita menikah maskawinnya harus pakai dirham ya,” ucap perempuan itu tiba-tiba.
Tadi saat turun dari elevator menuju tempat makan, kami sempat menjumpai toko emas yang letakknya persis di bawah tangga elevator. Dia menarik lenganku untuk berhenti sejenak melihat-lihat. Dan sekarang persis saat ia sedang mengelap ujung bibirnya yang putih karena terkena krim susu, diucapkannya kalimat itu padaku.
“Yaelah ..., gak usah sok ikut-ikutan trend artis di tv deh,” ujarku sambil menyendok es krim yang sudah bercampur dengan taburan biskuit cokelat ke dalam mulut.
“Mas ...,” ucapnya pelan. Kali ini kulihat mukanya berubah jadi lebih dingin dan serius.
“Aku ini mahasiswa fakultas ekonomi dan bisnis. “Dirham itu ya ..., asal mas tahu, satu-satunya mata uang yang tidak akan berkurang nilai tukarnya.” Ia mulai menjelaskan teori-teori ekonomi klasik yang sering dipelajarinya di kampusnya di Ciputat sana.
“Dan kenapa harus dirham ...,” sambungnya.
“Dirham itu adalah simbol keabadian, Mas. Dengan begitu semoga pernikahan kita nanti se-abadi dirham--yang tidak pudar terkena panas atau luntur diguyur hujan. Memamgnya, mas tega ngasih maskawin calon isteri mas dengan sesuatu yang mudah robek atau bahkan luntur kalau tak sengaja tercuci?” Jelasnya panjang dan lebar dan sama sekali tidak memberiku ruang untuk berpendapat.
“Bukan begitu, Ti. Masalahnya ...”
“Terus ...?” Ujarnya langsung memotong. Terpaksa harus kuhentikan hasrat berdebatku sejenak. Kupandangi mukanya yang mulai menatapku dengan tatapan mengancam, khas perempuan bila jatah uang belanja mereka kurang. Tatapan yang sering kali membuat para suami harus banyak-banyak mengalah dan menghela napas panjang.
“Yaudah ... Yaudah ... Nanti saat kita akad maskawinnya pakai dirham,” ucapku pasrah.
“Memangnya kamu mau berapa dirham sih?” Giliranku bertanya balik sekarang.
“Hmmm ... Berapa ya?” Kali ini ia terlihat menghitung dan menggarahkan pandangan matanya ke arah langit-langit. Kemudian dengan mulut yang sedikit cemberut, ia kembali berkata, “Mas sanggupnya berapa?”
“Ya, aku mah semintanya kamu aja,” jawabku simple. Herannya jawaban itu justru malah membuatnya semakin menekuk muka.
“Ih, aku kan maunya semampu mas aja gitu lho. Aku kan juga gak mau membebani kamu sebagai calon suamiku nanti. Percuma kalau mas kawinnya dirham, tapi kamunya gak ikhlas. Kamu ini kenapa sih ngak pernah ngertiin aku?”
Kini nalurinya sebagai makluk yang susah dimengerti kembali mencuat. Nada bicaranya pun mulai naik. Begitulah susahnya jadi laki-laki. Kami harus banyak bersabar menghadapi jenis makhluk yang satu ini. Harus banyak-banyak minum multivitamin pengontrol tekanan darah.
“Yaudah ... Yaudah ... Yaudah. Kita nanti kalau akad maskawinnya pakai dirham,” ujarku senagaja mengulang.
“Dan aku bakal kasih kamu DE.LA.PAN.“ Kubentangkan delapan jari persis di depan mukanya. Sebelum gadis itu membuka mulutnya untuk bersuara, langsung kuhujani ia dengan kalimat panjang penuh filosofis.
“Kenapa delapan? Agar pernikahan kita nanti seperti angka delapan. Gak ada putus-putusnya, sampe kiamat.” Khusus pada kalimat terakhir itu sengaja kutekan sedikit penggucapannya untuk menunjukkan rasa kekesalan.
“Udah?”
“Puas kamu?”
“Apaaa ..., masih kurang?”
“Mau minta apa lagi kamu sekarang?” Kali ini rasa kesalku sudah tidak bisa dibendung lagi. Kalau saja menggigit pacar sendiri itu diizinkan, sudah kugerogoti dia karena kesal.
“Mau pelukkkk ...,” jawab perempuan itu dengan nada manja. Bukannya kesal karena baru saja dimaki, ia malah tersenyum riang dengan mata berbinar. Aku sendiri tak yakin pada bagian mana dari perkataanku barusan yang membuat matanya jadi lebih bersinar seperti sekarang.
Dan sekali lagi begitulah susahnya jadi laki-laki. Di hadapan perempuannya ia harus selalu mengalah. Selalu dikalahkan dengan tingkahnya yang aneh-aneh – yang kadang membuat gemas dan senyum-senyum sendiri. Ya, apalah yang bisa diperbuat seorang laki-laki selain daripada mengiyahkan segala macam tingkah aneh perempuan mereka. Kini rasa kesal yang mengunung tiba-tiba mencair menjadi senyum merekah yang tak dapat ditahan.
“Gak mau ah, bukan muhrim,” ucapku sok jual mahal.
“Yaudah buruan muhrimin!” Kali ini bahu sebelah kiriku jadi sasaran empuk untuk bersandar manja.
“Iya, nanti,” jawabku singkat.
“Laki-laki selalu bersembunyi di balik kata nanti,” ucapnya dengan setengah sadar.
Aku tahu betul kalimat itu adalah potongan dialog dari film serial pertama Surga Yang tak Dirindukan. Itu juga aku tahu dari Isti. Meskipun diucapkan dengan setengah sadar, tapi aku yakin bahwa kalimat itu tidak hanya sekadar potongan dialog yang dipunggutnya dengan tanpa alasan.
Beberapa waktu belakangan ini obrolan seperti maskawin, gedung pernikahan, undangan, foto prewedding dan segala macam yang berbau-bau pernikahan akrab terdengar di telinga kami. Tidak, kami tidak sedang mempersiapkan acara pernikahan atau sejenisnya. Hubunganku dengan Isti juga baru berjalan satu tahun. Namun demikian, bukan berarti kami harus menghindari obrolan-obrolan yang seperti tadi.
Pada akhirnya, setiap obrolan yang bertemakan pernikahan ujung-unjungnya akan selalu kuakhiri dengan kata,"Iya, nanti." Kalau sudah seperti itu wajah Isti akan mendadak jadi padam. Seakan-seakan aku telah merenggut kebahagiaan yang sudah ia bayangkan sebelumnya. Kemudian belakangan ini ada kata-kata favorit yang diucapkan Isti sebagai bentuk balasan untuk menimpali ujung kalimatku yang belum sempurna tadi. Kalimat yang tadi diucapkan itulah yang jadi favoritnya.
“Laki-laki selalu bersembunyi di balik kata nanti.” Satu kalimat tajam yang menembus ke dalam ulu hati. Sakit bukan karena tidak bisa ditahan, melainkan tak tahu bagaimana harus membalas dan menjawabnya. Nah, kalau sudah seperti itu mau tidak mau aku harus mengalihkan dan mencari topik pembicaraan lain yang lebih ringan, jauh-jauh dari masalah pernikahan.
“Eh, kita ke atas yuk!” Ke atas maksudnya adalah ke lantai atas mall. Biasanya setiap pusat perbelanjaan selalu meletakkan gedung bioskop mereka di lantai paling atas.
“Ngapain sih ke atas?” Tanya dia sekarang.
“Ya, kalau ke KUA malam-malam begini kan tutup,” ujarku berniat mengajaknya bercanda.
“Ha..ha..ha. Gak lucu” Isti meledek.
“Ya, emang lagi gak ngelucu. Orang ini mau ngajakin kamu serius.”
“Halah, palingan juga jawabnya nanti-nanti lagi,” ijarnya yang karena kupikir ia pasti sudah sangat lelah mendengar kalimat itu.
“Jadi gak mau nih diajakin serius?” Tanyaku sekali, kali ini lengkap dengan tatapan genit menggoda.
“Hmmm ... Yaudah deh, iya mau.” Akhirnya ia menyerahkan kedua tangganya untuk segera kugandeng.
“Eh, mau ke mana?” Tanya ia spontan ketika langkah kaki kami menginjak lantai elevator.
“Ke bioskop kan?” Jawabku singkat.