Lalu lintas di Jalan Raya Bekasi Timur hari itu padat merayap. Adanya pasar pagi di ruas jalan itu semakin memperburuk keadaan. Aku berbelok memutar menuju sebuah tempat parkir motor dalam stasiun. Menukar uang lima ribuan dengan selembar karcis sakti yang bisa menjaga motorku sepanjang hari. Stasiun Klender adalah salah satu stasiun terdekat dari Rawamangun, berjarak kira-kira 4,3 km dari tempat tinggalku sekarang. Stasiun ini lah kelak akan jadi saksi bagaimana waktu dengan misterinya berhasil mempertemukan dua manusia yang sama-sama keras kepala.
Harus kuinformasikan juga bahwa beberapa hari yang lalu stasiun ini terpaksa harus berhenti beroperasi karena adanya kebakaran. Jika hari ini kau sempat membaca berita di koran atau media sosial lainnya, setidaknya kau akan tau bahwa tepat pada Jumat 9 Mei Stasiun Klender hangus terbakar. Para teknisi kereta api memperkirakan kebakaran terjadi akibat adanya hubungan arus pendek di area stasiun. Seluruh aktivitas stasiun lumpuh, semua jadwal dan rute perjalanan dialihkan. Stasiun Klender kemudian dibangun kembali persis di sebelah timur bangunan lama yang hanggus terbakar.
Kebakaran itu membuat mesin tap pada stasiun tersebut mati. Sistemnya juga masih baru kemarin diperbaiki. Jadi, maklum sajalah jika antrian pada pagi ini sudah mengekor panjang sampai ke belakang. Masih pukul 6:30 pagi hari itu, tapi jangan lagi ditanya sudah berapa banyak orang yang sudah berdiri berjajar di depan pintu loket THB (Tiket Harian Berjamin) di sana. Anak-anak berseragam sekolah, para wanita dengan rok span setinggi lutut, ibu-ibu berdaster dengan plastik belanjaan, bapak-bapak beransel padat, dan anak-anak muda yang sok trendy dengan earpone di telinganya berjejer rapi menunggu antrian.
“Anjay, lama banget,” gerutuku dalam hati karena harus berdiri mengantri dengan kesal.
Tanpa kusadari teriakkan kecil tadi tak sengaja terdengar oleh seorang gadis yang tengah berdiri mengantri di depanku. Dia sempat menoleh ke belakang dan melihat agak lama ke arahku. Gadis itu tidak lain adalah Istiqomah. Ya, dia adalah Istiku yang sekarang. Seorang gadis cantik keturunan Bandung aseli yang besar dan menetap di Jalan Sawo matang daerah Bekasi. Puteri Bapak Ridwan Sahid dan Ibu Anis yang kalau sedang ngambek aku harus menghiburnya dengan membelikannya es krim Mc Flurry terlebih dahulu. Sayang hari itu aku sedang tidak enak hati untuk diajak basa-basi membahas cuaca yang saat itu sedang gerimis-gerimisnya. Kalau saja hari itu aku lebih bisa bersikap santai sedikit, mungkin kami bisa menciptakan pertemuan pertama kami jadi agak lebih romantis. Saling berkenalan, bertukar nomor telepon, atau sekadar membahas gerimis yang dari tadi shubuh tak kunjung redah. Apalagi orang bilang gerimis dapat menciptakan suasana paling romantis. Sunguh sangat disayangkan.
Entah inikah yang disebut dengan kebetulan atau inikah yang dinamakan dengan adanya campur tangan Tuhan, yang jelas setelah mengantri di loket tiket kami saat itu menunggu di peron yang sama dan duduk di deretan kursi yang juga sama. Beberapa menit lalu petugas information center memberitahukan bahwa kereta api mengalami perlambatan karena ada sedikit ganguan teknis. Kembali kutenggok gadis itu untuk memastikan bahwa ia adalah orang yang sama dengan gadis yang tadi mengantri di loket. Dan benar saja, dialah orangnya.
Aku lupa sejak kapan aku jadi terus memperhatikannya. Tawa indah yang kadang diselinggi senyum mereka itu, serta wajah tirus dan lesung pipi yang muncul tenggelam di sudut pipinya -membuat aku tak sadar sudah berapa lama sebenarnya dia mencuri perhatianku dari hiruk piruk di dalam peron stasiun kereta tujuan akhir Jakarta Kota. Dan seandainya saja pemilik senyum merekah itu juga tidak protes karena hak milik atas senyum indahnya telah dinikmati secara ilegal, mungkin sepanjang hari itu aku tidak berhenti memperhatikannya.
“Kenapa Mas?” Tanya dia agak sedikit bingung ketika aku sudah cukup lama memandanginya.
“Eh, Tidak ada apa-apa,” jawabku yang tidak siap menerima pertanyaan barusan.
“Oh, yaudah.” Kemudian dia kembali sibuk menata senyum paling merekah untukku.
Tiba-tiba saja dari arah samping kanan tempat duduknya sekarang, seorang laki-laki dengan menggunakan kemeja garis-garis, duduk dengan seenaknya. Tentu saja hal itu mengganggu pandangan mataku untuk kembali memperhatikan gadis pemilik senyum indah barusan. Laki-laki itu mungkin seumuran denganku, atau pacarnya barangkali, aku juga tidak tau. Terpaksa aku harus mengalihkan padangan ke arah yang lain untuk menghindari kesalahpahaman yang mungkin saja bisa terjadi antara aku dan laki-laki itu.
Maka kuarahkan pandanganku ke arah yang lain, mencoba menengok arah kedatangan kereta. Tapi kereta api juga tidak kunjung memberikan tanda-tanda akan memasuki stasiun. Saat ku kembali mengarahkan pandangan ke arah perempuan tadi, laki-laki dengan baju garis-gasris tersebut tertangkap basah olehku sedang memperhatikan gadis itu juga. Ia pun tergagap bukan main. Dalam hati ku tersenyum-senyum sendiri. Ternyata bukan hanya aku saja yang terkesima dengan gadis pemilik senyum mereka itu. Itulah yang aku maksud dengan kesalahpahaman tadi.
Aku mencoba memberikan senyum pemakluman kepada laki-laki itu, dia juga sempat memberikan senyum balasan kepadaku. Kemudian dengan berbagai motivasi ia menggaruk-garuk kepalanya untuk mengarahkan pandangan matanya ke arah yang lain. Sementara wanita tersangka kepemilikan senyuman manis itu masih sibuk dengan gawainya sendiri. Nampaknya ia tak sadar beberapa saat yang lalu dua laki-laki disampingnya antara sadar dan tak sadar melayang meninggalkan bumi karena senyumannya.
Ketika aku baru saja selesai membaca pesan pendek dari sebuah gawai, tiba-tiba suara teriakan perempuan mengagetkanku.
“Ahhhh ..., ” teriak perempuan itu.
Sepersekian detik kemudian seorang laki-laki berbaju garis-garis melintas di depanku dan berhasil membawa gawai dari perempuan tadi. Aku panik, spontan langsung aku berteriak dan mengejar. Malah lebih terlihat akulah yang sedang kecopetan ketimbang gadis itu. Ia nampak tenang dan biasa-biasa saja menghadapi kenyataan bahwa gawainya telah dicuri orang.
“Copet … Copet ...” Aku berlari sekonyong-konyong mengejar dan mengikuti arah langkah kaki laki-laki berbaju garis-garis tadi, tabrakan dengan beberapa orang pun tidak bisa dihindari lagi karena sejatinya kami telah melawan arah.
“Copet ... Copet ...” Teriakku mengulang perkataan yang sama, tapi orang-orang sepertinya tidak ada yang mendengar. Beberapa ada yang sempat menengok tapi kemudian kembali tak acuh. Ada juga yang pura-pura peduli dengan bertanya, “Oh, orang yang pakai baju garis-garis tadi ya? Wah tadi dia lewat persis depan saya.” Akan tetapi sama dengan yang lain, ia tidak sedikitpun membatu. Sementara itu, hiruk piruk dalam stasiun semakin mempersulit pencarianku atas laki-laki berbaju garis-garis.
“Sudah tertangkap pencopetmya?” Ujar petugas pengamanan rel kereta yang kebetulan datang. Rupanya ia bersama perempuan yang tadi kecopetan.
“Lolos, Pak. Aturan masih bisa kekejar itu di mesin tap. Tapi kerumunan orang-orang di sini membuat susah untuk dikejar.”