Sejak kali pertama ku bertemu dengan Isti, aku tak bisa menghentikan diriku untuk tidak memikirkannya. Makan aku teringat akan dia, tidur aku selalu membayangkan wajahnya. Apapun yang aku lakukan seakan-akan ada dia di mana-mana. Ya, sangat klise memang. Bahkan hal seperti ini sudah ribuan kali tertulis dalam novel-novel dan roman klasik tentang cinta. Tapi, memang begitulah kenyataanya. Sejauh apapun dunia ini berkembang, ketika membicarakan tentang cinta itu hanya akan menyeret kita pada persoalan lama dan kisah tua lainnya. Setua usia cinta itu sendiri.
“Boleh enggak kalau aku bilang aku suka sama kamu?” Ucapku lembut, dan kurasa masih tetap bisa didengar meskipun bercampur dengan suara bising kereta.
Pagi itu entah dengan kekuatan apa ku beranikan diri untuk mengucapkan kalimat sakral itu kepada Isti. Kalimat yang sangat aku wanti-wanti untuk tidak diucapkan kepada seorang prempuaan. Selama aku tinggal di Jakarta lima tahun terakhir ini kalimat itu tidak satu pun pernah kuucapkan pada seorang gadis. Sesuka apapun aku pada seorang gadis, semenarik apapun dia, secantik apapun dia, tidak ada yang mendapatkan penghormatan dengan kalimat sakral tersebut. Terkecuali pada Isti.
Ini tentu saja berkaitan dengan statusku sebagai seorang anak rantau di Jakarta. Bagiku, ketika berani mencintai seseroang maka harus berani melangkah ke arah yang lebih serius. Mencintai seorang perempuan yang notabendnya adalah orang Jakarta aseli hanya akan menyisahkan dua pilihan sulit. Ikut tinggal di Jakarta atau memboyongnya pulang ke kampung halaman. Pilihan pertama untuk melanjutkan hidup dan menetap di Jakarta adalah sebuah pilihan yang amat sulit. Gaya hidup yang sangat dinamis, jauh dari kedua orang tua, serta budaya yang sangat berbeda dengan di kampung halaman adalah pertimbangan utama. Sementara itu, pilihan kedua juga tidak kalah sulitnya. Hidup di Jakarta menyadarkanku bahwa jauh dari orang tua adalah hal yang sangat menyedihkan. Membawa dia pulang ke rumahku sama halnya dengan merampas sebagian kehidupannya untuk jauh dari kedua orang tuanya. Tentu aku tidak mau mengambil keputusan itu karena aku tahu bagaimana rasa dan tersiksanya ketika jauh dari kedua orang tua.
Setidaknya hampir lima tahun aku berhasil menahan ego dan perasaan yang berkecamuk di dalam dada untuk tidak gampang mengungkapkan perasaan sayang pada seseorang. Tapi entah mengapa pagi itu tiba-tiba semuanya berubah. Apa yang aku pertahankan selama beberapa tahun terakhir itu sia-sia sudah. Seorang gadis yang tidak sengaja aku temui di stasiun yang ternyata setahun lebih tua dariku itu, resmi telah meluluhlantahkan prinsip yang ku pegang teguh lima tahun terakhir. Sungguh, ini di luar batas kemampuanku sebagai manusia biasa.
“Boleh enggak kalau aku bilang aku suka sama kamu?” Tanyaku sekali lagi pada gadis yang sedang duduk di sampingku itu.
“Itu tadi udah bilang,” jawabnya menimpali.
“Berarti boleh ya?” Kulihat Isti benar-benar hanya terdiam. Dan diamnya seorang perempuan adalah sebuah persetujuan. Setidaknya begitu yang aku ketahui dari artikel-artikel yang membahas tentang dunia perempuan. Maka aku anggap itu sebagai sebuah sinyal positif yang diberikannya padaku untuk meneruskan langkah karena arahnya sudah benar.
Namun, tidak untuk Isti. Ternyata benar bahwa perempuan itu memang susah ditebak maunya. Beberapa saat setelah kuungkapan perasaanku kepadanya, aku merasa dia jadi sedikit berubah dan hampir selalu berusaaha menjaga jarak. Setiap pertanyaanku selalu dijawabnya dengan singkat, kalau aku tidak membuka obrolan terlebih dahulu ia pasti akan lebih memilih hening, ia mendadak jadi pendiam dan dingin. Pagi itu aku telah kehilangan Isti yang ceria dan selalu mendebat setiap argumenku yang menurutnya tak masuk akal.
Sore hari sebelum jam pulang kantor. Aku sengaja mengosongkan agenda untuk pulang lebih awal. Sebelum jam 4 sore aku sudah berada di depan gerbang pintu gedung perkantoran kami. Kulihat Isti keluar dari kantorannya dengan mengendap-endap, seperti hendak menghindari seseorang.
“Isti ... Tunggu!” Langsung kuteriaki dia. Sempat ia mencoba menghindar dan berlari menjauh. Tapi aku sudah terlau cepat untuk menarik pergelangan tangannya.
“Apa sih?” Ia tetap berusaha lari dan mengibaskan tangannya dari gengamanku.
“Aku punya salah ya sama kamu?”
“Enggak,” jawabnya entang.
“Tapi kok aku ngerasahnya sudah bikin salah ya sama kamu?”
“Mat, please gak usah bawa-bawa perasaan deh.”
“Aku minta maaf ya kalau aku memang punya salah sama kamu.”
“Iya, udah dimaafin,” ujarnya dengan muka masam.
“Tuh kan benar berarti aku punya salah.”
“Ah, terserah kamu deh. Aku capek,” ucapnya kali ini lengkap dengan gerakan membuang muka.
“Isti ... Tunggu Ti! Aku belum selesai ngomong.” Isti pun tidak peduli dan tetap bergegas pergi.
Kepergiannya kali ini sudah tak dapat kutangguhkan lagi. Sejak saat itu nomornya tidak pernah aktif. Semua media sosialku ; Instagram, Facebook, Whatsapp, Line diblokir. Kami sudah tak pernah satu kereta atau sekedar berpapasan di jalan saat menuju kantor. Berminggu-mingu aku hidup dengan kondisi seperti itu. Aku jadi makin bingung sendiri. Namun, dalam kondisi seperti itu kemudian aku teringat akan kampung halamanku di kolong bendungan sana. Bahwa kampung kecil itu telah melahirkan seorang pemuda genius penakluk hati wanita, pakar dari segala perjuangan dan perngorbanan tentang cinta. Cak Taji, aku jadi rindu kepadanya. Aku jadi teringat akan surat-suratnya yang ia kirimkan pada Mbak Lastri dulu. Surat yang juga mengajarkanku untuk menulis surat cinta pertamaku.
”Ah iya, kenapa aku tidak tulis surat saja,” pikirku.
Tapi hanya menulis surat bagi mahasiswa jurusan sastra itu hal yang sangat biasa. Kalau dosen-dosenku bilang ‘tidak ada seninya’. Dari menulis surat kemudian aku ingin bertransformasi dengan menulis sebuah puisi singkat untuknya.
Mata Hati
Setiap laki-laki diciptakan dengan mata dan hati yang sama
tak terkecuali aku juga.
Mata, hati, mata dan hati, matahatiku tertambat padamu
dan tak kutahu mengapa ?
Tak ada yang bisa memaksakan cinta
tak juga aku. Dan kau tak perlu tanyakan padaku mengapa karena
di kantung celanaku tak kutemukan jawabannya.
Mata
Telah kutitipkan salam pada setiap bunyi denyit rel kereta api yang membawamu pulang.
Hati
Telah kubenamkan ribuan hati dan hanya kepada suara hatimu kubiarkan ia berbicara.
Mata dan Hati
Denyit rel kereta api membungkam suara-suara hati yang sampai padamu.
Matahati
Tanyakan pada hatimu adakah aku di sana ?