Pulang Kampung

Ahmad Muzaki
Chapter #4

Telepon dari Kampung

“Mat, itu hape lu nyalah tuh,” teriak Fajri menembus kamar mandi yang terletak persis di belakang rumah kontrakan kami.

“Iya, iya bentar,” Jawabku terburu-buru.

Kumatikan segera kran air dalam bak kamar mandi, langsung kugantungkan handukku yang masih setengah basah itu di atas jemuran yang ada samping rumah. Aku segera berlari memutar menuju pintu kamar, mencabut ponsel yang dari tadi dicharger karena baterainya habis. Kulihat sejenak nama dan nomor kontak yang muncul di layar ponsel yang jelas-jelas bertuliskan ‘Ibu’

“Tumben hari senin begini telpon,” ujarku dalam hati. Tidak biasanya orang rumah menelpon pada hari senin. Terlebih hari senin adalah hari tersibuk sepanjang masa bagi para pekerja Ibu Kota sepertiku sekarang. Kuusap layar kaca untuk segera menjawab panggilan telepon yang sudah berdering lama di ujung sana.

“Halo, Assalamualaikum ...”  

“Waalaikumsalam ...” Suara prempuan itu lembut seperti biasa, selalu bisa menenangkan setiap jiwa yang gundah dan resah.

“Sehat, Nak?” Ucap perempuan itu kembali.

“Alhamdulillah Bu, sehat wal afiat.”

“Belum berangkat kerja?”

“Ini mau berangkat.”

“Oh, syukurlah kalau begitu.”

“Oh ya, Mat. Maaf ya bulan ini sepertinya Ibu tidak bisa kirim uang lagi. Uangnya habis dipakai adikmu Nita untuk bayar uang ujian akhir sekolah dan bayar les pendalaman materi Ujian Nasional,” unggkap Ibu dengan gamblang.

Inilah kemudian alasan mengapa aku harus rela menunda semester, kerja keras membanting tulang, dan berangkat pagi pulang malam demi menyelesikan skrip skenario tv yang belum selesai. Semua itu kulakukan karena pada dasarnya aku butuh uang. Uang pemberian beasiswa yang turun tiga bulan sekali tidak bisa menjadi penjamin hidup tenang di Ibu Kota. Sudah genap dua tahun belakangan ini aku memang tidak pernah meminta uang kiriman dari rumah. Awalnya Bapak ngotot dan tidak memperbolehkan aku kuliah sambil berkerja, “Kalau kamu kerja kuliahmu bagaimana?” tapi kemudian kalimat itu kini jarang terlontar seiring dengan uang kiriman yang semakin sedikit jumlahnya, tidak menentu pula.

“Oh ya, ini bapakmu mau bicara,” ucap ibu seketika. Kemudian telepon menjadi hening beberapa saat sebelum akhirnya suara berat seorang laki-laki muncul di ujung jaringan telepon sana.

“Halo, Assalamualaikum ...”

“Waalaikumsalam.”

“Bagaimana kabarmu Mat? Sehat ?”

“Alhamdulillah, Bapak sendiri bagaimana sehat?”

“Ya, begitulah, Nak.”

“Ada apa Pak? Kata Ibu tadi Bapak ingin berbicara sama Mat?”

“Oh ya, Bapak sampai lupa.”

“Kuliahmu sudah sampai mana Mat?”

“Tinggal skripsi saja sih, Pak.”

“Emmmmm ...,” suara itu terdengar nyaring dan menggantung. Aku tahu ini pasti bukan sebuah akhir kalimat yang ingin disampaikan bapak. Maka mulailah kembali terdengar suara berat Bapak menyusul kalimat yang masih menggantung tadi. 

“Memangnya skripsi kamu itu susah ya, Mat?” Tanya bapak tiba-tiba yang sontak membuatku sedikit tak percaya. Agak janggal sebenarnya jika Bapak yang hanya tamatan sekolah dasar itu tiba-tiba bertanya tentang susahnya menulis skripsi. Sepanjang sejarah perkuliaanku di Jakarta, Bapak bahkan hampir tidak pernah ikut campur tentang masalah kuliah, yang ia katahui bahwa aku kuliah di sebuah kampus bekas IKIP di Jakarta, Jurusan Bahasa Indonesia. Ketika orang-orang kampung bertanya kepadanya, “Si Ahmat kuliah dimana ?” atau “Ahmat ngambil jurusan apa sih Pak Yas?” Maka dengan enteng Bapak akan menjawab, “Kuliah di kampus keguruan, nanti pulang akan jadi guru,” semua akan menganggukkan kepala dan tidak akan bertanya lagi.

 “Ndak kok, Pak. Memang belum selesai saja. Lagi sibuk-sibuknya liputan,” jawabku.

“Kalau liputan terus, mau sampai kapan lulusnya?” Akhirnya pertanyaan itu pun sampai juga ke telingaku. Pertanyaan yang memang sewajarnya diucapkan oleh setiap orang tua yang memiliki anak kuliah di tahun-tahun terakhir. Mendapati pertanyaan tersebut, aku pun hanya bisa terdiam.

“Kamu mau mendengarkan cerita Bapak tidak?” Ucap Bapak tiba-tiba, mengisi kekosongan pertanyaan yang belum sempat kujawab.

“Cerita apa Pak?” Jawabku penasaran sekaligus mengingatkanku pada masa-masa kecil dulu ketika Bapak masih sering bercerita.

“Tahun depan adikmu Nita sudah mulai masuk SMA. Bapakmu sudah tidak bekerja lagi sekarang, ibumu juga masih seperti itu-itu saja. Sawah kita harus sudah ditanami kembali, Mat. Sayang kalau cuma ditumbuhi alang-alang dan rumput gelagah saja. Kamu anak laki-laki bapak satu-satunya kalau bukan kamu siapa lagi yang mau ngurus sawah kita.” Seperti biasanya bapak bercerita panjang dan lebar.

“Kamu selesai kuliahnya kapan? Pulangnya kapan?” Ujarnya memberikan kesimpulan dari akhir ceritanya.

“Iya, nanti Pak didoakan saja.”

“Bapak tidak minta apa-apa sama kamu, Mat. Bapak cuma pengen kamu lulus tahun ini, sudah itu tok. Kamu bisa mewujudkan keinginan Bapak kan Mat?”

“InsyaAlah Pak doakan saja.”

“Oh ya, Mat. Kamu masih ingat Cak Aziz, Ndak?”

“Aziz?” Aku berusaha keras mengingat nama itu. Sebuah nama yang kedengarannya tidak asing lagi di telinga.

“Itu lho bekas suaminya Mbak Lastri yang pegawai kecamatan, yang dulu pernah jadi sekretarisnya Wak Munandar sewaktu dia masih bekerja di kecamatan.” 

“Owalah... Cak Aziz.”

“Iya, kamu masih ingat?”

“Kenapa memangnya Pak?”

“Kemarin dia baru saja dianggkat jadi Camat.”

“Owalah ... Alhamdulilah.”

Lihat selengkapnya