Pulang Kampung

Ahmad Muzaki
Chapter #5

Peramal Bukan Pengemis

“Halo, gue Fajri,” ucap Fajri saat pertama kali kuperkenalkan dia dengan sosok gadis itu. Gadis yang aku dan Fajri sama-sama tahu bahwa mencintainya sama halnya dengan harus mengorbankan banyak hal. Fajri dengan mukanya yang cengengesan bahkan langsung bisa menebak nama dari gadis yang ada di hadapannya sekarang.

“Ini pasti yang namanya Isti? Hmm ... Pantes aja temen gue jadi klepek-klepek kayak mayat hidup. Ternyata wujudnya cantik banget kayak gini.”

“Hee ! Biasa aja dong ngeliatinnya. Kayak gak pernah liat perempuan aja sih lu,” sindirku pada Fajri.

“Yang gak pernah negeliat perempuan itu sape? Ngaca bos..!” Kutahu Fajri akan berkata seperti itu, kubalas dia dengan senyum getir. Saking asyiknya aku sampai lupa mengenalkan Isti pada sosok laki-laki yang sudah kubawa kali ini.

“Oh ya, Ti. Ini Fajri teman satu kosan yang pernah aku ceritakan ke kamu waktu itu.”

“Hai..! Aku Isti,” Isti menyahut ramah. Tak lupa ia lambaikan tangan kananya pada Fajri pertanda disambutnya perkenalan itu dengan baik.

“Pasti lu udah ketularan virusnya si kutu kupret ini kan? Udah, jangan kaku-kaku amat. Pake gue lu aja. Sama-sama orang Jakarta ini kan?” sahut Fajri.

“Eiitss ... Sorry gue orang Bekasi,” ucap Isti malayangkan sebuah penolakan.

Sampai sekarang aku sendiri masih tak mengerti mengapa orang Bekasi selalu tidak mau disebut sebagai orang Jakarta. Meskipun bukan satu wilayah administrasi, tapi secara psikologis dan sejarah kota mereka itu hampir sama. Sama-sama menggunakan dialek yang sama, memiliki latar belakang sejarah dan budaya yang hampir sama, juga sama-sama mempunyai darah betawi yang sangat khas. Namun, tetap saja keduanya menolak untuk disamakan.

“Nah, begitu kan lebih asyik. Lebih santai,” Fajri kembali berucap.

Benar kata Fajri, setelah itu memang suasana jadi agak santai. Mereka berdua jadi lebih mudah akrab. Setidaknya satu potret tentang Ibukota dan orang-orang yang tinggal di dalamya dapat tercermin dari mereka berdua. Benar bahwa orang Jakarta itu ramah dan mudah akrab dengan orang lain, sesama orang betawi apalagi.

“Eh, tapi kalau sama Mas mu jangan pake lu gue lho,” lanjut Fajri nyerocos.

“Kenapa emangnya?” Tanya Isti dengan muka serius.

“Kan dia belum fasih ngomong gue.”

“Wahh, itu mah sampai sekarang kayaknya,” Isti spontan menjawab dengan suara yang agak kencang.

“Serius sampe sekarang belum fasih juga?” Fajri berpura-pura bertanya dan kemudian Isti mengangguk-anggukan kepalanya pelan.

“Enak aje. Sekarang gue udah bisa ngomong pake gue lu tau.” Akhirnya aku paksakan juga mengucap kata ‘gue’ meski dengan huruf g yang terlampau tebal yang membuat kedua orang yang mengaku anak betawi aseli itu tertawa geli mendengarnya.

“Kalau makan mie yamin sudah bisa pakai sumpit belum?” Fajri makin bertanya usil.

“Nah, itu masih belajar,” ucapku menimpali.

“Hahahahah, parah sih asli.” Kedua orang betawi aseli itupun kembali tertawa.

“Udah ah, becanda mulu jadi laper. Oh ya, ngomong-ngomong kalian mau pesan rasa apa nih?” Gilirian Isti sekarang angkat bicara.

“Gue cokelat keju aja, Ti. Satu porsi.” Fajri yang pertama memesan.

“Setengah matang apa matang?”

“Setengah matang aja.”

“Oke."

"Mas kita mau pesan yang rasa apa?” Tanya Isti padaku sekarang.

“Terserah kamu aja, yang penting makanya berdua sama kamu.” Sahutku menimpali. Beberapa saat kemudian pelayan warung makan itu pun datang mengambil buku daftar menu yang sudah diletakkan di atas meja.

“Mbak ... “ panggil Isti pada salah satu pelayan.

“Cokelat keju setengah mateng satu porsi, sama cokelat susu setengah matang satu loyang ya.”

Setelah beberapa malam sebelumnya aku gagal mempertemukan Isti dan Fajri, pada malam hari ini akhirnya aku berhasil mempertemukan dua makluk yang jadwal kegiatannya sangat sukar dipertemukan itu. Aku akhirnya tahu bagiamana membuat satu pertemuan yang tidak akan bisa mereka tolak. Ya, Pancong. Kue yang terbuat dari adonan tepung sagu yang diberi vanilly ini tidak pernah membuat kecewa setiap bocah yang mengaku pernah dibesarkan dan tumbuh di kota Jakarta itu untuk datang.

Begitu juga dengan mereka berdua, ketika kutawarkan sebuah menu dan merujuk salah satu warung penyedia kue pancong legendaris, dengan tanpa hambatan mereka langsung mejawab setuju dan rela menggeser jadwal masing-masing untuk diadakan sebuah pertemuan. Dan aku tahu di mana tempat makan kue pancong yang enak. Itu di sebuah tempat makan pancong legendaris di daerah Cipinang dekat Flyover Klender. Aku yakin semua pecinta pancong pasti mengenalnya. Apalagi letaknya persis di pinggir Jalan I Gusti Ngurah Raih yang sudah sangat tekenal macetnya itu. Aku dan Isti sudah beberapa kali pernah ke sana, dengan Fajri apalagi. Namun, dengan mereka bedua baru pertama kali inilah kami bisa berkunjung kesana.

“Eh, gue punya tebak-tebakan.” Fajri mencoba memecah keheningan selepas pelayan pergi meningalkan meja makan.

“Apaan?” Tanya Isti.

“Sampe garing[1] gue sumpahin lu jomblo seumur hidup,” kataku kesal karena kutahu becandaan Fajri pasti tidak lucu, cenderung garing bahkan mengesalkan.

“Eh, jangan dong.”

“Cepet ! Buruan gue laper !” Jawabku bengis.

“Oke. Oke.. Hantu-hantu apa yang enak?”

“Pancong !!! ” Teriak aku dan Isti dengan kompak.

 “Kok kalian tahu sih?” Jawab Fajri setengah manyun.

 “Jri, Fajri. Lu nyari bahan lawakan jangan yang kontekstual banget apa? Ya mudah ditebak kan jadinya.”

“Hahahahah, ketahuan banget ya,” ujarnya ikut tertawa.

Semua yang hadir di meja itupun tertawa, tapi gelak tawa itu tidak bisa berlangsung lama karena sebelum kami puas menertawakan lawakan Fajri yang lagi-lagi gak lucu, seseorang telah datang dan menghampiri meja makan kami.

Lihat selengkapnya