Pulang Kampung

Ahmad Muzaki
Chapter #6

Fajri

“Pengecut !!!”

“Bego tau gak sih lu.”

“Mau lu itu sebenarnya apa sih?”

Suara laki-laki itu terdengar penggak di telinggaku. Hampir saja laki-laki berbadan tegap dengan rambut yang selalu disisir rapi ke kiri itu menghajarku karena terlalu geram dan kesal. Aroma semerbak pomade dari rambutya sangat melekat di hidung karena beberapa kali ia mengambil jarak yang cukup dekat denganku untuk menginterogasi. Beberapa kata makian seperti bego, anjing, tolol, dan kata-kata makian khas miliknya sukses meluncur deras. Ia menghujaniku dengan berbagai makian, sebab menurutnya aku telah melakukan satu tindakan bodoh yang bahkan tuhan pun akan enggan untuk memaklumi.

Laki-laki itu bernama Fajri, teman satu kamar dan juga sekaligus anak dari pemilik kontrakan yang aku tinggali sekarang. Dia adalah teman satu kampus denganku, namun berbeda fakultas dan juga prodi. Tuhan kemudian mempertemukan kami dalam satu rumah yang sama, bahkan Fajri kemudian malah menyuruhku untuk tinggal di rumahnya saja tanpa membayar. Ada satu bagian dari rumah kontrakan itu yang kemudian kami sulap jadi tempat tidur dan sekaligus kamar kerja kami berdua. Di ruangan seluas 5x4 meter persegi itu kami menghabiskan banyak waktu, beradu pendapat, bercerita tentang banyak hal, atau bahkan berkelahi seperti sekarang ini.

“Hubungan gue dan Isti udah gak bisa diteruskan lagi, Jri,” jawabku berterus terang.

“Gak bisa kenapa?” Fajri membalas ngotot. 

Setelah melalui proses pemikiran yang panjang, akhirnya malam itu aku putuskan untuk bercerita kepada Fajri perihal keraguan dan kegelisahanku tentang rencana pernikahanku dengan Isti. Sebenarnya aku sudah menduga akan mendapat jawaban yang seperti tadi. Terlepas dari sifatnya yang keras kepala dan banggor. Fajri adalah saksi perjalanan cintaku dan Isti.

Dialah orang pertama yang memantapkan niatku untuk membuka hati untuk orang Jakarta, melupakan sejenak prinsip jadul yang selama ini aku pegang teguh. Lebih dari itu Fajri adalah orang di balik aksi-aksi romantik yang aku persembahkan untuk Isti di saat masa-masa sulit dulu. Dia mengetahui benar perihal pasang surut perjalanan cinta kami dari awal bertemu sampai akan dibicarakannya rencana pernikahan kami beberapa minggu yang lalu. Jadi aku pikir sanggat wajar baginya untuk marah setelah beberapa proses panjang dan tak mudah itu turut ia ketahui juga.

“Semua itu hanya akan sia-sia dan percuma saja, Jri,” jawabku membela diri.

“Apanya yang percuma?” Kali ini nada bicaranya mulai naik.

“Kalau gue jadi menikahi Isti, gue gak bisa bawa dia pulang ke kampung halaman gue. Dia anak tunggal dan gue gak mau memisahkan dia dengan orang tuanya hanya karena dia ikut dengan gue pulang kampung.”

Fajri menarik nafas panjang. Sekarang barulah ia tahu akar permasalahan yang dari tadi jadi bahan perdebatan kami. Dengan sisa-sisa tenaga yang masih ia miliki kemudian ia mulai kembali bicara.

“Jadi setelah lu udah melangkah jauh ke depan dan membuka hati lu buat orang aseli Jakarta, bahkan hampir mau menikah dengan dia, lu masih aja membahas masalah lama kayak gini?”

“Tapi memang kenyataanya gue gak akan bisa lebih lama menjalin hubungan dengan Isti. Gue gak bisa tinggal selamanya di Jakarta. Lu juga tau kan belakangan ini bapak gue maksa-maksa gue buat lulus dan pulang kembali ke kampung. Cepat atau lambat hal itu bakal terjadi, Jri.”

“Ya, lu tinggal bawa aja Isti pulang ke kampung halaman lu dan tinggal di sana. Selesai kan masalahnya. Lu gak harus membatalkan rencana pernikahan lu dengan Isti.”

“Tidak semudah itu, Jri. Pertama dia itu anak tunggal. Gue yakin kedua orang tuanya tidak akan setuju kalau Isti gue bawa pulang ke rumah gue. Dan kedua, pun seandainya orang tuanya setuju dan ikhlas Isti gue bawa pulang ke kampung, gue gak akan tega memisahkan Isti dari orang tuanya. “

“Berarti lu yang harus ikhlas untuk tinggal dan menetap di Jakarta.”

Lihat selengkapnya