“Baju wisuda sudah?”
“Sudah, Bu.”
“Baju batik buat foto keluarga sudah dibawa?”
“Sudah.”
“Kamera?”
“Selalu sedia dalam tas kok,” ujarku sekali lagi.
Pagi ini ibu kembali berkoar cerewet seperti biasanya, memastikan semuanya benar-benar terbawa dan tidak ada yang tetinggal. Ibu paling tidak suka ada yang tertinggal. Ibu adalah orang paling teliti dan terperinci. Ia hafal betul letak semua perabotan rumah beserta isinya. Dulu saat SMA aku sering merepotkannya dengan menanyakan letak dasi, kaos kaki, dan ikat pinggang yang mendadak sukar dicari saat hari senin tiba. Anehnya, ketika ibu yang mencarinya barang-barang tersebut selalu berhasil diketemukan. Kalau sudah seperti itu aku akan dapat bonus cacian, “Makannya cari itu pakai mata jangan pakai dengkul.”
“Dompet, uang parkir ...,” ibu melanjutkan untuk mengecek barang-barang yang harus kubawa pagi itu.
“Iya sudah semua,” jawabku.
“Nanti habis acara wisuda langsung pulang aja biar gak kena macet.”
“Iya, Bu.” Sekali lagi aku hanya bisa menurut.
Pagi setengah buta Jiexpo[1] ternyata sudah dipenuhi dengan tukang bunga dan boneka wisuda. Kami berangkat sudah sangat pagi, tapi rupanya para penjual bunga dan boneka wisauda di sana berangkat jauh lebih pagi dari kami. Sengaja aku pilih waktu paling pagi untuk menghindari kemacetan Jakarta. Prosesi wisuda baru dimulai pukul 8 nanti, tapi sudah banyak wisudawan dan orang tua mereka yang sudah mulai berdatangan.
Meskipun terlampau pagi, tapi panitia acara tidak menolak kedatangan kami dan tetap memperbolehkan kami masuk ruangan wisuda. Setelah membubuhkan tanda tangan untuk absensi dan mengambil sebungkus kotak kudapan, kami sekeluarga dipisahkan. Aku duduk di kursi yang telah di beri nomor, dan keluargaku duduk di bangku yang sudah disiapkan di atas balkon.
Sebagai pembuka Pak Rektor memberikan pidato sambutannya pada kami. Tapi aku tidak telalu fokus mendengarkanya, aku lebih memfokuskan pandangan mataku ke arah tempat duduk keluargaku di belakang sana. Melihat tumpah ruah manusia yang hadir di ruangan itu rasanya takut juga jika mereka kesasar. Tidak lucu jika harus ke tempat pengaduan barang tenuan dan mengumumkan bahwa orang tuaku hilang saat wisuda.
Setelah acara prosesesi wisuda selesai, ternyata sudah banyak orang yang menungguku di depan gedung. Mereka ternyata berkumpul di salah satu titik dari gedung itu untuk memberikan selamat padaku dan teman-teman yang lain yang sudah selesai diwisuda. Mereka membawakan seikiat bunga, cokelat, bingkisan kado, bahkan ada yang mencetak besar-besar sebuah banner ucapan selamat lengkap dengan foto kami para wisudawan beserta gelar sarjana yang baru saja kami dapatkan. Kebanyakan dari mereka adalah rekan satu komonitas teater di kampusku. Beberapa adik tingkat yang kukenal juga turut hadir. Tak ketinggalan teman-teman satu kantor di Road Tv. Mereka semua memelukku erat-erat, menyalamiku, dan berkali-kali memberikan ucapan selamat.
Dari ribuan kepala dan pasang mata yang datang ke sana. Aku hanya ingin memfokuskan padangan mataku untuk mencari satu orang. Satu orang yang pagi ini harusnya datang. Orang yang harusnya memelukku paling erat dan menyalami tangganku dengan gengaman paling kuat yang pernah ia bisa lakukan. Satu sosok yang harusnya jadi orang paling bahagia setelah keluargaku hari ini. Fajri, aku tahu dia belakangan ini kecewa denganku dan aku sendiri tak banyak berharap dia akan datang. Apalah artinya satu hari kebahagiaan dibandingkan dengan kenangan dan kebersamaan kami yang sudah kami ukir selama lima tahun terakhir. Namun, tak dapat dipungkiri, hatiku getir dan sesak sendiri mendapati sampai detik ini Fajri tak kunjung datang. Haruskah pertemanan kami berakhir seperti ini?
“Ah, paling sebentar lagi dia akan datang.” Kuhibur diri sendiri yang kacau dengan beberapa pertanyaan bodoh.
“Nunggu siapa lagi, Mat? Masih ada yang ditunggu?” Tanya bapak ketika melihatku yang nampak gelisah dan beridiri terlalu lama menunggu seseorang.
“Ah, tidak Pak.”
“Kalau masih ada temanmu yang mau datang ndak apa-apa. Bapak sama ibu nunggu di masjid saja ya, sekalian sholat ashar.”
“Oh begitu. Ya udah ndak apa-apa Pak.”
Nyatanya sampai Jiexpo hampir ditelan gelapnya malam, Fajri tak kunjung menunjukkan batang hidungnya. Setitik air mata hampir jatuh dari kelopaknya. Air mata yang sama pernah jatuh ketika dokter memfonis bapak harus istirahat total dan berhenti bekerja. Mungkin juga rasa sakit yang sama saat aku harus membatalkan rencana pernikahanku dengan Isti beberapa minggu yang lalu hanya karena permasalahan yang sebenarnya dapat dicari titik temunya.
Di tengah penantian panjangku untuk Fajri, akhirnya muncul sesosok yang ku kenal. Dia datang berdua dengan temannya. Tidak kusangka dia yang akan datang. Seorang dengan cokelat dan buket bunga di tangannya. Dia ternyata Isti. Ia ternyata datang tepat seperti janjinya satu tahun yang lalu saat aku juga menyempatkan datang ke wisudanya. Dia saat itu berjanji juga akan datang jika kelak aku lulus dan diwisuda. Tak kusangkah ternyata hari ini ia menepati janjinya. Aku tidak tahu ia dapat kabar dari mana tentang kelulusanku. Kami sudah jarang bermomunikasi lagi setelah pernikahan kami dibatalkan.
“Selamat ya, Mat,” ucapnya manis membuka perjumpaan.
“Oh, ya. Terima kasih ya Ti," jawabku segera, menutupi rasa canggung.
“Sama siapa?’ Ucapku yang kini semakin cangung.
“Sama teman, kebetulan ada teman dari UNJ yang juga diwisuda hari ini. Dari Fakultas Ilmu Pendidikan.”
“Oh ...,” jawabku masih tidak bisa menghilangkan rasa gugup yang ada.
“Orang tua kamu mana?” Isti mempertanyakan kehadiaran dua orang yang umumnya wajib hadir dalam sebuah acara kelulusan.
“Oh, iya ada kok. Mau aku panggilkan?”
“Eh, gak usah. Aku cuma sebentar kok,” ucap Isti yang kemudian disusul dengan perginya teman Isti. Ia mengaku ada urusan sebentar. Maka seperti yang sudah bisa ditebak, latar hanya menyisahkan kami berdua. Jiexspo yang sudah mulai lengang kembali penuh dan sesak dengan memori dan kenangan yang coba kami sembuyikan.
Kepalang tanggung, Isti sudah datang dihadapanku sekarang. Membiarkannya pergi begitu saja tentu bukan hal yang baik, tapi aku juga tak berhak untuk menahannya lebih lama. Jelas aku juga dapat merasakan bahwa ia juga sedang berusaha mengulur waktu untuk bertahan lebih lama, saling memandang tanpa bersuara. Karena hanya itulah yang dapat kami berdua lakukan sekarang.
“Duduk dulu Ti?” Akhinya hanya kata itu yang bisa terucap. “Sekali lagi terima kasih ya, Ti. Kamu sudah menyempatkan datang,” sambungku.
“Ya, kan tadi juga sudah bilang.”
“Kamu emang gak pernah berubah ya, Ti,” ucapku. Mendengar kalimat itu ia hanya tersenyum kecil.
“Om Ridwan sama Tante Anis gimana kabarnya?” Ujarku kini berganti topik.
“Baik, Alhamdulilah baik.”
“Om masih suka martabak bangka?”