Hujan bulan Desember di Rawamangun merupakan sebuah keistimewaan tersendiri. Seperti yang dikatakan Isti, Rawamangun sunyi dan teduh seusai hujan. Sepercik kedamaian seperti telah dengan sengaja diturunkan bersama rintik air hujan yang membasahi bumi. Ini adalah momen terlama aku berdiam diri menikmati suasana setelah hujan. Tepat di bawa pohon beringin samping trotoar yang baru saja dibangun dan diberi bangku panjang itu, aku duduk mematung dan memandangi langit yang masih basah. Tentu hari itu aku tidak hanya iseng datang ke Rawamangun untuk hujan-hujanan. Siang itu aku sudah membuat janji dengan Fajri. Setelah mengurus ini dan itu, meminta surat ini dan itu, dan setelah membuat banyak pertimbangan akhirnya aku putuskan untuk menemui Fajri di hari terakhirku di Jakarta.
“Jri, Gue tunggu di tempat biasa ya,” tulisku dalam sebuah pesan pendek pada Fajri.
Fajri belum membalas, tapi berdasarkan kesepakatan yang sudah kami buat kemarin, ia akan mengusahakan datang menemuiku setelah jam pulang mengajar di sekolah. Itu juga kalau tidak ada jam mengajar kelas tambahan. Tapi kemudian kukatakan kepadanya bahwa aku sangat berharap ia bisa menyempatkan datang. Fajri mengiyakan namun tak bisa berjanji, tapi aku percaya bahwa kali ini dia pasti akan datang.
Beberapa minggu ini aku sudah tidak tinggal di kontrakan rumah Fajri lagi. Agak sedih juga sebenarnya, bagaimanapun juga sudah genap lima tahun aku tinggal di sana. Sudah terlalu banyak kenangan manis, pahit, dan getir yang aku alami di tempat itu. Selepas pertengkaran hebat kami beberapa waktu lalu, Fajri memutuskan untuk tidak pernah menjenggukku lagi di kamar kami, di rumah kontrakan belakang. Dia lebih memilih tidur dan makan di rumahnya sendiri yang berada tidak jauh dari kamar kontrakan. Beberapa barang dan bajunya masih ada di sana, tapi jiwa dan hatinya sudah tidak ada. Beberapa kali aku mencoba menegur tapi tak ada jawaban, niat baikku untuk menyambung silaturahmi pun juga diacuhkan. Aku tahu dia sangat marah saat itu, dan itu mungkin sedikit wajar. Tapi semakin lama kami berdua jadi semakin asing. Tidak ingin berlaraut-larut dalam suasana yang tidak mengenakkan itu, beberapa minggu yang lalu aku putuskan untuk pindah kosan di daerah Cempaka Putih. Aku memilih tempat itu karena lokasinya yang dekat dengan kampus sehingga mobilitasku jadi lebih mudah, terlebih saat itu aku harus bolak-balik kampus mengurus pemberkasan wisudah.
Hari ini adalah hari terakhirku di Jakarta. Aku tidak ingin meningalkan kota ini dengan seberkas luka yang belum selesai. Ada sisa waktu beberapa menit sebelum jam pulang mengajar Fajri tiba. Aku bisa sedikit melihat-lihat pemandangan di sekitar komplek permakaman Jayakarta, tempat saat aku duduk menunggu Fajri sekarang. Tempat yang oleh Isti katanya mampu memancarkan kekuatan magis yang membuat siapa saja di dekatnya dapat merasakan teduh yang berbeda.
Jelas dapat kurasakan sapuan angin membelai lembut, membuat ujung rambutku bergetar. Sehelai daun bambu jatuh melayang dengan momentum yang berhasil ia ciptakan sendiri. Ia bergerak pelan seakan tak peduli dengan waktu yang terus membututinya dari belakang. Angin sedemikian lembut membuatnya semakin melayang-layang pelan di udara, seakan memberikan kesempatan pada semut rangrang yang berada di bawahnya untuk menghindar agar tidak tertimpah daun bambu itu – yang tentu saja akan membuat satu rombongan semut itu mati terlindas. Aku tersenyum mengingatnya. Di alam batas sadar sana kubayangkan Isti sedang bersorak girang bahwa pendapatnya tentang Rawamangun tak dapat diragukan lagi. Baru kuinsyaf kenapa dulu Isti begitu sangat menginginkan punya rumah di kawasan ini.
“Ada apa lu mau ketemu sama gue?” Sontak aku terkejut tak kalah laki-laki itu sekarang sudah berdiri gagah di hadapanku.
Dari bawah dapat kulihat kilatan pantofelnya yang baru disemir. Kulanjutkan pandangan matakuku ke atas. Kudapati sebuah wajah dingin yang sangat jelas kukenal. Fajri akhirnya datang juga.
“Masih perlu sama gue lu di sini?” Ucap sekali lagi laki-laki itu. Aku yang dari tadi mendengar ocehannya tak kuasa menahan diri untuk bangkit dan membalas sedikit celotehannya.
“Bisa gak kita ngobrolnya sedikit santai. Kalau lu gak ikhlas datang ke sini, lebih baik lu pulang. Dengan begitu gue bisa ngelakuin kegiatan yang lebih bermanfaat ketimbang harus ngabisin jam-jam terakhir gue di sini dengan perdebatan yang gak guna kayak gini.” Mendengar kata ‘hari terakhir’ itu membuat rona wajah Fajri seketika berubah. Setidaknya ia mulai sedikit menurunkan tempo dan nada bicaranya.
“Jadi kapan lu balik ke Jawa?” Ujarnya sekarang.
“Nanti habis dzhuhur.”
“Naik kereta?”
“Pesawat,” jawabku singkat.
“Uang tiketnya sudah ada?”
“Berapa harganya?”
“Udah beli?”
“Dari Soekarno Hatta, atau Halim?”
“Ke bandara naik apa?”
Cerocos Fajri tak ada hentinya. Sepersekian detik sebelum ia memulai kembali kalimat berikutnya, aku sudah terlebih dahulu menyelah dengan satu kalimat menohok.
“Jri, bisa gak kita langsung ngomong ke intinya saja. Gue dua jam lagi harus nyampe Seota dan lu nanya pertanyaan gak penting kayak gitu,” gumamku. Aku sebal dengan basa-basi Fajri yang sebenarnya tidak perlu. Aku jadi sedikit mengigit bibir. Tak seharusnya aku berkata seperti itu padanya. Tenyata cukup sulit mengendalikan diri sendiri di ambang batas waktu yang tersisia kini.
“Sorry, Jri. Bukan gitu maksud gue tadi. Tapi lu tau kan gue gak punya banyak waktu” ucapku menimpali, takut Fajri tersingung. Laki-laki itu tersentak hebat, ia mengambil napas dalam-dalam dan mencoba untuk tetap tenang.
“Iya, gue paham. Jadi apa yang lu mau dari gue?” Ujarnya. Semua perhatiannya kini tertuju padaku. Giliranku yang mengambil alih keadaan sekarang.
“Intinya kedatangan gue kemari nemuin lu Fajri Rudiansyah, di sisa-sisa waktu terakhir gue di sini, gue cuma mau bilang terima kasih yang sebesar-besarnya karena lu udah mau jadi sahabat gue selama lima tahun terakhir di Jakarta. Serius gue berutang budi banyak banget sama lu dan sama Emak, terutama kalau saat gue lagi gak punya duit dan hari itu saatnya gue harus banyar uang sewa kosant.”
“Sialan lu," ujar Fajri kini sudah mulai bisa diajak bergurau.
“Iya bener. Gue sebenernya binggung harus ngomong apa lagi di sisa-sisa waktu ini buat lu. Yang jelas gue sangat beterima kasih dan bersyukur banget bisa ketemu dan punya sahabat kayak lu. Satu hal lagi gue minta maaf, enggak seharusnya gue waktu itu berpikiran kayak gitu sama lu, tapi jujur gue seneng waktu itu lu marah. Itu tandanya lu memang peduli sama gue. Gak seperti gue yang cuma peduli sama diri gue sendiri. Sekali lagi gue minta maaf, ya Jri.”
“Ya udahlah Mat, kita saling memafkan aja ya. Kalau gue juga punya salah sama lu gue juga minta maaf. Gue selalu doakan yang terbaik buat lu kok,” ujarnya.
“Oh, ya gue juga minta maaf, gue gak bisa datang ke wisuda lu waktu itu. Sumpah, gue udah mau niat datang. Cuma mendadak kepala sekolah bilang ada rapat untuk pembuatan kurikulum sekolah yang baru dan gue gak bisa izin soal itu,” sambung Fajri menyesal.
“Iya, enggak apa-apa,” jawabku mencoba mengerti.
“Jadi sekarang kita baikkan nih?” Fajri menimpali.
“Emang kita pernah musuhan, ya?” tanyaku.
“Hmmm ... hampir sih.”