Pulang Kampung

Ahmad Muzaki
Chapter #9

Pulang Kampung

Perjalanan udara dari Jakarta ke Surabaya memakan waktu hampir 2 jam. Perjalanan yang terlampau singkat dibandingkan dengan naik kereta api yang harus memakan waktu sepuluh jam lebih lama. Belum juga ponsel yang sedang kucharge menunjukkan gejala penuh, tapi suara co pilot sudah memberitahukan bahwa pesawat yang kami tumpangi telah mendarat dengan selamat di Bandara Juanda.

Sesuai petunjuk yang sudah kudapatkan dari internet untuk bisa sampai ke Kedung Kelut aku bisa memilih menaiki Bus antar kota atau kereta api sebagai sarana alternatif. Naik bus kota dari bandara sangat memakan waktu, aku harus transit terminal dua kali agar bisa sampai rumah. Dengan kereta api akan lebih lama lagi, pasalnya kereta baru diizinkan berangkat nanti pukul lima sore. Dengan berbagai pertimbangan, akhirnya aku memutuskan untuk naik Bus Damri saja. Keluar dari Bandara mataku langsung tertuju pada Bus biru muda yang sudah stanby menunggu hampir setiap jam di pintu keluar bandara.

Sampai di Bungurasih ternyata aku harus berganti naik bus antar kota. Deru suara mesin yang sedang dinyalakan bercampur dengan suara kenek yang berteriak-teriak mencari penumpang mulai terdengar. Suaranya jadi tambah tidak karuan tak kalah pedagang asongan yang menjajalkan kacang asing dan minuman dingin itu berteriak keras tak mau kalah dengan keduanya. Suasana bus yang sungguh berbanding terbalik dengan bus yang pertama. Kupasang earphone dan kunyalakan ponselku. Kutekan tombol play pada sebuah list lagu dan kubiarkan diriku sejenak tengelam dalam lagu Sheila on 7 Berhenti berharap.

Kenapa ada derita

Bila bahagia tercipta

Kenapa ada sang hitam

Bila putih menyenangkan

Haa..haa..

Aku pulang ...

Tanpa dendam ..

Kuterima.. kekalahanku…

 

Crek ... crek ... crek bunyi beberapa uang logam yang sengaja dikecrek di depan mukaku. Awalnya aku tak peduli, namun orang itu semakin memperkeras kecrekanya sehingga membuatku terpaksa melepas earphone dan menatap matanya tanpa rasa dosa.

”Tiket ... tiket”

“Oh, ya sebentar.” Kurogo beberapa lembar uang dalam saku celana dan mengeluarkannya.

“Turun mana?”

“Terminal Bunder,” jawabku singkat.

Limolas ewu,” ujar laki-laki itu sembari mematut-matutkan ujung pulpenya pada sebuah kertas yang sudah dicorat-coretnya sendiri.

“Haaa?”

“Lima belas ribu,” ulang kenek itu dalam bahasa Indonesia, pikirnya aku tidak mengerti bahasa Jawa barangkali. Kuserahkan beberapa lembar sesuai nominal yang diminta, sementara tanganya sibuk merobek lembar kertas di sisi lain dan menyodorkanya tepat di depan mataku dengan kasar. Kembali kulirik wajah itu untuk kemudian berkata dengan sedikit sinis.

Suwon[1], Mas.” Ia hanya mengangguk.

Kembali kubenamkan diriku dalam lagu Sheila on 7 yang sudah berganti menjadi lagu Krisdayanti menghitung hari. Lampu led dalam ponselku berkedip memancarkan sinar merah, sebuah pesan peringatan muncul dilayarnya 7% remaining. Sial, terpaksa aku harus mencabut suara Krisdayanti yang sendu itu yang membuat suaranya meleking karena harus bergesekan dengan ujung earphone yang dicopot dengan paksa. Pasalnya aku harus menghemat baterai atau aku akan kesusahan selepas turun dari bus karena harus tertatih-tatih mencari bapak dengan kondisi ponsel yang mati.

Terpaksa aku hanya bisa menikmati sisa perjalanan dengan melihat pemandangan di luar jendela dengan sedikit bosan dan menguap. Tidak beberapa lama kemudian terdengar kembali suara kenek yang berteriak-teriak, “Bunder ... Bunder ... Terminal Bunder,” sengaja matanya mengarah kepadaku karena hanya akulah penumpang yang menurutnya akan mengakhiri perjalanan di tempat itu. Kukemasi tas dan koperku kemudian bergegas turun.

Perkiraanku salah, tanpa aku harus tertatih-tatih mencari bapak. Bapak sudah beridiri gagah di samping motor Supra bututnya lengkap dengan membawa dua helm. Kudapati beberapa buntelan kantong plastik merah besar mengantung di stang motornya. Setelah setengah perjalanan sebelum sampai rumah baru kuingat akan eksistensi kantong plastik yang dibawa bapak. Maka akhinya kuberanikan bertanya juga.

“Apaan ini Pak?”

“Titipan ibumu.”

“Ada acara apaan emang?” Tanyaku kembali.

“Nanti kau juga akan tahu.” Aku jadi merasa menyesal menyanyakan hal itu. Setelahnya aku betekad tak mau bertanya lagi sampai kami tiba rumah.

Sampai di rumah aku disambut dengan bunyi sutil yang beradu hantam dengan wajan yang telah dipanaskan. Sepertinya keduanya sepakat untuk meraung-raung dan membunyikan suara sreng-sreng yang mengigatkanku pada tukang nasi goreng di dekat kosan. Beberapa tukang nasi goreng sengaja mengoreng nasinya dengan sedikit lebih atraktif sehinga bunyi wajannya terlampau berlebihan.

Suara itu berasal dari dapur, ya aku bisa merasakan dengan jelas seiring dengan terciumnya bau harum rempah-rempah dan bumbu-bumbu yang digoreng halus membututinya.

“Assalamualaikumm ...,” ucapku memberi salam.

“Waalaikum salam. Eh, sudah sampai,” ucap ibu sembari masih melakukan aktivitas yang dikenal dengan sebutan menggongseng[2] bumbu itu. Aku mencium tanganya dengan sedikit bertanya.

“Ada acara apaan bu?”

“Cuma syukuran kecil-kecilan saja.”

“Buat apa?”

“Lha kok buat apa sih? Kamu kan baru saja pulang dari Jakarta, ya semacam acara penyambutan di rumah gitu lah.”

“Tau nih, Mas. Udah belagak jadi orang Jakarta saja sampai sudah lupa tradisi.” Nita yang bertugas mengiris bawang nyerocos sependapat dengan ibunya.

“Eh nih anak sudah makin berani aja sekarang, ya,” sahutku sambil mencoel pipinya yang makin tembem saja. 

“Mending kalau gak bantuin gak usah ganggu deh,” Nita kembali menimpali, kali berbarengan dengan suara bawang digeprek di atas talenan.

“Nah, tuh bener adikmu. Sudah sana istirahat saja,” ibu menambahkan.

“Iya... iya,” jawabku tidak mau memperpanjang masalah. Lagi pula aku memang butuh istirahat.

“Nanti malam jam 7 jangan kemana-mana!” Ibu memberitahu sekaligus memerintah. 

“Iya,“ jawabku pasrah. Kubanting pintu kamar dan kukunci rapat-rapat. Rangsel berat yang dari tadi membuat punggungku ngilu itu kini kulempar ke atas ranjang. Kurebahkan diriku dalam kamar yang sudah berbulan-bulan tak berpenghuni. Langsung ku meloncat ke atas ranjang dan kupejamkan mataku sesuai perintah.

v  

 

Aku baru terbangun ketika hari hampir magrib. Bau bumbu yang memenuhi seluruh sudut rumahku tadi siang kini berubah menjadi makanan yang enak-enak. Aku sendiri tidak mengerti dengan makna kata kecil-kecilan yang dikatakan ibu tadi siang. Di dapur yang tidak seberapa luas itu satu persatu makanan dijejer dan digelar. Satu loyang penuh berisi ayam panggang yang masih utuh lengkap dengan bumbu dan lalapanya, menjadi yang paling menonjol di antara yang lainnya. Di sampingnya satu mangkok besar berisi kecamba, labuh siam, potongan tempe, tahu, cecek[3] serta irisan telur. Mereka bersama-sama timbul tengelam dalam kuah berwarna kuning kemerahan yang berlinang-linang karena terkena sinar lampu malam. Potongan daging sebesar ibu jari yang sudah ditusuk dan dibakar serta diberi bumbu kacang itu semakin memperparah keadaan. Tidak lupa satu bakul penuh nasi yang masih mengepulkan asap panas lengkap dengan lontong bagi mereka yang tak suka mengunyah nasi.

Ada yang lebih menarik perhatianku ketimbang berjejer makanan yang tersaji di sana, yaitu tangan muda yang terampil memindahkan dan menata piring-piring makanan tadi. Dia nampak sibuk di dapur sama seperti ibuku dan yang lainnya. Tadi siang saat aku datang, seingatku aku belum melihat sosok gadis itu. Beberapa kali ia terlihat mondar mandir membawa toples garam dan sendok, menaburkan sedikit bubuk asin itu di setiap makanan yang dirasanya kurang asin, mencicipinya dan kemudian kembali mondar-mandir tak jelas. Dari beberapa perkataannya yang dapat aku tangkap, dapat kusimpulkan bahwa ia begitu akrab dengan ibuku.

“Ini diletakkan di mana bu?” 

“Sudah pas belum rasanya?”

“Mau ditambahkan garam lagi?”

Mereka terlihat sangat akrab, anehnya ibu tidak menolak untuk dipanggil 'ibu' oleh perempuan muda itu. Adakah satu rahasia yang belum aku ketahui tentang keluarga ini. Jangan-jangan dia adalah anak ibu juga. Ibu sengaja merahasiakannya karena sebenarnya gadis itu adalah anak dari bekas suaminya dulu. Dan kemudian hari ini tepat saat hari kepulanganku, hari dimana aku sudah dianggap dewasa oleh ibu, ia akan memberitahukan semuanya dengan sebuah acara berkedok penyambutanku di rumah. Ah, tapi itu kurasa tidak mungkin. Cerita yang seperti itu kupikir hanya ada dalam sinetron saja.

“Itu siapa, bu?” Tanyaku langsung kepada ibu ketika perempuan itu pamit pulang. 

“Siapa? yang mana?”

“Itu yang di sana.” Tunjuku pada seroang yang tinggi langsat dengan rambut tergerai sepunggung itu. Ia baru saja menghilang di balik pintu rumah setelah beberpa saat yang lalu kudengar ia berpamitan.

“Oh, nanti kamu juga akan tahu.”

“Sejak kapan datangnya?” Tanyaku lagi berhadap mendapat infomasi lebih. 

“Dari tadi sore.”

“Ngapain di sini?”

“Ya, bantu-bantu lah.”

“Memang dia siapanya ibu sih?” Akhirnya kuberanikan diri untuk menayankan masalah itu. Awalnya aku takut jika ibu merasa tersingung dengan pertanyaan ini, tapi mendengar jawaban-jawaban ibu aku jadi tak tahan untuk melontarkannya.

“Nanti kamu sendiri juga akan tahu.”

“Sudah sana mandi ! Sudah Jam 6 sore tapi belum mandi juga.”

“Ya, kan sudah terpengaruh sama jam mandi orang Jakarta, Bu,” Nita menimpali.

“Eh, awas ya tak tutuk[4] kamu !” Ancamku pada Nita yang secara tidak langsung mengagalkan rencanaku untuk bertanya pada ibu.

“Gak takut, weekkk ! “ Nita meledek sambil menyulurkan lidah sama seperti waktu kecil dulu yang sering ku ejek dengan tingkah yang sama. Dari sanalah mungkin dia meniruhnya.

Aku heran, mengapa seisi rumah mendadak jadi penuh misteri seperti ini. Setiap pertanyaanku selalu dijawab dengan “Nanti kamu sendiri akan tahu.” Seolah-olah acara nanti malam itu adalah jawaban atas semua pertanyaan yang ada dalam pikiranku. Aku jadi tidak sabar menunggu datangnya malam. Karena tidak kuat menahan rasa penasaran hingga sampai nanti malam, akhrinya aku mengubah sasaran target.

“Haduh, mana anak itu? Giliran dicari saja tidak ada,” gumamku dalam hati, mencari Nita yang tiba-tiba jadi sukar dicari. Dialah yang kubutuhkan sekarang, sedikit banyak dia pasti tau sesuatu tentang acara nanti malam dan juga mungkin perempuan misterius tadi. 

“Nah, itu dia,” ucapku sambil mempercepat langkah tuk menghampirinya.

“Eh, Elek.[5]” Orang yang dituju itu melenggos tak tahu diri. Mungin sebal karena aku memangilnya seperti itu, tapi itu adalah panggilan akrab kami kalau sedang bercanda.

“Yah, ngambek,” ujarku melihatnya manyun karena dipanggil seperti itu. Semakin bertambah usia, ia semakin tidak suka dipanggil dengan sebutan tadi. Apalagi kalau ditambahkan dengan kata-kata ejekan seperti item, dekil, bau ia akan semakin marah. Dan karena tidak suka itu aku biasanya malah lebih memperolok-oloknya. 

“Apa sih, Mas?” Jawabnya judes.

“Eh, Mas mau tanya sesuatu dong.”

“Tadi saja mengolok-olok.”

“Eh jangan gitu dong. Mas bawa buku baru tau, itu ada di koper. Dilan dari buku pertama sampai ketiga lho!” Ucapku mencoba persuasif. Mendengar judul buku itu matanya nanar memancarkan cahaya. Selama aku di Jakarta, beberapa novel yang sudah tamat kubaca biasanya aku paketkan ke rumah, dan Nita melahapnya dengan tuntas. Ia senang karena buku-buku keluaran terbaru itu tidak akan pernah ada dikoleksi perpustakaan sekolahnya.

“Iya ... iya, mau tanya apa?” 

“Eh, itu perempuan yang tadi siapa?” Tanyaku langsung tanpa membuang banyak waktu.

“Perempuan yang mana, kan banyak perempuan di rumah kita?”

“Itu yang tadi bantu-bantu di dapur.”

“Oh, yang itu. Memang Mas tidak tahu?”

“Ya, kalau Mas tau ngapain nanya kamu?”

“Jadi Mas beneran belum tahu?” Nita mempercepat nada bicaranya seaakan ia benar-benar tidak percaya atas apa yang aku ucapkan barusan.

“Tahu apa?” Jawabku.

“Dia?”

“Emang dia itu sopo?

“Emang ibu belum memberi tahu?”

“Haaaaa…!! Jadi benar dia itu anakanya ibu,” ujarku tak percaya bahwa asumsiku selama ini ternyata benar.

“Hahahaha. Mas ini ngomong apa sih? Ya bukanlah.” Nita tertawa memekik saat mendengar jawabanku.

“Terus siapa?”

“Beneran, Mas belum tahu?”

Lihat selengkapnya