“Jangan salah paham dulu! Aku datang kemari hanya mau menyampaikan pesan dari Piyah untuk kamu. Hari ini anaknya Piyah sudah lepas pusar dan nanti sore akan diadakan syukuran kecil-kecilan di rumahnya. Dia ingin kamu datang ke rumahnya, tapi kalau kamu sibuk dan tidak bisa hadir di acara tersebut juga tidak masalah, biar nanti aku yang akan sampaikan pada Piyah.”
“Aku bisa datang kok, Mas,” jawab Ayu cepat.
“Oke,” jawabku singkat.
“Tapi aku ganti baju dulu ya, Mas,” ucapnya lagi. Kemudian ia dengan secepat kilat berlari dan menghilang dari pandangan mataku, meninggalkanku sendirian di teras depan rumahnya.
Hari ini adalah kali kedua aku bertemu langsung dengan Ayu. Setelah membantu proses kelahiran bayi Piyah, nama Ayu Sasmita jadi semakin banyak disebut orang. Ayu tak lagi dikenal sebagai sosok perempuan yang lamarannya kutolak, melainkan sudah berganti sebagai sosok perempuan berjiwa mulia yang berhasil menyelamatkan nyawa seorang bayi dan ibunya. Oleh karena itu, Piyah merasa sangat berhutang budi pada Ayu. Beberapa kali Piyah memintaku agar mau menjemput Ayu datang ke rumahnya, tapi berkali-kali pula aku menolak. Setelah mendapatkan momen yang pas, akhirnya aku kabulkan permintaanya hari ini.
“Motor kamu mana Mas?” Tanya Ayu ketika sudah selesai berganti pakaian dan sudah siap untuk berangkat ke rumah Piyah.
“Aku gak bawa motor, kita jalan kaki saja! Kalau kamu gak mau jalan kaki kamu boleh bawa motor kamu, tapi aku mau tetap jalan kaki.”
“Aku jalan kaki saja sama Mas,” jawabnya.
“Ya sudah, Ayo !”
Jadilah sore itu kami jalan kaki berdua menyusuri sepanjang jalan rumah Ayu menuju rumah Piyah. Seperti yang sudah-sudah tidak terlalu banyak obrolan diantara kami. Malah terkesan lebih banyak obrolan orang-orang yang kebetulan berpapasan dengan kami. Sepanjang jalan, ada saja ibu-ibu yang sedang tertangkap basah berbisik dan memandang ke arah kami dengan tatapan mata penuh tanda tanya. Bahkan, mereka yang sudah tidak kuat menahan rasa penasaran itu pun tak sungkan-sungkan untuk menegur dan menggoda kami yang kebetulan lewat.
“Eh, ada Mbak Ayu, waduh tumben ditemani Mas Ahmat?”
“Eh, pasangan baru. Mau kemana sore-sore begini?”
“Ya, Jalan-jalan dong bu, Namanya juga pasangan baru,” yang lainnya menimpali.
“Memang ya kalau sudah mau jadi pengantin itu inginnya seperti raja dan permaisuri. Kemana-mana selalu berdua.”
“Oh, duhai senangnya pengantin baru, la la la la la..,” celetuk mereka begitu renyah lengkap dengan suara sengau, mencoba mendendangkan lagu pengantin baru milik Qosidahriah.
Kalau sudah seperti itu kami yang sama-sama tinggal di Kedung Kelut hanya bisa tersenyum ramah. Itulah kelemahan kami, oleh sebuah sistem yang bernamakan adab, orang harus dipaksa ramah dalam kondisi dan situasi apapun. Orang yang sedang berpapasan di jalan pun harus dipaksa saling menegor ramah meski hari itu suasana hatinya sedang tak ingin untuk beramah tamah. Orang-orang lebih mementingkan penilaian orang lain daripada hati dan pikiran sendiri.
Sampai di rumah Piyah suasana sudah sepi. Sudah tidak nampak rombongan ibu-ibu yang mejengguk bayi seperti tadi pagi. Aku sengaja mengajak Ayu datang di waktu orang-orang sudah pulang. Saat suasana masih ramai bukan tidak mungkin kejadian di jalan tadi akan terulang kembali.
“Eh, Ayu akhirnya datang juga kamu. Aku sudah lama sekali pengin ketemu kamu!” Ucap Piyah begitu melihat seseorang yang berhasil kubawa hari itu.
“Maaf ya Mbak. Baru sempat menjenguk,” ujar Ayu. “Haduh, cantiknya anak ini, persis seperti Ibunya. Siapa namanya?” Sambung Ayu sewaktu melihat bayi perempuan yang baru saja lepas pusarnya itu.
“Ayu.”
“Ayu Permata Sari,” ucap Piyah sekali lagi untuk melengkapi nama puterinya.
“Haduh, ternyata nama kita sama ya,” sapa Ayu pada bayi perempuan itu, sedangkan yang diajak bicara hanya memejamkan mata tak peduli atau lebih tepatnya belum bisa peduli.
“Tahu gak, Yu. Aku sengaja memberi nama anakku Ayu agar kelak besar nanti dia bisa tahu kalau orang yang sudah menolongnya lahir ke dunia ini bernama Ayu.”
“Ah, Mbak Piyah ini terlalu berlebihan. Hidup dalam bermasyarakat kan memang harus saling tolong menolong, Mbak,” ucap Ayu mencoba merendah.
“Aku memberi nama ayu juga supaya nanti anakku bisa secantik dan sebaik kamu,” Piyah menambahkan.
“Cantik apanya sih Mbak. Orang gak rupo-ropo[1] kayak gini kok di bilang cantik.”
“Gak rupo-ropo apane? Kalau gak rupo-ropo yo gak bakal jadi kembang desa seperti sekarang,” sahut Rohman yang juga kebetulan ikut hadir di sana.
“Kembang sepatu paling, Mas,” Ayu menimpali.
“Lho, kamu ini gak sadar atau gimana sih, Yu? Kamu itu cantik. Lha wong buktinya banyak laki-laki yang kepincut sama kamu kok,” sahut Piyah dengan mimiek muka dan suara yang sengaja di buat-buat. Beberapa saat kemudian ia kembali berkata tajam menyindir.
“Ya, cuma laki-laki bodoh saja yang berani nolak kamu? Bukan begitu, Mat?” Piyah bahkan sengaja mengarahkan pandangan matanya ke arahku dan melimpahkan pertanyaan itu untuk segera kujawab.
“Apanya yang benar?” Tanyaku balik.
“Kalau Ayu itu cantik,” ucap Piyah kembali menegaskan. Sejenak kemudian dapat kulihat rona pipi Ayu yang mulai memerah dan tersipuh karena telah dipuji. Jujur aku akui memang dia itu cantik. Dari caranya berbicara, berjalan, menyapa, dan semua hal yang menyangkut kata cantik itu ada pada dirinya.
“Iya, cantik,” jawabku.
“Tuh kan benar,” Piyah kembali meyakinkan Ayu.
“Cantik kok tapi disia-siakan.” Kali ini mulut Rohman terlampau tak bisa dikendalikan. Sindirian itu kini memenuhi seluruh sudut ruangan. Rohman dan Piyah nampak kompak mengejekku yang sedang mati gaya. Suaranya itu jelas dapat terdegar oleh setiap yang hadir di ruang tersebut. Atas tindakanya yang lancang itu kemudian aku mengganjarnya dengan injakan kaki yang cukup membuatnya ngilu.
“Sakit, tahu!” Bentak Rohman dengan cukup keras. Seisi ruangan pun kembali tertawa mendengar Rohman menjerit kesakitan. Kusenggol lengan tangan Rohman untuk memelankan suaranya, tapi perbuatan yang semacam itu malah justru membuat suasana jadi tambah gaduh. Mereka yang ada di ruangan itu dapat dengan jelas melihat kekonyolan kami yang menggaku sudah beranjak dewasa. Aku jadi malu sendiri.
Pulang dari rumah Piyah aku ingin mampir sebentar ke bendungan. Hal ini kuputuskan mengingat sudah beberapa minggu sejak kedatanganku di rumah, aku belum pernah menginjakkan kaki kembali di sana. Rasanya selalu ada yang kurang jika belum mampir ke bendungan. Selalu saja ada alasan yang membawaku untuk datang ke sana.
“Aku mau ke Bendungan sebentar ya, Yu.”
“Kalau begitu aku pulang duluan saja ya, Mas.”