Kedung kelut sedang dilandah musim panen kacang. Berbagai jenis kacang-kacangan dari mulai; kacang tanah, kacang kapri, kacang kedelai, kacang ijo, kacang panjang, dan kacang-kacang yang lain memenuhi hampir seluruh menu masakan yang tersaji di meja makan. Aku beruntung karena panen kali ini sudah ada di rumah, biasanya saat musim panen kacang tiba, aku tidak pernah ada di rumah karena harus sudah kembali ke Jakarta. Sejujurnya aku selalu merindukan saat-saat ini, saat dimana ibuku mengeluarkan menu andalanya tumis ‘jangan kacang’ yang sangat legendaris di keluaraga kami. Rumornya resep masakan itu telah turun temurun diwariskan. Aku paling tidak bisa menahan lapar saat mencium aroma masakan yang satu itu.
Pagi itu Ayu datang ke rumah dengan membawakan jangan1 kacang dan lodrong hasil panen di kebun belakang rumahnya. Katanya panen ini bapaknya menanam bibit kacang cukup banyak. Takut tak habis dimakan satu keluarga atau membusuk dengan percuma, Ayu kemudian memberikan ide untuk membagikannya beberapa kepada ibu. Ibu yang kebetulan pagi itu sedang memasak di dapur pun langsung menyuruh Ayu untuk masuk dan membantunya memasak. Ayu yang katanya pandai memasak ini senang saja bisa membantu.
Dengan berbagai alasan kemudian ibu pamit ingin membeli garam dan meninggalkan Ayu sendirian di dapur. Aku satu-satunya orang yang ada di rumah pagi itu, mau tidak mau harus menemani Ayu melanjutkan memasak. Ibu memberikanku berbagai alasan mengapa aku harus menemani Ayu memasak di dapur meskipun ibu jelas-jelas tahu bahwa aku tidak akan banyak membatu di sana.
“Mat, kamu temenin Ayu dulu ya ! Ibu mau beli garam sebentar,” ucap ibu. Ibu pamit pergi membeli garam yang sebenarnya tidak perlu karena aku yakin persediaan garam kami masih banyak. Ibu kemudian sedikit melempar senyum ke arahku, aku membalasnya dengan satu kedipan nakal. Dua puluh tahun lebih hidup sebagai seorang laki-laki membuatku cukup memahami kode-kode ini. Dalam hatiku berjanji, nanti kalau aku sudah punya anak dan ia kebetulan sedang mengajak pacarnya main ke rumah, aku akan keluar rumah berpura-pura membeli garam yang banyak, atau kalau perlu tidak usah kembali sekalian.
“Masak apa ini, Yu?” Tanyaku pada Ayu yang saat sedang terlihat serius memasak.
“Jangan kacang yang tadi aku bawa itu lho, Mas. Kata ibu jangannya lagsung disuruh masak aja biar gak layu. Masakan favorit kamu juga ya katanya? Wah! kalau gak enak bisa gawat ini,” ucapnya setengah mengoda.
“Kamu memang bisa masak?” Tanyaku kemudian.
“Setiap perempuan harus bisa masak, Mas. Kalau ndak bisa masak nanti suaminya mau dikasih makan apa?”
“Iya juga ya? Oh ya, Aku bisa bantu apa nih?” Tanyaku basa-basi. Awalnya Ayu terlihat bingung mendapatkan pertanyaan ini karena sejatinya memang tidak ada yang bisa kubantu saat itu, tapi kemudian tak berapa lama ia akhirnya memutuskan untuk mengambil sendok di rak dan menyendokkan beberapa sayur yang sudah matang itu untuk kucicipi.
“Ini cobain yang ini saja.” Satu sendok berisi jangan kacang yang baru saja terkena minyak goreng pada wajan itu disuapkan masuk ke dalam mulutku. Masih terasa sedikit panas, aku harus sedikit memonyongkan bibir saking panasnya.
“Kurang apa Mas?” Tanya dia setelah merasa semua makanan dalam sendok itu telah masuk ke dalam mulutku.
“Kurang dingin aja sih ini. Soalnya masih pan..nass“ Kataku yang tak bisa menahan panas. Aku sampai harus mengipasi bibirku dengan tangan sendiri karena beberapa kali bibirku terlihat mengeluarkan asap. Ayu yang mengetahui hal itu langsung cekatan mengambilkan segelas air dingin di dalam dispenser.
“Terima kasih ! Tapi ini sumpah enak banget. Persis sama kayak masakan Ibuku lho,” ucapku mencoba memuji.
“Halah, aku masih harus banyak belajar sama beliau, Mas.” Aku kembali tersenyum, membayangkan perempuan yang memasak bersamaku itu adalah Isti. Soal masak memasak kami pernah bedebat panjang tentang seroang istri yang harus bisa memasak. “Kalau kamu cari calon isteri yang bisa masak, bisa nyuci dan ngepel rumah, bisa mijitin kamu kalau sedang capek kerja mending kamu nikahin pembantu saja.” Sayangnya hampir sebagian besar laki-laki lebih memilih menikahi pembatu daripada punya isteri tukang debat.
Seperti tidak rela melihat kemesraan yang sedang terjadi, ponsel dalam kantung celanaku kembali berdering. Lagi-lagi Isti menelpon di waktu yang kurang tepat. Jempol tanganku sudah terarah pada ujung tombol paling kiri pada layar ponsel. Dengan tanpa ragu kemudian kupencet tombol merah dan matilah suara nada dering yang menyebalkan itu. Aku kini bisa kembali melanjutkkan aktivitas yang sempat terganggu. Ayu yang juga sempat mendengar nada dering panggilan terlepon itu pun akhrinya berkomentar.
“Kenapa telponya tidak dianggkat, Mas?” Tanya Ayu sembari masih terus menggoreng jangan kacang yang hampir matang.
“Tidak baik menerima telepon di dekat kompor,”jawabku mencari alasan.
“Halah ...,”
“Lho kamu tidak tahu apa? Jaringan pada hp dapat memicu gesakan di udara dan membuat gas jadi mudah terbakar. Itu makanya di pom bensin kita dilarang mengaktifkan hp,” kataku berteori.
“Nanti kangen lho,” Ayu mencoba mengoda. Aku menduga ia sudah tahu bahwa panggilan telepon tersebut dari Isti.
“Justru kalau sering-sering telponan nanti ketika sudah ketemu rasa kangennya jadi biasa-biasa saja, Yu. Percaya deh,” jawabku berkilah.
“Iya, deh percaya aja sama yang ahlinya.”
“Ahli apa?”
“Ahli kompor,” jawab Ayu kini sedikit melucu.
“Hahahaha ....” Aku tertawa, Ayu juga tertawa. Kami berdua sama-sama tertawa seakan lupa bahwa pernah ada jarak di antara kami.
“Oh ya, Bapak kamu kabarnya bagaimana, Yu?” Tanyaku mencoba pergi jauh-jauh dari topik Isti dan panggilan telepon.
“Alhamdulilah bapak sehat. Oh ya bapak kemarin menanyakan kamu, Mas. Kaatanya itu si Ahmat jadi gak nyalonin jadi sekretaris kecamatan?”
“Siapa yang bilang kalau aku bakal nyalon jadi sekretaris kecamatan?”
“Berita kalau kamu bakal nyalon jadi sekretaris kecamatan sudah menyebar ke mana-mana, lho Mas. Makannya kemarin bapak menanyakan kamu, berkas pencalonannya belum ada kok beritanya sudah menyebar kemana-mana?”
“Terus kamu jawab apa?”
“Ya, aku jawab aja tidak tahu.”