Pulang Kampung

Ahmad Muzaki
Chapter #12

Pedel Tidur

“Bagaimana Mat sudah direkap?” Tanya Cak Aziz sewaktu aku mengahampirinya untuk meminta tanda tangan beberapa surat perizinan. 

“Masih mencicil beberapa, Cak. Masih dalam proses.”

“Ada kendala tidak?”

“Sejauh ini masih belum ada, sih. Paling ada beberapa file yang sudah tidak terbaca karena tulisannya sudah luntur saja,” ucapku memberitahu.

“Oh ya, Cak. Berdasarkan rekapan data yang sudah aku buat semalam sepertinya ada sedikit yang janggal dalam laporan kegiatan yang Cak Aziz berikan pada saya.”

“Janggal bagaimana maksud kamu?” Mendengar kata janggal itu Cak Aziz yang dari tadi sibuk membubuhkan tanda tangan pada surat perizinan yang kusodorkan padanya, seketika langsung menghentikan aktivitasnya dan menatapku tajam.

“Ya, janggal saja, Cak. Ada beberapa bahkan hampir semua laporan kegiatan yang dibuat memiliki jumlah pengeluaran yang berbeda dengan yang ada dalam proposal,” ujarku dengan jelas.

Mendengar pernyataanku barusan Cak Aziz jadi agak lebih tenang sekarang, sebuah pertanda bahwa kejadian itu bukanlah perkara yang besar. Dengan kembali membubuhkan tanda tangan pada kertas di hadapannya, ia menjawab dengan santai.

“Ya, kalau perbedaannya cuma seribu atau sepuluh ribu, ya dimaklumi saja Mat. Namanya juga manusia ada keliru dan khilafnya. Keliru dalam hal menghitungnya atau khilaf terambil masuk ke dompet buat bayar kopi di warung. Selama itu tidak terlalu besar nominalnya anggap saja sebagai ongkos jalan.”

“Ada yang nominalnya sambil puluhan juta lho, Cak? Apa itu masih bisa dikatakan sebagai ongkos jalan juga?” Tanyaku makin tergelitik.

“Ya, tergantung kegiatannya apa dulu? Kalau kegiatanya besar anggaran untuk transportnya juga besar bukan?” Jawabnya semakin santai, aku jadi makin geregetan.

“Kalau aku tidak salah, kegiatan yang dananya hilang sampai puluhan juta itu ada di berkas laporan kegiatan tahun 1999-2001. Ya, aku ingat sekali karena baru tadi malam aku merekap dokumen tersebut. Proposal itu dibuat saat ada proyek pembangunan jalan poros desa dana hibah dari Kabupaten beberapa tahun yg lalu.” Jawabku mencoba mengingat-ingat.

“Oh, kasus itu. Itu sudah jadi kasus lama. Tidak usah diambil pusing.”

“Kasus lama bagaimana, Cak?” Tanyaku penasaran.

“Ya, kasus lama. Karena saking lamanya tidak diurus akhirnya kasusnya ditutup. Kasusnya mandek[1] di tengah jalan karena tidak ada bukti-bukti yang kuat. Orang-orang juga sudah mulai melupakan kasus itu. Mereka orang-orang dalam kecamatan mengenalnya dengan sebutan kasus pedel [2] tidur.”

“Pedel tidur?” Tanyaku semakin penasaran dengan kata yang baru saja kudengar barusan.

“Iya, jadi di tahun 1999 pemerintah daerah melalui kabupaten memberikan sumbangan dana cukup besar pada seluruh kepala desa untuk membuat jalan poros desa. Dananya di kelola oleh kecamatan dan setiap desa atau kelurahan mendapatkan anggaran dana sesuai dengan kebutuhan masing-masing. Namun, di akhir kegiatan laporan pertangung jawaban yang di dapat kecamatan tidak balance. Ada dana yang diduga hilang seperti apa yang kamu temukan dalam laporan kegiatan tadi.”

“Apa tidak ada usaha untuk menyelidikinya?” Tanyaku lagi. 

“Sudah, tapi bukti-bukti yang ada tidak terlalu kuat. Bahkan Munandar sendiri yang waktu itu turun tangan, tapi tetap saja hasilnya nihil.”

“Padahal nominalnya lumayan besar lho, Cak”

“Ya, mau bagaimana lagi,” jawab Cak Aziz terlihat pasrah.

“Kasus ini harus kembali dibuka Cak? Aku mendunga kasus ini tidak hanya dilakukan perseorangan saja, melainkan sudah melibatkan persekongkolan banyak orang. Bukan tidak mungkin pelakunya adalah orang dalam kecamatan sendiri,” ucapku dengan agak sedikit menuduh, tapi memang begitulah kenyataannya.

“Itulah yang sedang aku takutkan. Ibarat kita menimbah air dari sumur yang keruh, selama sumbernya belum diganti, air yang ada dalam sumur akan selamanya jadi keruh.”

”Untuk itu kita harus menyelidikinya, Cak,” tukasku terlalu bersemangat.

“Aku tidak yakin dengan rencanamu itu?”

“Kita tidak akan tahu sebelum kita mencobanya,” jawabku tak mau menyerah begitu saja.

“Sepanjang karierku sebagai sekretaris kecamatan sudah kucoba mencari jawabanya, tapi tidak pernah ketemu ujungnya. Sudahlah kau jangan berpikir macam-macam. Lebih baik kau kembali bekerja saja,” jawab Cak Aziz ketus. Ia mulai terjebak dalam paradigma dan fakta masa lalu yang membuat nyalinya menciut.

“Dan apakah sudah pernah dicoba lagi?” Tanyaku sekali lagi. Mendengar pertanyaan itu membuat Cak Aziz jadi tertegun cukup lama. Sebagai seorang yang sudah cukup lama berkerja di kecamatan, aku percaya bahwa di dalam hatinya masih tersimpan gairah untuk menyelesaikan kasus ini meski sebesar biji kopi. Tapi rasa takut yang ia ciptakan sendiri membuat gairah sebesar biji kopi itu hangus dan kopong. Wajib bagiku untuk menumbuhkan gairah itu lagi. Tak perlu menunggu waktu yang lama aku langsung menyerang dengan berbagai argumen.

“Bukannya Cak Aziz sendiri yang bilang ingin memberikan warna baru bagi kecamatan. Inilah saatnya mengubah kecamatan jadi lebih baik lagi, Cak,” ucapku mencoba menumbuhkan kembali gairah dan semangat kerjanya yang sudah terlanjur menciut dimakan usia.

“Aku sudah tidak yakin dengan kemampuanku sendiri,” ucapnya.

“Lalu apa gunaya aku berdiri di sini sebagai sekretarismu kalau tidak untuk membantumu, Cak?” Ucapku meyakinkan. Cak Aziz menoleh sejenak. Sinar matanya menatapku tajam, seakan ia dibuat teringat oleh gairah sebesar biji kopi yang pernah ia tinggalkan entah dimana. Aku mungkin tidak bisa menumbuhkan biji kopi itu jadi sebesar pohon kurma, tapi aku percaya niat ikhlasku membantunya membuat api ketakutan itu sekarang sedikit meredup.

Lihat selengkapnya