Kantor kecamatan pagi itu mempunyai aura yang berbeda dari biasanya. Rupanya pagi itu Cak Aziz bukan lagi jadi pegawai dengan jam datang paling pagi se-kacamatan. Buktinya pagi itu sudah banyak orang yang datang dan berkumpul di mejanya masing-masing. Perihal datang paginya para pekerja kecamatan bukan tanpa alasan, pasalnya pagi itu kantor kecamatan sedang kedatangan tamu istimewa. Tamu yang tak lain adalah bapak-bapak petugas khusus dari pemerintah daerah (pemda) yang ditugaskan untuk berkunjung ke kantor kami. Bahkan, kedatangan mereka dikawal langsung oleh beberapa motor besar polisi yang sekarang sedang diparkir di halaman depan.
Saat aku tiba di sana sudah nampak beberapa polisi yang mengelendeng paksa salah seorang pegawai kecamatan. Sedangkan bapak-bapak yang lainnya, yang penampilanya lebih rapi dari bapak polisi tadi, berteriak keras mengancam semua pegawai kecamatan yang hadir di ruangan itu. Dia menggutuk dan memperingatkan seisi ruangan agar kejadian memalukan seperti itu tidak akan pernah terulang kembali. Semua pegawai kecamatan hanya bisa menunduk malu dan pasrah seperti anak bocah yang dimarahi ibunya karena katahuan menguntit uang spp sekolah. Mereka juga tidak bisa berbuat apa-apa ketika salah satu rekan kerja mereka harus diborgol polisi dengan paksa. Diantara barisan bapak-bapak itulah kemudian dapat kutemukan Pak Hasan, bapaknya Ayu. Ia sempat tersenyum ramah kepadaku sebelum akhirya kembali memperlihatkan wajah garang.
Hari itu merupakan hari yang paling bersejarah bagi kantor kecamatan. Kasus penggelapan dana yang sudah ditutup berpuluh tahun yang lalu akhirnya sedikit menemukan titik terang. Seorang pemuda yang masih memiliki darah keturunan petinggi berhasil menemukan bukti otentik skandal hilangnya uang kecamatan. Atas dasar itulah kemudian polisi berhak menangkap Pak Budi, Bendahara umum kecamatan kami. Ia terbukti memalsukan laporan dana kegiatan pada kasus pembangunan jalan poros desa beberapa tahun silam.
Aku tidak teralu terkejut mendengar berita tersebut karena sebenarnya aku juga terlibat dalam skenario penangkapannya. Justru yang paling membuatku tidak percaya adalah kenyataan bahwa hari itu polisi tidak hanya menangkap Pak Budi, melainkan juga seorang yang punya peran penting di hidupku belakangan ini. Aku tidak bisa merelahkan mereka membawa Cak Aziz serta. Entah bagaimana ceritanya Cak Aziz harus ditangkap juga. Beberapa kali Cak Aziz menjelaskan kepadaku bahwa dia hanya akan jadi saksi, tidak lebih. Tapi aku tak percaya hal itu. Tidak ada saksi yang harus digelendeng paksa dengan kondisi tangan diborgol dibelakang. Sudah seperti tahanan KPK saja.
“Cak, Maafkan aku,” bisikku perlahan di telinga laki-laki itu ketika rombongan polisi yang membawa Cak Aziz dan Pak Budi lewat di hadapanku.
“Sudah tidak apa-apa. Apa yang kau lakukan ini sudah benar. Langkah kita untuk menuntaskan kasus ini hanya tinggal sedikit lagi,” jawabnya mencoba menghibur.
“Tapi, bagaiamana dengan Cak Aziz sendiri?”
“Sudah kau tidak perlu menghawatirkanku, fokus saja dengan kasus yang sedang kita selidiki sekarang. Cak Aziz bangga sama kamu, Mat. Tidak salah aku memilihmu jadi sekretaris kecamatan. Tuntaskan kasus ini sampai ke akar-akarnya, jangan buat penagkapanku jadi sia-sia. Kau mengerti?” Tanya Cak Aziz, dan aku hanya menganguk mencoba mengiyakan.
“Cak Aziz titip kecamatan, ya, ” tambahnya. Ia juga sempat menepuk pundakku sama seperti dulu waktu hari pertama aku bekerja di kecamatan.
“Cak Aziz akan kembali kan?” Tanyaku balik. Cak Aziz tidak menjawab. Polisi keburu mengelendengnya keluar dan tidak memberikan banyak kesempatan untuk menjawab. Sementara itu di barisan selanjutnya, Giliran Pak Budi yang digelendeng keluar melewatiku. Aku dapat menangkap sorot mata penuh ancaman yang sengaja ia pancarkan untuk menakut-takutiku. Aku masih tetap tidak bisa mengalihkan pandangan mataku ke arah Cak Aziz yang makin digelendeng menjauh. Dengan suara lirih Pak Budi juga sempat berbisik mengancam.
“Ini hanya permasalahan waktu, cepat atau lambat kau juga tidak akan bisa menutupi kalau kau juga bersalah. Aku tunggu kau di penjara,” ucapnya. Aku membuang muka pura-pura tidak mendengar.
Kantor kecamatan pagi itu mengajariku satu pelajaran penting tentang jabatan dan sebuah kasus. Jabatan yang tinggi melahirkan tanggung jawab yang tinggi pula. Skandal pengelapan dana itu mungkin sudah menemukan titik terang, tapi hal itu tidak cukup membuat kantor kecamatan kami dalam keadaan yang baik-baik saja. Kasus telah kembali dibuka, rahasia berpuluh tahun yang sengaja ditutup rapat-rapat seluruh pegawai kecamatan kini sudah mencuak kepermukaan. Tuduhan adanya usaha untuk menyembunyikan kasus korupsi pun tidak bisa dielakkan lagi. Mau tidak mau kasus ini menyeret nama Cak Aziz sebagai pimpinan tertinggi di kecamatan. Oleh sebab itu, dulu Cak Aziz menyuruhku untuk merahasiakan penyelidikan kasus ini. Barulah aku paham mengapa malam itu Cak Aziz lebih memilih menyelesaikanya dengan cara kekeluargaan saja ketimbang harus menghubungi polisi.
Polisi mengelendeng mereka berdua masuk ke dalam mobil tahanan. Mobil yang diparkir di halaman depan itu berputar balik dan mulai membunyikan sirene khasnya. Orang-orang kecamatan mulai berhamburan keluar seiring dengan suara sirine yang semakin menjauh.
“Sekarang kita harus bagaimana, Mat?” Tanya Pak Joko.
“Bapak tanya sama aku?” Jawabku heran.
“Ya, kau kan sekretaris kecamatan? Kau berada di bawah satu garis komando dengan Pak Camat. Kau pimpinan tertingi kami saat ini,” sahut yang lainnya.
“Kami siap menerima perintah seandainya kau memerintahkan sesuatu pada kami, Mat,” jawab yang lainnya. Hal ini rupanya juga disepakati oleh orang-orang yang ada di sekitarnya. Mereka menganguk setuju siap mendapat perintah dariku.
“Baiklah kalau begitu, sekarang kita bekerja seperti biasa saja. Besok akan kita bicarakan masalah ini di rapat besar,” perintahku membubarkan kerumunan.
“Siap, Mat,” jawab mereka kompak.
Sepanjang hari itu aku tidak bisa berkonsentrasi penuh. Seluruh pekerjaanku jadi terbengkalai. Pikiranku dipenuhi rasa penyesalan-penyesalan yang tidak ada ujungnya. Seandainya saja aku tidak ngotot memaksa Cak Aziz membuka kembali kasus ini. Seandainya saja malam itu aku tidak menuruti saran Man Latip untuk menghubungi polisi. Seadainya saja aku bisa bersabar sedikit untuk menunggu Cak Aziz menyelesaikan masalah itu secara kekeluargaan. Seandainya saja., Seandainya.. Seluruh pikiranku dipenuhi dengan berbagai pengandaian.
Hanya ada satu jalan keluar dan hanya ada satu nama yang harus dimintai keterangan. Seseorang yang tadi malam memberikanku sebuah bukti dan kunci penangkapan yang ternyata berujung pada penangkapan Cak Aziz. Tentang penangkapan Pak Budi aku boleh saja terima, karena memang orang itu seharusnya mendekam dipenjara dari dulu, tapi tentang penagkapan Cak Aziz itu sungguh diluar dugaan dan kesepakatan kami malam itu. Aku harus menemuinya secepatnya atau aku akan mati penasaran.
Tidak sampai menunggu bel pulang kantor aku sudah meminta izin pamit pulang lebih awal. Seluruh pegawai kecamatan juga aku pulangkan karena aku yakin mereka juga tidak akan mampu bekerja secara optimal hari ini. Alangkah lebih baik aku pulangkan mereka untuk mempersiapakan diri hadir di rapat besar esok hari.
Mencari keberadaan Man Latip bukanlah hal yang sulit bagiku. Dia bukan tipikal orang sibuk yang harus bolak-balik keluar kota karena sibuk mengurus pekerjaan. Ia bahkan tergolong tidak pernah punya pekerjaan yang tetap. Pekerjaan tetapnya hanyalah mengurus puluhan burung yang dipajang sepanjang pekarangan rumah untuk diikutkan kontes burung atau dijual bila sudah bosan. Ketika aku sampai di pekarangan rumahnya Ia sedang asyik memandikan seekor burung perkutut yang kabarnya kemarin baru menang lomba kicau burung se- kecamatan.
“Man, kenapa Man Latip tidak bilang kalau bukti yang Man Latip berikan pada saya itu akan membuat Cak Aziz dibekukan sebagai camat,” ucapku langsung tanpa basa-basi bahkan tampa salam dan permisi terlebih dahulu.
“Kau ini bicara apa sih, Mat?” Jawabnya dengan santai.
“Jangan pura-pura tidak tahu, Man. Hari ini kantor kecamatan ramai karena dua pegawainya ditangkap polisi. Cak Aziz juga dibekuhkan jabatanya sebagai camat.”
“Kalau begitu bagus dong. Dengan begitu kau bisa langsung naik jadi camat. Hahahahaha,” ucapnya sambil sedikit tertawa.
Kata itu ringan saja keluar dari mulut laki-laki paru baya tersebut. Aku kesal, dua pertanyaan pertama yang kulontarkan padanya belum mampu membuatnya beranjak dari tempatnya berdiri atau minimal turun dari kursi kayu ; mempersilahkan aku duduk di kursi tamu untuk membicarakan masalah ini dengan lebih baik.
“Tapi tidak dengan cara yang seperti ini, Man? Lagi pula siapa yang mau naik jabatan dengan cara kampungan seperti ini,” ucapku mencoba memberikan mimiek wajah serius padanya.