Pulang Kampung

Ahmad Muzaki
Chapter #14

Pengalihan Isu

Tahun 1487 M seorang waliyullah bergelar Raden Paku tercatat pernah mendirikan sebuah pondok pesantren di atas sebuah bukit di lepas pantai utara Pulau Jawa. Mulailah sejak saat itu orang-orang sekitar pondok berbondong-bondong mempelajari ilmu agama sekaligus mencatakan dirinya sebagai murid Sang Wali. Tahun demi tahun pun berganti, sudah tidak terhitung lagi berapa jumlah santri yang berguru pada Sang Wali. Banyak santri yang silih berganti datang dan pergi, tinggal menetap di sebuah tempat dan menyebarkan ilmu agama yang pernah diajarkan gurunya. Pondok pesantren itu pun mulai jadi bahan perbincangan banyak orang dan dengan sendirinya keberadaaannya menyebar ke setiap sudut kota. Tak butuh waktu lama untuk kemudian pondok pesantren tersebut berubah menjadi tempat pusat kajian ke-Islaman terbesar di Pulau Jawa pada waktu itu.

Keberadaan pondok pesantren tersebut semakin hari semakin sering diperbincangkan. Ia berkembang cepat bak buah rambutan di musim penghujan. Tidak hanya menjadi pusat kajian islam di Pulau Jawa, tempat itu juga mulai membuat sistem pemerintahannya sendiri. Mereka mulai mendirikan sebuah kerajaan kecil dengan sitem pemerintahan yang berlandaskan nilai-nilai ke-Islaman yang diajarkan di pondok. Pondok pesantren yang sudah berganti menjadi sebuah pusat pemerintahan tersebut diberi nama Giri Kedaton.

Lima ratus tiga puluh lima tahun sejak Raden Paku berhasil mendirikan pondok pesantren di atas bukit, Giri Hills (Bukit Giri) berubah menjadi tempat paling romantis yang dipenuhi cahaya. Cahaya bukan lagi bersumber dari Damar Kurung para santri yang dulu digunakan untuk menerangi surau saat mengaji, melainkan kelap-kelip lampu rumah penduduk yang terbentang luas di bawahnya. Jika hari itu terang tak bermendung terlihatlah gugusan cahaya lain membentuk rasi bintang di atas langitnya. Menakjubkan, tentu saja! Di atas ketinggian lebih dari 150 mdpl kita bisa melihat seisi kota. Lengkap dengan jalan raya, gunung, kubah masjid,laut, kapal yang sedang berlabuh, atau mungkin juga atap rumahmu. Tempat ini adalah tempat favorit Ayu.

“Sebenarnya kita mau ke mana sih, Mas?” Tanya Ayu yang malam itu sedang kututup matanya dengan slayer hitam.

“Sudah ikut saja ! Aku yakin kamu pasti suka,” jawabku sembari memegangi tangannya, menuntunya, dan membantunya melangkah karena ia harus berjalan dalam kondisi buta.

“Aku sedang tidak diculik kan?” Jawabnya polos.

“Tidak, siapa yang berani menculik anak Pak Hasan? Bisa-bisa aku langsung masuk penjara. Sudah ikut saja kamu pasti tidak akan menyesal.”

Meski awalnya menolak karena takut gelap, tapi akhirnya ia munurut juga. Dengan langkah tetatih karena takut terpeleset, ia langkahkan kakinya mengikuti arah ke mana tanganku menuntunnya. Satu- persatu anak tangga terlewati, membawa kami semakin naik ke atas bukit. Menjadi pihak yang menguasai itu ternyata asyik juga. Aku bisa mengendalikan dia seperti yang kumau. Aku tuntun dia ke kanan, ia akan bergerak ke kanan. Aku ajak dia menanjak ke atas ia pun pasrah tak bisa menolak. Ia harus tetap melangkah dan menutup matanya sampai di tempat tujuan. Itulah peraturannya. Dan peraturan tetaplah peraturan tidak boleh dilanggar. Bahkan seumpama ada ulat bulu yang iseng nemplok di pundaknya pun tidak kuizinkan untuk membuka mata. Aku mungkin akan mengizinkanya berteriak keras menghadapi rasa takutnya, tapi tidak untuk membuka mata karena begitulah aturan mainnya.

Sampai berada di puncak aku mempersilahkan Ayu untuk duduk di atas kursi kayu yang sudah disediakan. Sementara itu, aku yang kini berdiri persis di belakanganya segera membuka penutup mata yang membuat matanya jadi sedikit sembab.

“Oke, kita sudah sampai sekarang. Sebentar lagi kamu akan melihat sedikit keindahan yang diciptakan tuhan untuk kamu,” ucapku pada Ayu sebelum aku benar-benar membuka penutup matanya. Ia hanya tersenyum penasaran.

Simpul ikatan pada penutup mata Ayu sudah kulepaskan. Dengan gerakan kelopak mata yang lambat Ayu mulai membuka matanya. Ia tertegun cukup lama untuk menyadari bahwa yang dilihatnya sekarang bukanlah mimpi, sama takjubnya ketika dulu ia melihat sinar matahari tenggelam di bendungan saat naik perahu bersamaku. Beberapa saat setelah matanya berhasil menangkap kerlip lampu dan dekorasi ruangan yang ada, ia berkata lembut.

Giri Hills ....

Kini makin terlihatlah wajah cerah Ayu yang tak kalah cerah dengan sinar bulan yang sedang bertengger persis di depan matanya. Meskipun belum pernah berkunjung ke tempat itu, tapi Ayu kenal betul di mana ia berada sekarang. Giri Hills sejatinya hanyalah sebuah bukit kecil diantara bukit lainnya di sekitar area Giri Kedaton [1]. Sebuah tempat yang katanya sangat ingin ia kunjunggi hanya bersamaku. Ya, hanya bersamaku. Hal ini tak terlepas dari anggapan bahwa jika ada sepasang kekasih pergi ke tempat itu mereka akan dimudahkan jalanya untuk menuju pernikahahan. Satu lagi proses yang paling didambahkan bagi mereka yang ingin saling memiliki.

 “Bagaimana senang tidak?” Tanyaku menjajal komentar.

“Seneng banget lah! Kok gak bilang-bilang sih kalau mau diajak ke sini,” ucapnya protes.

“Kalau bilang-bilang bukan kejutan dong namanya.”

“Ah, terima kasih ya, Mas.” Sepersekian detik kemudian ia memelukku dengan berbagai ekpresi kegembiraan.

“Sama-sama.”

Ada yang istimewa dari Bukit Giri, yaitu keberadaan sebuah kafe kecil yang terletak tak jauh dari sana. Dua hal selain mitos pernihakan dan kerlip lampu yang membuat tempat itu tetap ramai dipenuhi pengunjung adalah ; menu roti jala dan kopi susunya. Dua menu itu seperti botol dan tutupnya, sangat pas dan serasi bila dinikamati bersama keindahan malam dan suasana hangat muda mudi yang sedang kasmaran. Siapa pula yang tidak akan terbawa perasaan di tempat se- romantis itu. Malam itu kami membicarkan banyak hal, aku sampai harus memesan kembali roti jala karena obrolan kami belum selesai sedangkan hidangan di meja hanya tersisa piring dan gelas kosong.

Setelah kami banyak membicarakan keindahan tempat, dekorasi ruangan, menu makan, sejarah, dan mitos tempat itu akhirnya dapat kutemukan waktu yang tepat untuk mengutarakan tujuan dan alasan sebenarnya aku mengajak Ayu berkencan malan itu.

“Malam ini aku boleh minta dua permintaan gak sama kamu?” Ucapku memulai perbincangan serius kami selama beberapa saat kedepan. 

“Permintaan apa?"

“Aku mau kamu menikah denganku,” ujarku

Uhukkkk,” perkataanku barusan berhasil membuat Ayu tersedak hebat, mau tidak mau roti jala yang baru saja tertelan berhamburan keluar dari mulutnya.

“Apa aku tidak salah dengar?” Ucap Ayu kali ini sembari mengapai jus alpukat di dekatnya. Memastikan telinganya sedang tidak salah dengar.

“Tidak, aku serius. Aku mau kamu jadi istriku. Bukankah hal ini memang seharusnya terjadi kalau saja aku tidak kabur malam itu? Aku hanya melakukan apa yang seharusnya menjadi hak kamu. Sekali lagi aku tanya sama kamu, maukah kamu jadi isteriku, Ayu Sasmita?”

“Apa kamu sudah yakin?” Giliran dia yang bertanya sekarang.

“Sudah,” kataku mantap.

“Apa aku bisa menolak?”

“Sayangnya tidak.”

“Kalau aku tidak mau, bagaimana?” Kali ini ia mencoba menantang.

Aku sudah cukup hafal bagaimana meghadapi tipe-tipe perempuan seperti ini. Perempuan yang sok malu-malu, padahal dalam hatinya menyimpan rasa mau yang besar. Percayalah mengadapi perempuan seperti ini hanya perlu kesabaran dan sedikit tindakan nekat. Tidakkah aku cukup tangguh dan berpengalaman dalam hal ini.

“Aku yang bakal paksa kamu,” jawabku.

“Memangnya kamu bisa melakukan apa buat memaksa aku?” ucapnya sembari seyum-senyum kecil.

“Gampang! Aku hanya perlu bilang ke semua orang kalau kita baru saja melakukan tindakan asusila di tempat ini, biar dikawinin paksa."

Ada sebuah peraturan penduduk setempat bahwa jika ada sepasang kekasih yang kepergok sedang bercinta atau berbuat mesum di tempat ini mereka berdua akan langsung dikawinkan. Sanksi bagi yang melanggarnya sudah cukup jelas, tidak hanya dikawainkan dengan paksa, melainkan juga diarak keliling kampung.

“Dihh ...,” jawabnya dengan mengangkat alis.

“Mau coba?” Giliran aku yang menantang. Aku sudah bersiap-siap untuk memonyongkan bibir dan berteriak keras-keras, mengucapkan sebuah pengakuan palsu. Aku bahkan sudah berdiri dan beranjak dari tempat duduk, namun Ayu sudah terlampau cepat untuk mengagalkan niat itu dengan berkata panik.

“Ihhh ... Iya...iya. Aku mau,” jawabnya spontan dan malu-malu.

“Beneran?” tanyaku memastikan.

“Iyaaaaa,” jawabnya sekali lagi.

Lihat selengkapnya