“Assalamualaikum, Ayu ... Yu.”
“Iya sebentar,” jawab Ayu membuka pintu dan menemukanku yang sedang membawa seorang perempuan dengan koper dan tas rangsel di punggungnya.
“Aku boleh minta tolong sekali lagi enggak sama kamu?” Tanyaku mencoba membuka obrolan. Namun, nampaknya Ayu lebih tertarik memperhatikan sosok perempuan yang kubawah ketimbang harus menjawab pertanyaanku barusan.
Ya, aku membawa Isti pulang ke rumah Ayu. Sangat tidak memungkinkan membawa Isti pulang ke rumahku. Selain tidak diperbolehkan menginapkan tamu perempuan lebih dari 2 x 24 jam, Ibu pasti tidak akan suka kehadiranya di sana. Membawa Isti ke rumah Ayu sebenarnya sama membahayakannya, namun pilihan itu kuambil karena tidak ada tempat lain yang dapat ia tinggali di kampung ini selain di rumah Ayu. Aku sempat berpikir untuk mengajaknya ke rumah Yuni, tapi dia sedang tidak ada di rumah sekarang, dia ada tugas wajib pengabdian masyarakat dari kampusnya. Di rumah Piyah lebih tidak mungkin lagi karena di sana sedang repot-repotnya mengurus bayi.
“Dia siapa, Mas?” Tanya Ayu sebelum aku berniat mempekenalkan perempuan itu padanya. Aku hanya bisa menelan ludah. Cepat atau lambat hal ini akan terjadi juga. Kupikir inilah waktu yang tepat untuk dia mengetahuinya.
“Isti,” jawabku dengan nada paling pelan dan singkat.
Tak ada eskpresi yang berlebihan atau pertanyaan tambahan yang dilontarkan kepadaku tentang perempuan itu. Semuanya sudah cukup terang dan jelas baginya. Ia sudah tahu banyak hal tentang perempuan yang namanya sering ia sebutkan untuk sengaja mengodaku itu. Perempuan itu kini tepat berdiri di ujung beranda rumahnya. Ayu sempat memberikan senyum manis tanda persahabatan sesama perempuan saat kedua mata mereka tak sangaja berpaut.
“Dia kabur dari rumah. Katanya dia sedang ada proyek di Surabaya. Sambil bekerja di Surabaya dia ingin mengetahui lebih banyak tentang kampung kita. Paling sekitar dua atau tiga minggu dia di sini” Ucapku menceritakan kronologisnya. Baru aku hendak mengutarakan maksud yang sebenarnya Ayu sudah terlebih dahulu melontarkan jawaban.
“Ada satu kamar kosong bekas kamar mbahku yang tidak terpakai. Kalau dia mau dia bisa tidur di tempat itu selama berlibur di kampung ini,” ucapnya. Ayu terlahir cukup pandai untuk mengerti dan memahami keadaanku. Ia selalu bisa memberikan apa yang paling aku butuhkan sekarang. Dari berbagai kasus, aku tahu Ayu adalah orang yang paling bisa kuandalkan. Aku semakin menaruh simpati padanya.
“Terima kasih banyak, Yu. Aku tidak tau harus berbuat apa lagi untuk membalas semua kebaikan kamu.”
“Sama-sama, Mas.” jawabnya datar.
“Ti,” panggilku pada Isti yang masih berdiri di ujung beranda sana. Dia langsung mengampiri Ayu dan tersenyum ramah. Mereka bersalaman dan kemudian saling berpelukan ramah sudah seperti teman lama.
“Isti kenalin ini Ayu. Dia ini ...”
“Temannya, Mas Ahmat,” ucap Ayu lagi, memotong pembicaraanku.
“Oh, ya senang bertemu denganmu. Maaf jika kedatanganku meropotkan,” Isti berkata sopan.
“Tentu saja tidak. Ayo mari masuk!” Ayu kini mempersilahkan Isti masuk ke dalam rumah.
“Terima kasih.”
Mereka berdua pun masuk ke dalam rumah dan mulai berbicara tentang banyak hal. Untuk berbagai alasan, aku meminta pamit pulang. Kukatakan kepada mereka bahwa aku harus kembali ke kantor mengembalikan mobil dinas yang kupakai untuk menjemput Isti. Kupikir tidak ada salahnya membiarkan mereka sejenak untuk saling mengenal dan mengakrabkan diri satu sama lain.
Seminggu sejak kadantangan Isti ke rumah Ayu adalah waktu tersibuk untukku. Selama itu pula Isti tidak pernah tahu siapa Ayu sebenarnya. Aku cukup senang Ayu konsisten memperkenalkan dirinya kepada Isti sebagai temanku dan beruntungnya juga orang-orang kampung tahu bahwa Isti hanya sebatas seorang rekan dari Jakarta, tak lebih.
Perihal membagi waktu bersama Isti dan Ayu semuanya sudah kuatur sedemikan rupa. Pagi hari saat Isti berangkat bekerja menyelesaikan proyeknya di Surabaya adalah waktu milik Ayu. Ia bebas menemuiku di kantor untuk membawakan bekal makan siang atau sekedar ngobrol menghabiskan waktu jam istirahat. Atau saat kantor sedang sepi aku bisa mengajaknya berkeliling naik motor milikku sekadar jalan-jalan.
Sore harinya baru aku bisa mengantarkan Isti keliling kampung melihat-lihat suasana pedesaaan yang asri. Ia bebas bertanya apa saja tentang nama-nama jenis tumbuhan dan binatang melata yang tidak akan ia temui di Jakarta. Atau saat sedang sepi ia boleh meraih tanganku dan bersandar pada bahuku sebagai pengobat rindu.
Malam harinya saat bulan dan bintang harus sama-sama menampkan dirinya di angkasa, saat keduanya berusaha memberikan sinar paling terang juga saling beradu pesona untuk merebut hati manusia di bumi-kami bertiga memutuskan untuk menikmatinya dengan mengelar tikar pandan di halaman luar rumah Ayu. Karena hanya dengan cara seperti itulah manusia bumi sepertiku bisa mendapatkan bulan paling terang sekaligus dengan bintang-bintangnya.
Memadu Bulan
Setelah beberapa purnama hilang
kau kembali datang.
Bercadar awan hitam kau menjelma serupa sosok paling terang di
bumantara.
Tak lagi bagiku tapi, dari tempatku memandang ; kau tak ubahnya cahaya 4.000 kwh di
tengah kota
kau berhasil menyinari seisi kota, tapi juga menghilangkan ribuan titik cahaya pada
hamparan.
dari tempatku memandang ; cahayamu tak lebih daya dari sosok lentera kecil dalam
gengaman.
Bulanku sayang, buat apa kau susah jadi bulan kalau yang kubutuhkan hanya pelita kecil,
sayang ?
Jauh di pelosok bumiku diam-diam lentera kecil mengendap-endap berusaha menerangi
setiap langkahku saat-saat awal bulan.
Tanpa kuminta ia terangkan mana jalan setapak dan yang mula tak tampak.
Setia bersamaku menyapu bayang-bayang di balik alang-alang, dan suara jangkrik yang
menggerik, membuatku terdidik.
Bulanku sayang, maukah kau kuberi tahu apa itu keegoisan?
ialah susah melihatmu dimiliki orang sedangkan di bumiku tak punya cukup ruang.