Pulang Kampung

Ahmad Muzaki
Chapter #16

Di Balik Jeruji Besi

“Mas...,” teriak Ayu yang tiba-tiba datang ke kantor kecamatan pagi itu. Sudah sejak peristiwa di pasar malam beberapa hari lalu, ia tidak pernah lagi berkunjung kantor. Ia memelukku erat sekali, seperti ingin mengungkapkan bahwa bahasa manusia saja tak cukup untuk mewakili apa yang akan disampaikannya. Andai saja dia tahu bahwa aku merindukan saat-saat ini dan aku rela memberikan apapun untuk mendapatkannya kembali. 

“Ada apa?” Tanyaku pelan. Belum sempat Ayu membalas pertanyaanku, suara berat laki-laki yang tak asing di telinga itu kembali hadir memenuhi ruangan.

“Kau ditanggap, Mat,” ucap Pak Hasan menodongka pistol ke arahku dan terpaksa harus membuatku mengagakat kedua tangan dan kemudian merelakannya dibogrol dengan paksa.

“Apa salah saya?” Jawabku mencoba berkilah.

“Kau ditanggap atas tuduhan pemalsuan data dan pengambilan data pemerintahan secara ilegal,” ucapnya membeberkan fakta yang terjadi. Spontan aku langsung melirik muka Ayu karena kutahu dialah satu-satunya orang yang terlibat serta mengetahui proses pencurian itu. Tapi Ayu mengelengkan kepala, memberikan isyarat dia tidak melakukan apapun. 

“Kalau kau sempat berpikir bahwa kami berhasil mendapatkan bukti penangkapanmu atas keterangan darinya, kau salah besar. Kau tidak perlu khawatir, dia tidak pernah mengingkari janjinya. Seperti permintaanmu dia tetap setia bersamamu. Dia tidak mengatakan apapun dan tidak kudapatkan apapun dari keteranganya. Kami yang menyelidiki sendiri lewat sinyal GPS yang kami pasang diberkas yang kau curi. Sinyal gps itu masih ada sampai terakhir kemarin malam sebelum barang itu dihancurkan,” ucap Pak Hasan menjelaskan kronologisnya.  

“Sekarang apa yang akan kalian cari dariku? Semua angaran dana sudah kuganti dan laporan aselinya sudah kubakar. Kalian tidak akan mendapakan apapun tentang kasus itu.”

“Itu bisa kau jelaskan nanti di pengadilan, Nak. Tugas kami hanya menagkapmu.”

“Tangkap dia. ! Tangkap semua orang yang ada di kantor ini juga,” perintah Pak Hasan kepada bawahanya.

“Kalian tidak berhak menangkap mereka. Mereka tidak bersalah. Aku yang menyuruh dan mengancam mereka untuk mengubah dan memusnakan data aslinya. Kalian tidak berhak menangkap mereka karena setiap warga negara yang melakukan tindakan kriminal atas dasar tekanan dari orang lain bebas dari tuduhan,” kataku. Pak Hasan sebagai insan yang melek hukum kuyakin pasti mengetahui pasal itu.

“Tangkap dia,” ucap Pak Hasan. Atas kesaksianku semua pegawai kecamatan bebas dari tuduhan. Sesuai janjiku, tidak ada satupun diantara mereka yang akan masuk penjara kecuali aku.

“Mat … Ahmat ...,” ucap mereka haru menyaksikan penangkapanku. Aku mengangukan kepala dan memberikan isyarat tidak apa-apa aku baik-baik saja. Tidak ada yang bisa menyelamatkanku sekarang, tidak juga Ayu yang kulihat beberapa kali memohon kepada bapaknya agar penangkapanku ditangguhkan.

“Pak, tidak bisakah hukuman ini ditanggukan. Bagaimanapun juga dia masih sah sebagai calon suamiku, Pak,” kata Ayu memohon. Aku tidak terlalu berharap kalimat itu bisa menyelamatkanku dari tuduhan. Aku sudah cukup senang mendengar kata “masih jadi calon suami” yang dilontarkan Ayu. Kali ini aku berharap bahwa itu bukan salah dengar dan benar-benar diucapkan dari dalam hatinya.

“Hukum tetap saja hukum, Yu. Jangan kau pikir karena dia calon suamimu lantas dia bisa terbebas dari hukum.” Pak Hasan kembali mempertegas statusku yang masih sah sebagai calon mantu. Belum surut kegembiraan itu ia kembali angkat bicara, berbisik diantara kedua telinga kami.

“Kalian tidak perlu khawatir. Pernikahan masih bisa tetap dilangsungkan setelah hukumannya selesai bukan?” Ujarnya. Ia kemudian menyeretku dengan paksa untuk masuk ke dalam mobil tahanan.

 

v  

 

Aku resmi dipenjara. Sudah tiga minggu aku dipenjara. Teman-teman dan kerabatku silih berganti datang berkunjung membesukku yang ada di dalam sel tahanan. Hari itu giliran rombongan keluarga yang membesuk ada Bapak, Ibu, Man Latip dan juga Isti. Setidaknya peristiwa penangkapanku dan masuknya aku ke dalam sel penajara tidak terlalu buruk, itu harga yang menurutku setimpal dengan kabar berita bahwa Ibu secara perlahan sudah bisa menerima keberadaan Isti.

“Kamu yang sabar, ya Mat.”

“Kamu pasti kuat.”

“Maafkan Ibu sudah memaksa kamu terlibat dalam masalah keluarga sampai sejauh ini. Setelah ini Ibu janji tidak akan pernah urus campur dengan kehidupan pribadimu lagi. Kau bisa menentukan hidup sendiri nanti, mau kerja jadi apapun, menikah dengan siapapun itu semua pilihan hidupmu. Ibu hanya bisa mendoakan yang terbaik. Ibu minta Maaf ya, Mat.”

“Tidak perlu, Bu. Ahmat yang meminta maaf karena tidak bisa jadi anak yang bisa diandalakan.”

Lihat selengkapnya