Malam itu dingin. Musim gugur sudah menjangkau kota kecil kami yang berisi puluhan rumah-rumah kayu. Membuat banyak perapian dinyalakan dan asapnya membumbung hangat di langit yang tadinya beku. Termasuk rumah kecil milikku. Salah satu rumah tua di ujung ‘gang sempit dengan banyak anak tangga’.
Aku selalu nyaman tinggal di rumah itu. Ya, walau hanya rumah tua kecil, semua barang di dalamnya masih berfungsi dengan baik. Dindingnya tidak ada yang retak, dan lantainya tidak ada yang berlubang. Kamarku bahkan punya jendela besar yang menghubungkanku dengan pemandangan pohon pinus di luarnya. Sebuah pohon pinus besar. Tentu saja bagi aku yang masih seorang gadis berusia lima tahun, rumah seperti itu adalah surga.
Tapi sekarang, aku sama sekali tidak berada di dalamnya. Akhir-akhir ini aku senang menghabiskan waktu di gang kecil yang merupakan pertigaan jalan, di bawah tiang listrik dan lampu penerang malam.
Apa yang dilakukan gadis kecil sepertiku di sana? Tentu saja, bercerita. Ada banyak hal yang bisa kuceritakan.
“Kemarin malam semuanya menakjubkan. Hannah mengadakan pesta minum teh di beranda, sementara pohon-pohon dipasangi kembang api dan lentera yang cantik. Lesly meminjamkan aku gaun berwarna merah mudanya supaya aku bisa berdansa seperti seorang putri.” Celotehku, tak peduli wajahku sedikit membiru karena dingin.
“Kau masih menceritakan semua itu pada ibumu?”
Wajahku berubah murung. “Tidak lagi. Mama terlalu sibuk untuk mendengarkanku. Kalau aku memaksa, dia jadi risi.”
“Dan ayahmu?”
“Ah.. papa selalu marah. Aku takut melihat wajahnya. Mama kerepotan kalau papa marah, jadi dia bilang aku tidak boleh mengatakan hal-hal yang tidak masuk akal lagi di rumah.”