Pulang ke Nolosha

Dandelili
Chapter #2

1. ME:MOSA

Pagi hari, tepat pukul enam.

Aku membuka jendela kamarku yang berembun dan memasang pengaitnya. Mencari-cari kotak pensil di antara tumpukan buku. Lalu pergi mengambil ransel hitam yang menggantung pada tali rami cokelat di beranda luar kamarku.

Bulan April.. Pertengahan musim semi. Pucuk-pucuk Bunga Lavender melambai di antara tanah berumput yang kuinjak. Dan ‘kaki tanpa alas’ku merasakan sensasi dinginnya karena embun. Aku tersenyum. Pohon Pinus tua di depanku sudah tumbuh besar sekali. Membuat aroma embunnya tercium lebih kuat. Saat aku mendekat, angin menyapu dedaunannya dan membuat embun-embun itu berjatuhan.

Ukh.. Kesialan di pagi hari? Aku menyingkir dari sana dan menyadari seragam sekolahku basah.

“Wah.. Luar biasa juga.” Sarkasku keluar begitu saja, tersenyum ke arah pohon. “Apa besok kutebang saja, ya?” Tentu saja aku tidak serius mengatakannya. Sayang sekali, ini hari pertama sekolah dalam sepekan terakhir. Masih banyak yang harus kulakukan selain mengumpat di hadapan ‘pohon yang tidak punya salah apa-apa’. Sarapan pagi contohnya!


Coba kita lihat.. Selai apa yang cocok untuk hari ini. Pikirku saat membuka lemari pendingin.

“Oh—jangankan selai, aku bahkan kehabisan roti.” Gumamku. Menyadari plastik pembungkus rotinya sudah kosong. Aku menimbang-nimbang sebentar, lalu menutup pintu kulkas setelah menyisihkan sebotol air dari sana.

Baiklah! Tidak ada pilihan selain mi instan.


***


Lantai kayu di rumahku mengeluarkan suara tuk-tuk pelan saat kuinjak. Sembari menunggu mi di mangkuk mengembang, aku memakai dasi sambil menatap cermin. Menyisir rambut cepat, lalu ‘berjalan bolak-balik dari kamar menuju lantai atas sambil mengenakan kaus kaki’. Ya, mungkin sulit membayangkannya, tapi aku terbiasa melakukan itu tanpa dibayangkan. Lalu, seperti kebiasaan lainnya yang kulakukan di pagi hari, aku menyalakan komputer di atas meja belajarku. Menunggunya selesai booting sambil menyeruput lembaran mi yang sudah mengembang dengan sumpit.

Layar monitorku menampilkan wallpaper barisan bunga tulip. Sekejap setelah wifi tersambung, ada deretan notifikasi tidak penting yang masuk. Aku membaca cepat cuplikan pesan-pesan itu. Iklan mobil, penawaran item game, ( tidak. Aku bukan pemain game PC ). Beberapa spam dari grup angkatan sekolahku, dan iklan penjualan rumah mewah dengan harga murah yang.. Lupakan saja, aku sudah punya rumah terbaik di kota ini. Aku menggeser semuanya. Mengalihkan fokusku pada mangkuk mi.

Saat menyesap kuahnya, ada suara Ting sekali dari speaker komputerku. Apa ini iklan-tidak-penting lainnya? Aku melihat ke depan.


Sayangku Mosa, bagaimana kabarmu?


E-mail dari mama? Aku melihat ke kalender yang menggantung di sebelah kiri-atas dinding di belakang komputer. Oh iya, ini tanggal satu. Mama selalu mengirim email pada tanggal satu setiap bulan. Di pukul enam lewat tiga puluh tepat. Apakah ini masuk dalam daftar ‘Pesan-tidak-penting’? Aku tidak yakin. Beberapa saat, aku bertekad untuk tidak akan membalas pesan itu, seperti bulan-bulan sebelumnya.

Dan pada akhirnya? Aku kalah.. Persis seperti bulan-bulan sebelumnya.

Jemariku mengetikkan kalimat-kalimat balasan di keyboard.

Lalu setelah meng-klik ‘kirim’, aku menyampirkan bagian samping rambutku yang pendek. Kembali menyesap mi dengan sumpit.

Saat itulah bibi Ellie membuka pintu kamarku sambil berseru. “Mymo..!” Aku mendongak spontan. Senyum ramahnya langsung berubah marah.

“Kau makan mi instan sepagi ini??”

“Bibi?!—“

Bibi Ellie cepat sekali melangkah dan menarik telingaku. Memaksa bangun. “Anak nakal! Ayo ikut aku.”

“Kenapa bibi tidak memanggilku?” Aku mencoba berkelit.

“Tidak ada siapapun yang menjawab, jadi aku masuk ke sini.” Oh, aku pasti tidak mendengarnya. “—daripada itu, kenapa kau makan mi instan?” Sambungnya.

“Roti di lemari pendingin habis.”

“Sejak kapan? Kau tidak membeli yang baru?”

“Aku lupa..” Keluhku. Tahu-tahu kami sudah berada di luar pekarangan rumahku. Rumah Bibi Ellie persis di sebelahnya. Dan aku tahu betul dia sedang membawaku ke sana.

“Hah~ Kau juga lupa padaku yang melarangmu makan mi instan sering-sering?”

“Tadi itu mi instan pertamaku selama sebulan terakh—“

“—Cukup.” Potongnya. “Mi tetaplah mi. Kau harus menjauhkan dirimu dari benda mengerikan itu.”

“Baiklah, baik..” Dengusku menyerah. Tertawa kecil.

Bibi Ellie memang seperti ini. Cerewet dan suka mengomel. Tapi aku bisa merasakan perhatiannya yang tulus lewat bait demi bait omelannya. Atau setiap ketidaksetujuannya pada caraku memperlakukan diriku sendiri.

Setiap hari, dia rutin menanyakan keadaanku. Mengundangku untuk makan malam di rumahnya, atau sekedar  mengajakku minum teh bersama di beranda lantai dua sambil melihat sekilas kesibukan kota. Tentu saja, Bibi Ellie bukan bibi kandungku. Tapi menurutku dia lebih dari itu (Selain karena aku tidak punya bibi kandung, tentunya. Aku tidak tahu rasanya punya bibi). Tapi omelan-omelan kecilnya yang perhatian membuatku nyaman. Bibi Ellie juga selalu menjadi alarm pengingat jadwal makan sehatku, karena dia adalah ‘pembenci makanan instan’ alami.

Dan Bibi Ellie adalah wanita peruh baya yang tinggal sendirian di sebelah rumahku. Anak laki-lakinya yang sudah menikah berada jauh dari sini, rutin mengimkan se-amplop surat  yang tersegel rapi seperti mamaku yang mengirim email setiap sebulan sekali. Tentu saja bedanya, surat dari anaknya berisi berlembar-lembar cerita dan kabar, banyak ekspresi, dan disisipi sejumlah uang yang juga terbuat dari kertas. Dan mama? Hanya satu baris pertanyaan singkat “Sayangku Mosa, bagaimana kabarmu?”. Dikirimkan melalui internet ke komputer layar cembung di atas meja belajarku.

Yah.. Walaupun aku bilang itu ‘Hanya’ satu baris pertanyaan singkat, aku tetap jingkrak-jingkrak kegirangan sih saat pertama kali menerimanya.. Mungkin aku berpikir, Jadi begini rasanya mengobrol dengan mama melalui chatting! Haha..

Saat itu aku pasti sangat polos, sampai-sampai kelewat naif. Bisa-bisanya aku menyebut itu ‘mengobrol’. Aku yang sekarang hampir berusia tujuh belas tahun sudah lebih dari cukup untuk mengerti bahwa.. Email itu sama sekali tidak istimewa.

“Ellie.. Apa yang kau lakukan pada Mymo pagi-pagi begini? Oh, gadis kecilku yang malang!” Seorang pria yang sedikit lebih tua dari Bibi Ellie menegur ke arah kami. Dia adalah Paman Alfred. Sedang duduk sambil memegang surat kabar di tangannya. Kalau bibi Ellie tinggal di sebelah kanan rumahku, Paman Alfred tinggal di sebelah kirinya. Tempat tinggalku berada di antara mereka.

“Aku bukan gadis kecil, paman.” Sahutku. “Lihat seragam ini? Sebentar lagi aku lulus SMA.” Dahinya mengernyit. “Siapa yang bisa jamin? Bisa saja kau tidak lulus,” Kekehnya.

Andai aku tahu perkataan orang yang lebih tua bisa semujarab ini, saat itu aku pasti akan memohon padanya untuk menarik kutukan itu.


Bibi Ellie menoleh ke arah paman, menanggapi, “Kau bertanya apa yang sedang kulakukan? Aku ingin memberinya makan agar tidak kurus kering sepertimu.”

“Kurus kau bilang??” Paman Alfred pasti tidak sengaja membuat kursinya jatuh karena dia berdiri cepat. Suaranya juga naik. “Aku kelihatan kurus karena kakiku panjang, tahu.” Jangan khawatir, suara mereka yang seperti orang akan baku-hantam itu normal. Tinggal bersama tetangga seperti mereka membuatku mengerti bahwa orang kalau semakin tua, bercandanya semakin teriak-teriak. Aku sih maklum-maklum saja. Namanya umur.. Tidak ada yang tahu.

Di seberang rumahku (yang berarti rumah Paman Alfred dan Bibi Ellie juga), Seorang kakek tua berjalan keluar dari pintu kayu ek putihnya. Itu Kakek Horrest! Jalannya sedikit tertatih dengan tongkat yang baru dua hari ini rutin dia pakai. 

“Kakek!” Sapa Bibi Ellie. Otomatis aku dan Paman Alfred ikut tersenyum ke arahnya. Wajah keriput itu tertengadah.

“Oh, Sarah. Selamat pagi..”

“Bibi Ellie, kakek.” Koreksiku.

“Memangnya tadi aku bilang siapa?”

Lihat selengkapnya